Atas nama politik, aturan dalam UU MK ditabrak DPR. Langkah politik DPR itu merupakan catatan hitam dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Keputusan politik DPR mengganti Hakim Konstitusi Aswanto dengan Sekjen Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah memunculkan banyak pertanyaan.
Guntur mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi pada Rabu, 23 November 2022, pukul 09.30, di Istana Negara, Jakarta. Lima jam kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan putusan uji materi Pasal 87 UU MK menyebutkan pemberhentian hakim konstitusi di luar ketentuan Pasal 23 UU MK tidak sejalan dengan konstitusi.
Pasal 3 Ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Tata cara penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengacu pada konstitusi. Pasal 24 UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka”. Dalam Pasal 24 Ayat 6 UUD 1945 ditulis, ”Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi diatur dalam undang-undang”.
Dalam UU No 4/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No 3/2020 Pasal 23 diatur secara limitatif prasyarat pemberhentian hakim konstitusi. Pemberhentian hakim konstitusi dilakukan dengan alasan meninggal, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit selama tiga bulan berturut-turut. Hakim konstitusi bisa diberhentikan tidak dengan hormat jika melakukan tindak pidana.
Dalam koridor itulah pergantian Aswanto bisa diperiksa. Apakah alasan DPR memberhentikan Wakil Ketua MK Aswanto, sebagaimana disampaikan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, masuk dalam syarat pemberhentian hakim konstitusi. Bambang menyebutkan, DPR kecewa karena Aswanto kerap membatalkan undang-undang. ”Tentu mengecewakan, dong. Bagaimana kalau produk DPR dianulir sendiri oleh dia. Dia wakilnya dari DPR,” kata Bambang, Jumat (30/9). Bambang menganalogikan hakim konstitusi seperti direktur perusahaan dan DPR sebagai pemilik.
Argumentasi Komisi III DPR jelas berada di luar alasan UU MK. Kekecewaan Komisi III DPR karena Aswanto sering membatalkan UU adalah alasan politik emosional yang tidak punya dasar konstitusional. Pemikiran dibentuknya MK adalah agar ada ruang bagi warga negara menguji materi undang-undang jika bertentangan dengan UUD.
Kekecewaan Komisi III DPR karena Aswanto sering membatalkan UU adalah alasan politik emosional yang tidak punya dasar konstitusional.
Publik layaknya memeriksa apakah penunjukan Guntur sebagai hakim konstitusi sesuai dengan aturan. Dalam Pasal 19 UU No 24/2003 disebutkan, ”Pencalonan hakim konstitusi dilakukan transparan dan partisipatif”. Dalam bagian penjelasan disebutkan, ”… calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa cetak maupun elektronik agar masyarakat punya kesempatan untuk memberikan masukan atas calon”.
Pertanyaannya, apakah DPR sudah mengikuti persyaratan pemberhentian dan penunjukan hakim konstitusi sesuai aturan? Jawabannya jelas belum. Atas nama politik, aturan dalam UU MK itu ditabrak DPR. Langkah politik DPR itu merupakan catatan hitam dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Sekarang tergantung kenegarawanan hakim konstitusi menyikapi permainan kekuasaan ke dalam tubuh MK.