Mengapa Saham Perusahaan Teknologi Bertumbangan?
Kesalahan perusahaan teknologi adalah ketika pandemi mulai dan kemudian terjadi lonjakan permintaan membuat mereka mengembangkan usaha lebih besar lagi. Mereka juga salah menduga, kenaikan permintaan itu bakal stabil.
Sejak beberapa bulan lalu saham-saham perusahaan teknologi global telah berjatuhan. Pekan lalu saham perusahaan teknologi Indonesia, salah satunya GoTo, juga jatuh. Ada beberapa penyebab yang sama, namun ada juga penyebab khusus di setiap perusahaan. Apakah yang tengah terjadi?
Sekian lama menjadi pujaan para investor, saham perusahaan teknologi seperti Meta (sebelumnya dikenal sebagai Facebook), Apple, Amazon, Netflix, dan Alphabet (sebelumnya dikenal sebagai Google) bertumbangan. Selama bertahun-tahun, saham-saham ini telah memberikan imbal hasil yang sangat besar kepada investor.
Akan tetapi, pada tahun ini, sebagian besar perusahaan tersebut terkoreksi dengan persentase besar. Meta dari berharga 300 dollar AS menjadi hanya 90 dollar AS atau anjlok sekitar 74 persen, saham Netflix telah jatuh lebih dari 50 persen, saham Amazon turun 45 persen, saham Alphabet turun hingga 40 persen, dan harga saham Apple turun setidaknya 24 persen. Perusahaan lain, yaitu Microsoft, turun 34 persen.
Baca juga : Gelombang PHK di Silicon Valley, Indonesia Ikut Heboh
Ada beberapa penyebab umum. Kesalahan perusahaan teknologi adalah, ketika pandemi mulai dan kemudian terjadi lonjakan permintaan, mereka mengembangkan usaha lebih besar lagi. Mereka juga salah menduga, kenaikan permintaan itu bakal stabil. Namun, ketika pandemi mereda, mereka menghadapi kenyataan konsumen yang rasional. Mereka kembali ke kondisi normal dan tak sepenuhnya bergantung pada layanan teknologi. Permintaan layanan melalui perusahaan teknologi menjadi berkurang. Semisal, orang lebih senang berkumpul untuk makan dibandingkan memesan secara daring. Orang tak lagi duduk manis menonton layanan video berbayar, tetapi memilih keluar rumah.
Kesalahan perusahaan teknologi adalah, ketika pandemi mulai dan kemudian terjadi lonjakan permintaan, mereka mengembangkan usaha lebih besar lagi. Mereka juga salah menduga, kenaikan permintaan itu bakal stabil.
Pelemahan ekonomi di sisi yang lain telah menurunkan belanja iklan digital di berbagai perusahaan. Iklan menjadi pendapatan yang tidak kecil karena, dengan teknologi, audiens bisa ditarget lebih tepat sasaran. Masalah ini menjadi semakin berat ketika perusahaan teknologi banyak bertumpu pada belanja iklan dari perusahaan-perusahaan. Pelemahan ekonomi juga secara umum telah menurunkan permintaan terhadap bisnis inti perusahaan.
Dua kondisi di atas tentu memengaruhi laporan keuangan pada triwulan ketiga tahun ini. Laporan ini langsung mendapat respons dari pasar. Kinerja yang kurang baik dari perusahaan dengan mudah mendorong investor melepas saham yang dimiliki. Demikianlah ekonomi yang kadang disebut modern namun makin dibumbui spekulasi tengah berjalan. Pasar langsung lari dari saham-saham yang disebut berkinerja kurang baik dan tidak memberi harapan.
Baca : PHK dan Gaya Hidup Para CEO Perusahaan Teknologi
Akan tetapi. masalah besarnya adalah bayang-bayang resesi. Angka inflasi yang terus naik di sejumlah negara dan juga keraguan terhadap upaya otoritas untuk menangani masalah ini menyebabkan investor lari ke instrumen investasi yang lebih aman. Sejak awal, di kalangan pendanaan ventura, mereka memilih untuk mengeremjorjoran investasi. Mereka sudah sejak awal memilih untuk sementara saluran-saluran yang aman.
Dalam konteks pasar modal, mereka tentu mengikuti pola yang sama. Investor yang ragu akan mencari instrumen yang lebih tidak berisiko. Apalagi kecenderungan suku bunga di Amerika Serikat naik, maka investor akan lari dari investasi yang tidak stabil. Mereka mungkin saja memilih instrumen lama dan beristirahat dari hiruk pikuk pasar karena, dengan suku bunga yang tinggi, mereka cukup ”tidur” sudah memberikan imbal hasil. Saham perusahaan teknologi tentu termasuk saham dengan risiko tinggi, terutama saham-saham perusahaan teknologi yang baru saja melakukan penawaran saham.
Penyebab khusus
Di samping kondisi global dan umum terjadi di perusahaan teknologi, ada beberapa penyebab khusus yang terjadi di setiap perusahaan. Meta tentu tengah mendapatkan ancaman yang serius dari Tiktok. Belanja iklan berbagai perusahaan dan perorangan mulai beralih ke Tiktok. Ada semacam anggapan, pembelanjaan iklan di Instagram (salah satu tangan bisnis Meta) hanya digunakan untuk strategi citra semata, sementara untuk menarget pendapatan dari audiens mereka memilih Tiktok.
Meta juga masih menghadapi masalah soal masa depan metaverse. Pengumuman mereka tentang arah baru teknologi ini pada tahun lalu belum memberi keyakinan akan memberikan pendapatan baru. Investasi yang sangat besar belum memberi gambaran kepada publik tentang masa depan penggunaan dan bisnis dengan teknologi ini. Investor juga masih menunggu Meta dalam hal superioritas penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang lebih luas.
Saham Amazon turun mendekati 20 persen dalam perdagangan beberapa waktu lalu setelah perusahaan mengatakan musim belanja liburan yang sangat penting akan lebih kecil dari yang diharapkan. Setelah menikmati pertumbuhan yang fenomenal selama pandemi, Amazon telah berjuang untuk menahan biaya karena inflasi dan kenaikan suku bunga. Perusahaan telah memperlambat peluncuran fasilitas baru, menyewakan beberapa ruang gudang, dan memberlakukan pembekuan perekrutan di beberapa bagian bisnisnya.
Di Indonesia, saham-saham perusahaan teknologi juga mengalami masalah yang sama. Perbincangan dengan salah satu perusahaan pendanaan di Indonesia mengonfirmasi semua masalah yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan teknologi global dialami juga oleh perusahaan teknologi di Indonesia. Tidak banyak berbeda. Investor juga cenderung lari ke instrumen investasi yang aman dan minim risiko.
Khusus dalam penurunan saham GoTo, investor kuat yang selama ini bersedia untuk menahan penjualan saham mereka hingga delapan bulan sangat mungkin memilih melepas. Masa akhir penguncian itu pada 30 November lalu. Tak ada jaminan mereka tidak melepas saham itu. Kebutuhan dana tunai sangat wajar dan rasional di tengah masalah seperti ini. Belum lagi investor-investor lain yang mungkin juga memiliki keinginan yang sama.
Baca juga : GoTo Melantai Saat Kondisi Tidak Baik-baik Saja
Soal laporan kinerja keuangan pada triwulan ketiga tahun ini, meski membaik, belum meyakinkan para investor. Penjualan saham ini sepertinya berdampak signifikan hingga harga saham GoTo jatuh 55 persen sejak penawaran saham perdana.
Masalah kejatuhan harga saham di Indonesia adalah sama dengan masalah yang menimpa perusahaan teknologi lain. Semua ini urusan pasar. Rezim pasar akan berlaku seperti itu. Akan tetapi, secara khusus di Indonesia, sebenarnya banyak urusan di luar pasar yang perlu ditangani secara hati-hati.
Citra perusahaan, komitmen, keyakinan investor, potensi menjadi isu politik, dan lain-lain perlu dijaga agar masalah tidak melebar ke mana-mana. Di samping terus-menerus memberikan keyakinan kepada investor soal masa depan bisnis mereka. Urusan seperti ini bukan urusan transaksional, tetapi soal kerendahan hati para eksekutifnya berhadapan dengan opini dan gosip publik di Indonesia. Problem pasar ditambah dengan masalah di luar pasar memang merepotkan.
Baca juga : GoTo Menargetkan Raup Rp 15,2 Triliun dari Hasil IPO