Gelombang PHK di Silicon Valley, Indonesia Ikut Heboh
Gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di pusat perusahaan teknologi Silicon Valley, Amerika Serikat. Apakah hal yang sama akan terjadi di Indonesia?
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Kabar pemutusan hubungan kerja di Silicon Valley, Amerika Serikat, muncul sejak awal Mei lalu. Sejumlah perusahaan teknologi mengakui langkah tersebut dan beberapa mengabarkan telah menekan jumlah perekrutan karyawan baru. Kabar ini membuat heboh, bahkan hingga ke Indonesia. Akan tetapi, masalah yang dihadapi usaha rintisan di Indonesia sepertinya berbeda. Pemutusan hubungan kerja di dalam negeri masih sangat kasuistis.
Sebenarnya kabar campur aduk tengah terjadi di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan di negara itu tengah membutuhkan lebih banyak pekerja dari yang diharapkan pada April di tengah pasar tenaga kerja yang ketat. Biro Statistik Tenaga Kerja menyebutkan terdapat pengurangan pengangguran di negara tersebut karena perusahaan membuka peluang kerja baru.
Meski demikian, laporan CNBC menyebutkan, perusahaan yang bergerak di sektor teknologi mengalami arah sebaliknya. Perusahaan teknologi yang mengalami lonjakan bisnis selama pandemi kini menunjukkan tanda-tanda kontraksi. Media tersebut yang mengonfirmasi ke sejumlah perusahaan mendapati kenyataan tersebut.
Perusahaan induk Facebook, Meta, menghentikan perekrutan dan mengurangi beberapa rencana perekrutan pegawai. Laman Business Insider melaporkan, beberapa minggu lalu berdasarkan memo internal yang didapat terdapat indikasi tersebut.
”Kami secara teratur mengevaluasi kembali kanal perekrutan talenta kami sesuai dengan kebutuhan bisnis kami dan mengingat patokan biaya yang diberikan untuk periode pendapatan ini, kami memperlambat pertumbuhannya,” kata juru bicara Meta, kepada CNBC.
CFO Amazon mengatakan kepada analis pada saat paparan tentang pendapatan perusahaan bahwa gudang-gudang telah mengalami kelebihan staf menyusul perekrutan besar-besaran selama penguncian sementara saat pandemi yang meluas yang mendorong konsumen semakin banyak ke belanja daring. Kini saatnya mereka mengevaluasi kondisi ini agar tidak membebani perusahaan dalam jangka panjang.
Laporan lain dari The New York Times menyebutkan, sebuah perusahaan rintisan pembayaran daring bernama Bolt tumbuh sangat cepat dan mencapai nilai 11 miliar dollar AS pada awal tahun ini, Namun, tak lama kemudian Bolt memberlakukan penghentian perekrutan karyawan karena pasar yang lebih luas goyah. Mereka juga kemudian mulai memberhentikan karyawan.
Dalam sebuah pesan kepada karyawan yang juga diunggah di laman Bolt, CEO Bolt Maju Kuruvilla mengaitkan pemutusan hubungan kerja dengan ”perubahan struktural” di tengah ”tantangan makro”, tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut. ”Tim dan saya telah membuat keputusan untuk mengamankan posisi keuangan kami, memperluas landasan kami, dan mencapai profitabilitas dengan uang yang telah kami kumpulkan,” tulis Kuruvilla.
Kisah di atas hanya sebagian dari fenomena pemutusan hubungan kerja dan penghentian penerimaan karyawan baru di kawasan Silicon Valley. Kabar ini memang mengejutkan banyak kalangan di tengah proses digitalisasi yang terus berlanjut dan berbagai usaha rintisan lahir dan tumbuh dari tempat itu. Perusahaan-perusahaan baru bermunculan untuk menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat.
Secara umum kondisi ekonomi makro baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun di negara lain memang tidak menguntungkan bagi dunia usaha, termasuk industri teknologi digital. Inflasi yang melonjak di berbagai negara itu menyebabkan permintaan mengalami penurunan. Orang mengerem konsumsi dan aktivitas karena harga-harga mahal. Mereka akan memilih-milih membelanjakan uangnya.
Kondisi yang tidak menguntungkan ini otomatis akan menekan pendapatan. Pendapatan yang anjlok akan membebani operasi perusahaan. Oleh karena itu, pemutusan hubungan kerja menjadi salah satu upaya untuk menekan biaya operasional. Perusahaan terpaksa melakukan tindakan ini karena bila berlama-lama menjadi beban sehingga akan mengguncang keuangan perusahaan. Beberapa perusahaan meski belum mengalami kontraksi, tetapi sudah berancang-ancang sehingga pilihan pemutusan hubungan kerja diambil.
Bila saja ada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat tengah mencari tenaga kerja, mereka adalah yang ditinggal oleh karyawannya selama pandemi atau yang sering disebut great resignation. Tanpa alasan yang jelas, karyawan memilih untuk keluar begitu saja.
Beberapa perusahaan lain juga terus mencari karyawan karena di beberapa sektor terutama di jasa kekurangan tenaga di level bawah. Mereka berani menggaji lebih tinggi demi mendapatkan karyawan baru.
Masalah lainnya adalah keharusan perusahaan teknologi mencapai keuntungan bisnis. Mereka tidak bisa lagi ”bakar-bakar uang” untuk menarik pengguna atau konsumen.
Mereka harus menghitung pendapatan yang diterima dan pengeluaran secara lebih disiplin. Keharusan ini mulai muncul pada tahun 2019 ketika WeWork, sebuah platform properti, batal melakukan penawaran saham perdana karena jeroannya keropos.
Investor kemudian mempertanyakan rencana bisnis mereka. Metode bakar-bakar uang harus dihentikan sehingga perusahaan teknologi merapikan rencana bisnis berikut pendapatan dan pengeluarannya.
Perusahaan teknologi tidak lagi mudah untuk berselancar menggunakan uang dari investor untuk sekadar bakar-bakar duit saja. Mereka menjadi semakin berhati-hati ketika melakukan aksi korporasi. Investor pun akan ketat mengawasi.
Bila sekarang muncul isu tentang perusahaan teknologi di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja, seperti Jd.id, Link Aja, Tanihub, dan Zenius, sebenarnya itu isu yang lumrah. Beberapa di antaranya mengalami fase perampingan ketika melihat bisnis yang dikerjakan belum juga memberi hasil maksimal. Mereka tidak bisa berlama-lama terbebani dengan berbagai jenis pengeluaran.
Tekanan ekonomi makro sebenarnya juga belum menjadi masalah di kalangan perusahaan teknologi di Indonesia secara umum. Beberapa di antaranya mengalami kegagalan dalam mendapatkan pasar sehingga harus menekan pengeluaran.
Isu bubble atau ledakan dalam investasi di perusahaan teknologi di Indonesia sepertinya juga belum terjadi. Kasus sekarang ini lebih banyak dikait-kaitkan dengan fenomena di Amerika Serikat dan diheboh-hebohkan saja.