Gaya hidup mewah sejumlah CEO perusahaan teknologi yang dipamerkan di media sosial menjadi sorotan di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja karyawan perusahaan teknologi itu.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·6 menit baca
ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas
Mereka mungkin merasa aman-aman saja ketika mengunggah foto-foto pesta, perjalanan, dan sejumlah kemewahan yang tengah dinikmatinya di media sosial. Sejumlah CEO perusahaan teknologi itu tak merasa ada problem dengan tindakan mereka. Apa salahnya berbagi kebahagiaan? Akan tetapi, kini hujatan terhadap gaya hidup para CEO muncul ketika kabar pemutusan hubungan kerja atau PHK diumumkan di sejumlah perusahaan teknologi.
Kita tentu ingat CEO WeWork Adam Neumann yang kehidupan pribadinya diungkit-ungkit dan diangkat ke permukaan begitu WeWork mengalami masalah dan diduga ia melakukan aksi aji mumpung. Kebiasaannya menggunakan pesawat pribadi dan juga rumahnya yang mewah di New York diekspos ke media. Istrinya yang memperlakukan karyawan seperti pembantu juga diungkap di media. Tidak hanya itu, sebuah buku berjudul The Cult of We menguliti perilaku mereka secara detail. Perilaku yang secara tidak langsung juga disebut menjadi penyebab masalah di WeWork.
Gosip tentang gaya hidup sejumlah CEO perusahaan teknologi di Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan. Tentang seseorang yang tiba-tiba membagi kartu nama dengan jabatan CEO, tindakan sok jagoan, suka pamer kemewahan, perilaku menyimpang, masalah kesehatan mental, main perintah, dan lain-lain menjadi bahan bisik-bisik di berbagai kalangan. Seorang mentor mengeluhkan sikap beberapa eksekutif perusahaan teknologi. Seorang artis yang pernah berkolaborasi dengan salah satu CEO juga enggan dikait-kaitkan dengan salah satu usaha rintisan setelah melihat perilaku si CEO.
AFP/TIMOTHY A CLARY
Kantor WeWork di New York, Amerika Serikat, 19 Juli 2019. Gaya hidup CEO perusahaan ini pun diungkit ketika perusahaan mengalami masalah.
Kita tentu masih ingat ketika penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya memeriksa mantan CEO Restock.id bernama MFA tahun lalu. Aksi koboi MFA menodongkan airsoft gun di Duren Sawit, Jakarta Timur, membuatnya ditetapkan sebagai tersangka. MFA yang tengah mengendarai mobil diketahui mengacungkan sebuah senjata ketika menabrak pengendara sepeda motor di Duren Sawit. Belakangan polisi menemukan satu senjata lagi yang dimiliki MFA.
Di luar kasus kriminal, tindakan lain sejumlah CEO perusahaan teknologi yang paling banyak dilakukan adalah pamer kemewahan, mulai dari pamer menginap di sebuah hotel dengan harga sekian ribu dollar AS, membeli mobil mewah di sebuah negara, hingga berpindah-pindah ke sejumlah negara dengan fasilitas yang luar biasa mahal. Tak kalah heboh, pasangan mereka juga suka mengumbar kemewahan di publik. Mereka seolah ingin dilabeli sebagai orang sukses, pintar, dan kaya. Tambah sedikit: ganteng dan cantik! Wow…!
Keluhan yang juga tak sedikit muncul adalah mereka sering main perintah kepada orang yang seharusnya dimintai bantuan. Sebuah surat dari seorang CEO ketika meminta sejumlah data lebih layak sebagai surat perintah dibandingkan permintaan bantuan. Surat itu dengan jelas perintah agar disediakan data kepada penyedia data dan informasi. Ketika ditanya ulang tentang perintah itu, ia tak merasa bersalah dengan surat itu. Padahal, semua yang membaca isi surat itu hanya bisa mengelus dada.
Kisah lainnya, seorang eksekutif sebuah platform teknologi layanan kesehatan malah dengan enteng bercerita ke mana dia berobat ketika sakit. Tak lain dan tak bukan, ia pergi ke negara tetangga. Bagaimana mungkin ia yang menyediakan layanan kesehatan untuk masyarakat secara daring malah suka cek kesehatan ke luar negeri? Mungkin ia tak sadar soal bisnisnya. Bisa pula ia masuk ke bisnis ini, namun tidak paham dengan maksud para pendirinya.
Ada juga CEO yang ketika hendak datang ke kantor harus disambut bak tamu agung. Bawahan mereka langsung membersihkan lobi dan ruangan. Mereka yang ada di ruangan itu diminta untuk segera keluar atau berpindah. Mereka harus disambut dengan selebrasi. Orang luar yang berada di tempat itu blingsatan, bingung harus bersikap menghadapi keanehan ini.
Siapa yang salah?
Gosip seperti itu menjadikan para CEO yang benar-benar bekerja dari awal mendirikan perusahaan dan merasakan kesulitan serta harus keluar keringat, seperti CEO Gojek Nadiem Makarim yang sekarang menjadi menteri atau CEO Tokopedia William Tanuwijaya, bisa hilang dari ingatan publik. Kisah kerja keras mereka dari bawah bisa tertutup oleh gosip gaya hidup sejumlah CEO yang berlebihan. Akan tetapi, sebenarnya tidak semuanya menjadi kesalahan mereka
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kantor pusat Gojek di kawasan Blok M, Jakarta, Selasa (18/1/2022). Gosip gaya hidup CEO sejumlah perusahaan teknologi menjadikan para CEO yang benar-benar bekerja dari awal mendirikan perusahaan dan merasakan kesulitan serta harus keluar keringat, seperti CEO Gojek Nadiem Makarim yang sekarang menjadi menteri atau CEO Tokopedia William Tanuwijaya, bisa hilang dari ingatan publik.
Pertama, sayang sekali soal pemutusan hubungan kerja ini tak dijelaskan secara detail. Isu tentang pemutusan hubungan kerja memang tak terelakkan ketika kondisi ekonomi makro kurang baik sehingga menurunkan permintaan. Perubahan-perubahan pascapandemi juga mengubah permintaan konsumen yang mungkin berdampak tidak langsung pada permintaan. Kesalahan masa lalu merekrut karyawan dengan harga mahal karena takut kekurangan sumber daya manusia (SDM) kini menemukan titik rasional. Mereka tak layak digaji setinggi itu sehingga mereka memang harus dilepas karena membebani perusahaan.
Beberapa yang terkena pemutusan hubungan kerja adalah karyawan asing dan juga karyawan lokal dengan gaji terlalu tinggi. Salah seorang eksekutif di sebuah perusahaan teknologi bercerita, dulu mereka mengambil semua lulusan perguruan tinggi di bidang teknologi informasi. Langkah ini diambil daripada didahului oleh perusahaan lain. Setelah itu secara internal mereka baru menyeleksi yang layak. Sebegitu ketakutan mereka, cara seperti ini harus ditempuh.
Pengumuman soal pemutusan hubungan kerja apabila dipersiapkan lebih baik mungkin tidak akan membuat kehebohan. Setidaknya tidak memunculkan masalah ketimpangan ketika kemudian diumumkan. Di beberapa perusahaan, para eksekutif sudah memperingatkan kepada para karyawan untuk tidak pamer di media sosial. Para eksekutif memberi tahu kepada karyawan, unggahan di media sosial bisa disalahtafsirkan di tengah ekonomi yang tidak menentu.
Empati yang tak muncul saat pemutusan hubungan kerja diinformasikan kepada karyawan memperparah perasaan korban pemutusan hubungan kerja.
Cara mengumumkan yang tidak pas juga menimbulkan masalah. Pengumuman yang hanya lewat surat elektronik dan pada saat yang sama para pendiri atau eksekutifnya muncul di media sosial lagi bersenang-senang langsung memunculkan kemuakan. Empati yang tak muncul saat pemutusan hubungan kerja diinformasikan kepada karyawan memperparah perasaan korban pemutusan hubungan kerja.
Kedua, kita kembali ke soal gaya hidup. Sepertinya bukan kesalahan langsung mereka. Kita memang mengalami masalah besar berkaitan dengan gaya hidup mewah di tengah masalah sebagian besar masyarakat yang didera kemiskinan. Dengan ketimpangan yang terjadi di mana-mana, gaya hidup sejumlah CEO itu jauh dari cita-cita mereka untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Mereka malah bisa dituduh hidup di atas derita masyarakat.
Tidak mengherankan, ketika isu pemutusan hubungan kerja terjadi, gaya hidup sejumlah CEO itu disorot. Unggahan mereka di media sosial yang selama ini sebenarnya sudah menjadi bisik-bisik langsung diangkat dan diperbandingkan dengan mereka yang bekerja keras dan kemudian harus terkena pemutusan hubungan kerja. Tak lama setelah itu, salah satu CEO mencopot sejumlah unggahan yang terkesan pamer. Namun telat, publik sudah telanjur geregetan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sosialiasasi program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terpampang di salah satu kantor BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta Pusat, Rabu (23/2/2022). Di tengah gaya hidup mewah CEO-nya, sejumlah perusahaan teknologi melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan.
Sekali lagi bukan salah mereka. Mereka ini hanya melanjutkan gaya hidup yang mudah ditemukan di berbagai tempat, yaitu kelas menengah canggung yang butuh pengakuan. Semua ini sudah lama terjadi. Para pendahulu mereka sudah seperti itu, sudah kaya tetapi tidak cukup duduk tenang. Mereka tetap perlu pamer. Lihat saja akun media sosial para elite dan pasangannya. Mereka seolah tak bisa sekejap untuk istirahat dari pamer dan mengumbar kemewahan.
Oleh karena masalah terbesar sebenarnya adalah pendidikan yang berkaitan dengan perilaku atau budi pekerti yang telah hilang. Mereka tidak tahu tentang keharusan untuk menenggang perasaan sekitar. Mereka perlu menengok warga sekitar yang hidupnya tak mudah. Pada masa Orde Baru, pernah ada imbauan agar para pejabat tidak bermewah-mewah. Imbauan yang tak diikuti dengan teladan langsung hilang begitu saja.
Kini kita merasa kasihan dengan para CEO yang tetap rendah hati dan sadar dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Mereka terus bekerja dan mungkin tak muncul di media. Mereka tak suka pamer, tetapi terus bekerja dengan rekan-rekannya. Di pundak merekalah kita berharap beberapa masalah bangsa bisa diselesaikan melalui jiwa kewirausahaan, keberanian, pantang menyerah, dan juga kerja keras. Bukankah negara hebat seperti Korea Selatan, Israel, China, dan Amerika Serikat maju karena jiwa wirausaha yang kuat?