Menata Otonomi Daerah
Ajang pilkada adalah ajang partai politik dan sistem politik yang memengaruhi otonomi daerah. Sayangnya, perbaikan tata kelola pemerintahan daerah otonom bukan prioritas utama para aktor politik nasional dan lokal.
Di tengah pusaran dinamika ekonomi global yang terancam resesi, tata kelola negara bangsa Indonesia ditandai agenda besar pembangunan ibu kota negara yang baru. Ibu kota negara atau IKN ini diharapkan berkelanjutan dan kelak akan menjadi pusat pengambilan keputusan nasional yang baru.
Pusat pengambilan keputusan ini penting untuk mengendalikan jalannya pemerintahan NKRI secara keseluruhan, termasuk tata kelola otonomi daerah. Pada saat sama wajah otonomi daerah tampak lemah.
Lemahnya otonomi daerah ini ditandai tata kelola yang buruk (bad governance), mesin birokrasi lokal yang berjalan lamban, dan monotonnya kualitas pelayanan publik pemerintah daerah.
Korupsi oleh kepala daerah marak terjadi. Sepanjang 2004 hingga 2022 telah terjadi penangkapan terhadap 22 gubernur, 150 bupati/wali kota dan 300-an anggota DPRD karena kasus korupsi. Belum lagi ditambah aparatur sipil negara (ASN) birokrasi yang menjadi bagian dari korupsi tersebut.
Kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana di tingkat lokal dan belum berkualitasnya produk pengaturan di daerah juga jadi pertanda buruknya tata kelola daerah otonom.
Parkirnya dana milik daerah otonom di perbankan yang mencapai Rp 120 triliun menjadi pertanda lambannya mesin birokrasi. Hal ini tentu berpengaruh terhadap pelayanan publik daerah. Untuk itu, kita harus memikirkan secara serius langkah perbaikan yang diperlukan.
Baca juga : Otonomi Daerah Bermartabat
Kompleksitas faktor
Faktor pelemah otonomi daerah setidaknya bisa dibagi menjadi empat kelompok besar. Pertama, faktor input organisasional. Organisasi internal pemerintah daerah secara terus-menerus sudah didorong untuk melakukan perbaikan melalui reformasi birokrasi yang digencarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Dalam Negeri secara aktif dan masif.
Namun, faktanya, sampai sekarang perbaikan atmosfer birokrasi yang menjadi pelayan tangguh di tingkat lokal masih jauh panggang dari api. SDM yang tangguh masih sangat kurang. Atmosfer birokrasi juga membuat lulusan baru perguruan tinggi (fresh graduate) tak tertarik untuk bergabung ke dalam birokrasi.
Ditambah lagi kekuatan nilai-nilai lama birokrasi yang menghambat, yang tetap bercokol di tengah arus globalisasi dan perubahan teknologi, terutama di daerah-daerah terpencil (remote) di Indonesia.
Faktor kedua, konteks makro-lingkungan organisasi lokal ataupun nasional. Di tingkat nasional, aspek politik yang saat ini mendominasi menyebabkan otonomi bukannya menguat, melainkan malah melemah.
ilustrasi
Gegap gempita pilkada langsung ada dalam aras struktur politik nasional. Ajang pilkada adalah ajang partai politik dan sistem politik yang memengaruhi jalannya otonomi daerah.
Sayangnya, perbaikan tata kelola pemerintahan daerah otonom bukan prioritas utama para aktor politik nasional dan lokal karena orientasi mereka lebih banyak sebatas untuk memperebutkan/melanggengkan kekuasaan.
Kondisi ini kemudian juga merembet ke sistem sosial dan budaya nasional dan lokal. Sistem ekonomi lokal dan nasional berhubungan timbal balik dengan kualitas tata kelola otonomi daerah. Ekonomi daerah yang kuat akan berkontribusi pula pada kekuatan fiskal daerah. Menguatnya tata kelola otonomi daerah pada gilirannya juga akan menjadikan ekonomi lokal dan nasional menguat. Daerah maju, maka Indonesia juga maju.
Faktor ketiga berada dalam matra internasional. Tatanan global ikut menentukan kualitas tata kelola otonomi daerah. Sistem pemerintahan sebuah negara bangsa adalah alat dalam meraih tujuan bangsa, termasuk tujuan meraih kesejahteraan bangsa.
Tata kelola negara-bangsa harus mampu membaca situasi global dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa. Efek globalisasi menjadi penentu wajah tata kelola sebuah bangsa sampai pada tata kelola otonomi daerahnya.
Pada masa Soeharto yang sentralistis, otonomi dilihat sebagai penghalang bagi dicapainya berbagai kepentingan nasional di forum global di bidang ekonomi. Setelah Soeharto jatuh, baru desentralisasi dilakukan secara masif.
Tarik-menarik pembagian urusan dan ketidaktepatan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan jadi sumber kesimpangsiuran.
Saat ini, otonomi daerah kembali dibaca sebagai penghambat laju ekonomi nasional dalam merespons globalisasi sehingga desentralisasi ditarik kembali dengan resentralisasi.
Faktor keempat adalah faktor di dalam sistem pemerintahan NKRI sendiri. Hubungan pusat-daerah adalah salah satu aspek terkuat di dalam faktor ini. Kesimpangsiuran penggunaan asas pemerintahan terjadi di sini sehingga terdapat kegamangan praktik pemerintahan daerah di lapangan.
Agar keberhasilan reformasi terwujud sampai ke pelosok daerah di dalam NKRI, harus ada perbaikan di aspek ini. Selama ini, kesimpangsiuran yang terjadi menyebabkan reformasi birokrasi di daerah menjadi melemah. Tarik-menarik pembagian urusan dan ketidaktepatan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan jadi sumber kesimpangsiuran.
Dalam aspek ini yang tidak kalah menarik adalah pola hubungan kelembagaan antara provinsi dan kabupaten/kota yang tidak cukup jelas. Memang terdapat ruang kepemimpinan (leadership) lokal yang seharusnya berkontribusi, tanpa harus ada regulasi yang detail dan kaku, karena area ini seharusnya menjadi ruang diskresi yang fleksibel bagi para pemimpin daerah.
Kekosongan akibat tak adanya kepemimpinan lokal ini menjadikan situasi menjadi liar dan otonomi daerah justru melemah. Seharusnya etika pemerintahan banyak digunakan di sini, dan aspek kepemimpinan ini dipengaruhi oleh kualitas pilkada langsung.
ilustrasi
Perlu penataan
Dari keempat faktor besar di atas, terdapat faktor yang membutuhkan perbaikan tanpa harus mengubah perundangan. Ada juga faktor pelemah otonomi daerah, yang memerlukan perbaikan dengan mengubah peraturan perundangan.
Di antara yang membutuhkan perbaikan peraturan perundangan, ada yang harus dilakukan melalui penataan peraturan perundangan makro yang menyangkut infrastruktur politik, peraturan perundangan sektoral, dan penataan peraturan perundangan terkait pemerintahan daerah.
Penataan peraturan perundangan terkait pemerintahan daerah di sini khususnya adalah UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di UU ini diatur hubungan pusat-daerah. Jika menilik karakter bangsa Indonesia, secara kelembagaan sebetulnya berkarakter territorial-based dan menganut integrated prefectural system (IPS), di mana terdapat sistem wakil pemerintah.
Sistem ini berbenturan dengan sistem pilkada langsung, khususnya di tingkat provinsi. Untuk itu, sudah seharusnya dilakukan perbaikan terhadap keduanya, baik pilkada langsung maupun sistem IPS.
Singkatnya, penataan penyelenggaraan asas pemerintahan harus diutamakan agar tidak ada lagi kesimpangsiuran dalam pembagian urusan. Hal ini kemudian diikuti dengan perbaikan di bawahnya. Perbaikan tersebut termasuk pula menyangkut perundangan sistem pemerintahan dan penyesuaian sistem makro dan perundangan sektoral. Sementara, hal-hal di luar jangkauan peraturan perundangan seharusnya menjadi diskresi para pemimpin daerah, dengan berpegang pada etika pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, niscaya otonomi daerah akan menguat kembali secara proporsional dan tepat. Semoga.
Irfan Ridwan MaksumChairman Kajian DeLOGO-FIA-UI, Dewan MPD-ICMI-Pusat