Reformasi Bidang Kesehatan
Sudah saatnya kita melakukan reorganisasi tata kelola kesehatan yang tangguh. Dalam kaitan dengan kondisi luar biasa gangguan ginjal akut progresif saat ini, perlu dibentuk Centre for Disease Control and Prevention.
Salah satu topik dalam World Health Summit pada 16-18 Oktober 2022 di Berlin adalah the architecture of pandemic preparedness (arsitektur kesiapsiagaan pandemi). Pandemi Covid-19 menyadarkan banyak negara akan pentingnya kesiapsiagaan dalam mengidentifikasi dan mengendalikan pandemi baru ataupun epidemi yang mengancam. Untuk itu, diperlukan penguatan dan peningkatan keandalan sistem surveilans epidemiologi yang ada, dalam upaya untuk mendeteksi secara cepat patogen penyebab penyakit, disertai dengan kemampuan pengambilanan keputusan yang efektif dan berhasil guna.
Topik ini sangat relevan di saat kita menghadapi kasus gangguan ginjal akut progresif pada anak dengan tingkat kefatalan yang tinggi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kemudian mengeluarkan imbauan agar masyarakat tidak mengkonsumsi obat dalam bentuk sediaan cair atau sirop.
Hal tersebut didasarkan dari hasil penelitian sementara Kemenkes bahwa anak balita dengan gangguan ginjal akut terdeteksi memiliki tiga zat kimia berbahaya, yakni etilen glikol (ethyleneglycol/EG), dietilen glikol (diethylene glycol/DEG), dan ethylene glycol butylether (EGBE). Tiga zat itu merupakan cemaran zat kimia polyethylene glycol yang kerap dipakai sebagai pelarut pada obat-obatan sediaan sirop (Kompas, 21 Oktober 2022).
Baca Juga: Etilen Glikol dan Gagal Ginjal Akut
Baca Juga: Warga Hindari Konsumsi Obat Sirop pada Anak
Keputusan Kemenkes terkesan menyamaratakan semua sirop mengandung zat yang diperkirakan menjadi penyebab dari kasus gangguan ginjal akut progresif pada anak tersebut, tanpa disertai data dan bukti sahih keterkaitan antara keduanya. Hal ini tentu menimbulkan dampak pilihan obat-obatan untuk pertolongan pertama ataupun pengobatan jenis lini pertama seperti penanganan kejang demam anak pada masyarakat serta dapat berdampak pada keberlangsungan industri farmasi yang memproduksi obat-obat tersebut.
Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru menemukan lima obat sirop yang mengandung cemaran EG melebihi ambang batas aman. Kelima obat sirop tersebut adalah Termorex (PT Konimex), Flurin DMP (PT Yarindo Farmatama), serta Unibebi Cough, Unibebi Demam, dan Unibebi Demam Drops (Universal Pharmaceutical Industries).
Seakan perlu menebus kegagalannya pada awal pandemi Covid-19, Kemenkes kini ingin terlihat lebih progresif. Padahal, tata kelola kesehatan kita masih tetap berparadigma sektor kesehatan dan belum disiapkan untuk bertransformasi secara radikal menjadi suatu sistem kesehatan yang mampu menjawab berbagai problematika kesehatan global.
Ditambah lagi dengan kondisi kesehatan kita yang masih terbebani dengan problematika backlog dari penyakit menular, malnutrisi, dan angka kematian ibu yang tinggi. Pada saat yang bersamaan, tantangan dari penyakit tidak menular (antara lain penyakit jantung, stroke, kanker); kelainan jiwa dan kecelakaan yang merupakan beban pada negara maju sudah pula menjadi beban nasional kita.
Tata kelola kesehatan kita masih tetap berparadigma sektor kesehatan dan belum disiapkan untuk bertransformasi secara radikal menjadi suatu sistem kesehatan yang mampu menjawab berbagai problematika kesehatan global.
Selain itu, kita juga tidak sepenuhnya siap ketika dihadapkan kepada ancaman dari risiko kesehatan akibat globalisasi, seperti pandemi, impor makanan, migrasi pekerja kesehatan, sampai pada penyakit akibat perubahan iklim. Kita selama ini terlena dengan kondisi kesehatan kita yang terimbas oleh keberhasilan dari sistem kesehatan global yang sukses dalam mengendalikan penyakit infeksi dan menurunkan angka kematian anak serta meningkatkan angka harapan hidup sekitar lima tahun setiap dekade pada negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tanpa menyadari bahwa sistem kesehatan global tersebut dalam kondisi transisi.
Reorganisasi bidang kesehatan
Mencermati kondisi tersebut sudah selayaknya dilakukan reformasi melalui reorganisasi bidang kesehatan.
Pertama adalah revitalisasi kantor wilayah kesehatan (kanwilkes) di tiap provinsi. Kita pernah memiliki kanwilkes provinsi yang pada era desentralisasi tahun 2001 dilebur dengan dinas kesehatan daerah. Kompleksitas masalah kesehatan tidak mengenal batas kewilayahan. Permasalahan kesehatan tidak bisa ditangani sendiri secara terpusat, harus ada kepanjangan tangan dari Kemenkes untuk membantu menyelesaikan permasalahan spesifik dengan surveilans epidemiologi yang andal sebagai salah satu bagian dari arsitektur kesiapsiagaan pandemi.
Kondisi luar biasa gagal ginjal akut progresif pada anak ini mengingatkan kepada sejarah epidemiologi tentang wabah penyakit kolera yang sangat mematikan akibat dari diare hebatnya. Berawal dari Bengali, India, pada 1817 penyakit ini kemudian menyebar luas pada berbagai belahan dunia dan menimbulkan tidak kurang dari tujuh kali pendemi.
Baca Juga: Belajar Menangani Wabah Global dari Pandemi Flu Spanyol 1918
Pendapat para ahli kesehatan yang berkembang saat itu adalah adanya uap beracun dengan bau busuk yang keluar dari proses pembusukan (miasma teori) sebagai penyebab dari kolera. Upaya eradikasi yang kemudian dilakukan otoritas kesehatan adalah mencari sumber dari uap beracun tersebut dan menganjurkan penduduk untuk menggunakan bau-bauan yang keras dan wangi, seperti penggunaan kamfer (kapur barus), rempah-rempah, atau asap wangi-wangian tradisional.
Adalah John Snow (1813-1858), seorang dokter di London, yang sebenarnya lebih dikenal di bidang anestesi karena perannya membantu Ratu Victoria melahirkan kedua putranya dengan menggunakan kloroform, yang pada akhirnya menemukan kuman vibrio cholerae yang menular melalui air kotor sebagai penyebab kematian dari tidak kurang 52.000 orang pada 1848-1849. Selama kurun 1848 sampai 1854, Snow membuat catatan tentang kejadian kasus dan kematian yang terjadi saat itu dan berusaha mencari jawab terhadap penyebab dari penyakit ini.
Upaya Snow selama bertahun-tahun mencatat, mengamati, dan memetakan kejadian wabah kolera di daerahnya yang kemudian dibukukan dan diterbitkannya sendiri dengan judul On the Mode of Communication of Cholera. Namanya dikenang hingga kini. Penelitiannya menjadi salah satu mahakarya klasik di bidang epidemiologi dan berbagai kajian tentang penelitiannya masih ditulis oleh para ahli pada berbagai jurnal kedokteran terkemuka hingga kini.
Keberadaan kanwilkes diharapkan akan memperkuat surveilans epidemiologi serta mampu mengedepankan penyelesaian masalah kesehatan dalam masyarakat secara lebih cepat, tepat, dan inovatif dengan sajian data yang sahih. Studi epidemiologi yang baik harus dapat menggambarkan besaran masalah penyakit dan dampaknya yang luas pada kelompok masyarakat. Kesahihan kesimpulannya dapat menjadi rujukan para pemangku kepentingan dalam kerangka pengambilan keputusan sesuai dengan kearifan lokalnya, serta dapat menjadi pelengkap acuan dan rekomendasi para pemangku kepentingan di tingkat nasional ataupun internasional.
Kedua, reorganisasi Kementerian Kesehatan. Julio Frenk dan Octavio Gomez-Dantes (2011) mengingatkan bahwa dunia mengalami transformasi global yang paling radikal, kesehatan sudah bukan domain dari para ahli dan lembaga kesehatan saja, melainkan sudah terintegrasi menjadi suatu sistem kesehatan dengan keamanan nasional, pertumbuhan ekonomi, tata kelola pemerintahan yang demokratis dan hak asasi manusia.
Peringatan tersebut cenderung terabaikan dan kita tetap terfokus kepada penanganan permasalahan kesehatan secara teknokratik dengan bantuan dana dan tenaga ahli dari negara maju dengan cara pandang yang tidak selaras dengan kondisi lapangan pada negara berkembang. Era yang dikenal dengan era disiplin kesehatan internasional tersebut, lebih mengedepankan penanganan penyakit tertentu saja (seperti malaria, HIV/AIDS, demam berdarah dengue) melalui program khusus tersendiri juga, tanpa melibatkan sistem kesehatan nasional sehingga keberlanjutannya menjadi penuh ketidakpastian.
Peringatan tersebut cenderung terabaikan dan kita tetap terfokus kepada penanganan permasalahan kesehatan secara teknokratik dengan bantuan dana dan tenaga ahli dari negara maju dengan cara pandang yang tidak selaras dengan kondisi lapangan pada negara berkembang.
Pada era ini, banyak aktor kesehatan baru yang bermunculan dari kalangan pengusaha, filantropis, lembaga swadaya masyarakat, bahkan masyarakat sipil yang peduli dengan kesehatan menjadi pelengkap aktor tradisional, yaitu menteri kesehatan negara dan WHO. Secara bersama ataupun tidak, mereka berkolaborasi dalam program di bidang kesehatan, antara lain WHO’s Roll Back Malaria Partnership (RBM), Stop TB, The Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), The Global Fund to Fight AIDS, dan Tuberculosis and Malaria (GFATM).
Semakin lama peran dari aktor kesehatan ini menjadi penting seiring dengan semakin kompleksnya kondisi kesehatan global. Tanpa disadari mereka mulai menancapkan pengaruhnya dalam penanganan bidang kesehatan sejalan dengan besarnya dana yang mereka keluarkan.
Artikel dari The Lancet edisi 373 (2009) menyebutkan bahwa Bill dan Melinda Gates pada 2007 mengeluarkan dana setara dengan anggaran tahunan WHO (David McCoy, dkk). Peran mereka berlanjut hingga era global dengan hadirnya virus SARS-Cov2. Pada saat yang bersamaan (2015) semua negara anggota PBB mengadopsi The 2030 Agenda for Sustainable Development (Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030, SDGs).
Baca Juga: Tata Ulang Kesehatan Global
Baca Juga: Transformasi Digital Kesehatan Dinilai Masih Sebatas Jargon
Sudah saatnya kita melakukan reorganisasi kementerian kesehatan yang tangguh (resilience). Direktorat Kemenkes yang ada perlu ditata ulang dengan mempertimbangkan permasalahan global serta mampu mengadopsi SDGs sehingga akan dicapai keluaran dan dampak yang lebih terukur. Untuk melengkapinya dan mengakomodir direktorat yang sangat teknis, perlu dibentuk beberapa institut, inisiatif, atau badan yang bertanggung jawab untuk permasalahan medis, seperti Biomedical & Genome Science Initiative yang baru diresmikan pada Agustus 2022.
Dalam kaitan dengan kondisi luar biasa gagal ginjal akut progresif ini, yang dirasakan perlu terbentuk adalah Centre for Disease Control and Prevention (CDC). Salah satu CDC yang terkenal di dunia adalah CDC USA. Didirikan sejak tahun 1946, CDC Atalanta memiliki misi sebagai pelindung rakyatnya terhadap ancaman kesehatan, keselamatan, dan keamanan yang datang dari dalam dan luar negeri. Dengan demikian, semua penyakit baik akut maupun kronis, yang bisa dicegah ataupun diobati akibat dari kesalahan ataupun kesengajaan yang dilakukan oleh manusia, dari mana pun akan dibentengi oleh CDC.
Reformasi kesehatan ini diharapkan nantinya akan diperkaya dalam KTT ke-17 G-20 yang salah satu agenda utama sektor kesehatan adalah Restructuring the Global Health Architecture, serta sebagai bahan masukan penting dalam pembahasan RUU bidang kesehatan yang telah tercantum dalam Prolegnas 2023.
Stefanus Lawuyan, Konsultan Manajemen Kesehatan Rumah Sakit Ferina Surabaya