Etilen Glikol dan Gagal Ginjal Akut
Kasus gagal ginjal akut di Indonesia per 18 Oktober 2022 mencapai 208 kasus dan terjadi di 20 provinsi. Angka kematian kasus ini di Indonesia mencapai 56,7 persen. Di RSCM, angka kematian mencapai 65 persen.

Ilustrasi
Pada Juli 2022, pejabat medis Gambia mendeteksi terjadinya kasus gagal ginjal akut atipikal (atypical acute kidney injury) yang bersifat masif. Dua bulan berikutnya, yakni pada 14 Oktober 2022, Pemerintah Gambia melaporkan 70 anak meninggal karena gagal ginjal akut.
Atas kasus ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan investigasi terhadap obat yang digunakan para pasien yang dilaporkan Pemerintah Gambia itu.
Berdasarkan hasil investigasi, WHO menduga kuat penyebab gagal ginjal akut tersebut adalah etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang mencemari obat batuk dalam bentuk sediaan sirop. WHO menduga obat batuk yang digunakan para pasien tersebut mengandung pelarut yang tercemar oleh EG dan DEG.
Beberapa obat batuk yang dicurigai itu diimpor dari India dan diproduksi oleh perusahaan farmasi Maiden Pharmaceutical Limited.
Kasus keracunan massal EG dan DEG sebenarnya sudah terjadi sejak lama, mulai dari tahun 1937 sampai dengan tahun 2022 di 18 negara. Kasus keracunan paling awal terjadi di Amerika Serikat (1937), yang dikenal sebagai insiden Massengill, kemudian terjadi di Afrika Selatan, Spanyol, India, China, dan sederet negara lain sampai yang terakhir di Gambia pada 2022.
Seorang ahli epidemiologi mengusulkan kasus gagal ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia.
Pencemaran pelarut obat sirop
Kementerian Kesehatan RI melaporkan, kasus gagal ginjal akut di Indonesia per 18 Oktober 2022 mencapai 208 kasus dan terjadi di 20 provinsi. Angka kematian kasus ini di Indonesia mencapai 56,7 persen. Di RS Cipto Mangunkusumo dilaporkan angka kematian mencapai 65 persen. Seorang ahli epidemiologi mengusulkan kasus gagal ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia.
Produsen obat dalam bentuk sediaan sirop selama ini banyak yang menggunakan gliserin atau propilen glikol sebagai bahan pelarut. Pembuatan pelarut tersebut untuk kategori pharmaceutical grade harus dilakukan dengan pengawasan yang sangat ketat dan mengikuti sepenuhnya aturan current good manufacturing practices (cGMP).
Proses produksi gliserin dan propilen glikol yang tidak benar serta tidak sesuai dengan cGMP dapat berisiko menyebabkan terjadinya pencemaran, termasuk pencemaran EG dan DEG. Pelarut yang tercemar ini, apabila digunakan untuk pembuatan obat dalam bentuk sediaan sirop, akan menyebabkan keracunan fatal, terutama bagi anak-anak balita.

Kejadian di Gambia sangat boleh jadi disebabkan manufakturnya tidak menaati sepenuhnya aturan cGMP dan mereka tidak melakukan uji purivitas terhadap pelarutnya. Terjadinya kasus keracunan massal mengindikasikan telah terjadi cemaran yang melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi, terutama oleh anak-anak balita.
Dalam konteks ini, mestinya WHO dapat melakukan penelusuran secara menyeluruh dan komprehensif, mulai dari pembuatan pelarut tersebut sampai ke mana didistribusikannya, baik di pasar domestik India maupun untuk pasokan ke pasar internasional.
Jika gliserin dan propilen glikol yang tercemar tadi diekspor ke banyak negara, kasus keracunan dapat tersebar menjadi sangat luas dengan korban yang jauh lebih besar.
Perlu dicermati apakah ada perusahaan manufaktur farmasi atau importir bahan baku obat Indonesia yang mengimpor gliserin dan propilen glikol dari India, terutama produsen yang mengandalkan pasokan pelarut siropnya kepada Maiden Pharmaceutical.
Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa perusahaan manufaktur farmasi di Indonesia diwajibkan untuk menguji seluruh bahan sebelum digunakan dalam proses produksi. Meskipun bahan tersebut ketika diimpor dilengkapi dengan Certificate of Analysis (CoA) dan diproduksi oleh pemasok yang memenuhi syarat cGMP, tetap diwajibkan adanya pengujian laboratorium untuk memastikan kualitas dan keamanannya (quality and safety) dari bahan-bahan yang akan digunakan.
Manifestasi klinis dari penderita gagal ginjal akut sangat serupa dengan manifestasi klinis keracunan EG dan DEG.
Manifestasi klinis keracunan EG dan DEG
Beberapa pihak menyatakan bahwa kasus gagal ginjal akut yang terjadi di Indonesia belum tentu disebabkan oleh penggunaan obat sediaan sirop yang tercemar oleh EG dan DEG.
Menurut mereka, dapat dimungkinkan kejadian tersebut disebabkan oleh kasus-kasus penyakit lain yang belum diketahui. Akan tetapi, Kementerian Kesehatan sendiri menyinyalir bahwa pada para penderita tidak terdapat infeksi virus ataupun mikroba lain. Manifestasi klinis dari penderita gagal ginjal akut sangat serupa dengan manifestasi klinis keracunan EG dan DEG.
EG atau DEG menimbulkan efek depresi sistem saraf pusat yang sangat mirip dengan etanol. Metabolitnya, yaitu asam glikolat dan asam oksalat, dapat merusak banyak organ, terutama ginjal.
Kalsium oksalat yang mengendap di berbagai jaringan, terutama jaringan ginjal, akan menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut. Kasus-kasus gagal ginjal akut yang terjadi akhir-akhir ini manifestasinya adalah mual, muntah, dan penurunan volume urine, bahkan tidak dapat mengeluarkan urine.

Manifestasi klinis, menurut seorang dokter, terjadi secara cepat dalam waktu satu sampai dua jam setelah EG tertelan oleh pasien. Dalam kurun waktu empat sampai dengan 12 jam, terjadi dispepsia, hipertensi, penurunan kesadaran, koma, kejang, dan oliguria, yang mengindikasikan terjadinya gagal ginjal akut bisa menyebabkan kematian.
Penggunaan EG secara sengaja ataupun tidak sengaja lebih besar dari 1 miligram per kilogram berat badan (mg/kg) pada anak-anak berpotensi mengakibatkan kematian.
Langkah konservatif Kemenkes dan penggunaan antidotum
Kementerian Kesehatan Indonesia, dengan pertimbangan untuk menyelamatkan anak-anak, mengambil langkah konservatif, yakni dengan melarang untuk sementara penggunaan obat dalam bentuk sediaan sirop.
Pelarangan ini berlaku sampai ada kejelasan hasil investigasi yang menyeluruh tentang permasalahan pencemaran EG dan DEG dalam sediaan obat berbentuk sirop. Untuk melindungi anak-anak dari risiko bahaya gagal ginjal akut, pelarangan sementara ini dapat dibenarkan sepanjang investigasi dilakukan secara tuntas.
Sementara itu, diberitakan bahwa untuk mengobati kasus gagal ginjal akibat keracunan EG ini, Kementerian Kesehatan akan mengimpor antidotum dari Singapura, yaitu injeksi antizol yang mengandung fomepizol.
Baca juga : Pemerintah Siapkan Obat Penawar untuk Pasien Gagal Ginjal Akut
Baca juga : Gagal Ginjal Akut Mengarah pada Kejadian Luar Biasa
Jika kasusnya masih tahap awal, antidotum ini kemungkinan mempunyai efektivitas yang baik, tetapi jika kondisi pasien sudah sangat parah, hasilnya tentu kurang maksimal.
Menurut literatur, untuk keracunan EG dan EG dapat diberikan antidotum sementara berupa etanol yang berfungsi untuk memblokir metabolisme EG menjadi metabolik toksisnya. Pemberian etanol ini dilakukan sebelum dilakukan hemodialisis. Femeprizole dapat digunakan juga sebagai antidotum sementara sebelum dilakukan hemodialisis. Menjadi pertanyaan penting, jika harus dilakukan hemodialisis, apakah setelah itu cuci darahnya bersifat reversible atau irreversible?
Sampurno, Direktur Jenderal POM 1998-2001; Kepala Badan POM 2001-2006

Sampurno