Transformasi Digital Kesehatan Dinilai Masih Sebatas Jargon
Transformasi digital kesehatan di Indonesia diharapkan tidak sekadar jargon. Berbagai kendala yang terjadi perlu segera diatasi sehingga tujuan transformasi untuk memudahkan akses masyarakat bisa tercapai.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi digital pada layanan publik bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan yang dibutuhkan, termasuk layanan kesehatan. Namun, saat ini masih banyak masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan layanan, bahkan ketika genting.
Hal tersebut tergambarkan dalam riset yang dilakukan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Yayasan Tifa mengenai tata kelola data di sektor pendidikan dan kesehatan. Riset yang dilakukan pada 2021 tersebut berfokus pada lima aspek dengan tiga aspek, di antaranya terkait dengan kesehatan, yakni beban layanan kesehatan, penelusuran kontak, dan vaksinasi.
Peneliti dari CIPG, Klara Esti di Jakarta, Rabu (16/3/2022), menyampaikan, data merupakan kunci dari transformasi digital pelayanan publik, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Akan tetapi, praktik kelola data di sektor kesehatan belum memadai untuk mewujudkan pelayanan publik yang optimal. Akibatnya, warga kesulitan untuk mengakses layanan.
”Jadi, transformasi digital pelayanan publik saat ini sudah melampaui jargon atau justru baru sebatas jargon saja. Sebab, seharusnya transformasi digital ini mempermudah warga mengakses layanan yang menjadi haknya,” tuturnya.
Menurut dia, akurasi, integrasi, serta keandalan data menjadi kunci dalam transformasi digital layanan publik. Sementara itu, sejumlah tantangan masih ditemukan dalam mewujudkan transformasi tersebut. Itu, antara lain, data yang terpencar dan sulit dibagikan, sistem informasi yang tidak terintegrasi, jumlah dan kualifikasi SDM yang terbatas, data yang belum terstandardisasi, serta pemahaman yang berbeda dalam tata kelola data.
Klara menuturkan, tantangan tersebut setidaknya ditemukan dalam alur data beban layanan kesehatan. Survei yang dilakukan terkait riset tersebut menemukan setidaknya ada 14 aplikasi atau sistem informasi terkait beban layanan kesehatan untuk layanan Covid-19. Namun, tidak semua aplikasi tersebut dapat diandalkan saat kondisi krisis.
Transformasi digital pelayanan publik saat ini sudah melampaui jargon atau justru baru sebatas jargon saja. Sebab, seharusnya transformasi digital ini mempermudah warga mengakses layanan yang menjadi haknya.
Riset ini menemukan, penggunaan SISRUTE (sistem informasi rujukan terintegrasi nasional) di Jawa Barat tidak efektif. Begitu pula Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) di Pontianak.
Tantangan lain juga ditemukan pada alur data vaksinasi. Sistem pelayanan vaksinasi diintegrasikan dan diakomodasi oleh pemerintah pusat. Meskipun alur data vaksinasi ini dikerjakan antarsistem, ditemukan data yang tidak akurat.
Hal ini terjadi karena ada kendala integrasi dan interoperabilitas (dibagi-pakaikan) data, khususnya terkait data kependudukan. Masalah tersebut, antara lain, NIK pada KTP yang tidak sesuai dengan sistem P-Care ataupun NIK yang sudah terpakai. Penerbitan sertifikat vaksinasi pun terhambat. Selain itu, ditemukan fakta juga bahwa masih terdapat mekanisme pencatatan oleh penyelenggara vaksinasi yang memuat data pribadi.
Perlu penguatan kapasitas
Peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) Anis Fuad berpendapat, proses digitalisasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan sudah cukup baik. Meski begitu, penguatan kapasitas institusi sangat diperlukan. Digitalisasi yang dilakukan perlu dipastikan dapat diterapkan sampai ke level daerah.
Dengan adanya Pusat Transformasi Digital (Digital Transformation Office/DTO) di Kementerian Kesehatan sebaiknya juga diikuti dengan pembentukan DTO di level provinsi. Dengan demikian, persoalan integrasi dan tukar menukar data bisa dikurangi.
”Inti dari transformasi ialah membangun kepercayaan dan terjadi perubahan yang tidak hanya struktural, tetapi juga substansi. Ini terkait dengan kemudahan akses masyarakat. Pastikan pula, transformasi yang dilakukan dapat diterjemahkan dengan baik sehingga dapat mudah diterima oleh masyarakat,” tuturnya.
Chief of Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji menyampaikan, terdapat tiga agenda besar yang disiapkan pemerintah terkait dengan strategi transformasi kesehatan. Ada dua agenda yang menjadi prioritas, yakni terkait data dan aplikasi.
Terkait kepentingan data, standardisasi data kesehatan akan segera diselesaikan. Setidaknya terdapat sembilan kode referensi yang akan diluncurkan dalam upaya standardisasi data tersebut, antara lain, kode obat-obatan, alat kesehatan, fasilitas kesehatan, dan layanan medis. Kode ini diperlukan untuk memudahkan klasifikasi dari pengembangan riset dan inovasi terkait kesehatan.
”Kami juga akan melakukan simplifikasi pada aplikasi yang digunakan oleh tenaga kesehatan. Sekarang setidaknya ada 51 aplikasi di rumah sakit dan 70 aplikasi di puskesmas yang digunakan oleh tenaga kesehatan. Nantinya kami akan sederhanakan hanya menjadi dua atau tiga aplikasi utama yang terintegrasi sehingga tidak membebani tenaga kesehatan serta laporan data bisa rutin,” tutur Setiaji.