Tata Ulang Kesehatan Global
Indonesia dapat dan harus berperan besar dan bahkan ikut memimpin tata ulang kesehatan global demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan demi nama harum bangsa.
Pada pidato dalam Sidang Umum Tahunan Ke-76 PPB, 23 September 2021, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, di masa depan kita harus menata ulang arsitektur ketahanan kesehatan global (global health security system).
Diperlukan mekanisme baru untuk penggalangan sumber daya kesehatan global, baik pendanaan, vaksin, obat-obatan, alat-alat kesehatan, maupun tenaga kesehatan, secara cepat dan merata di semua negara. Presiden juga menyampaikan perlunya standardisasi protokol kesehatan global dalam hal aktivitas lintas batas negara.
Pentingnya penataan ulang kesehatan dunia juga disampaikan Panel Independen yang dibentuk WHO untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (Pandemic Preparedness and Response), yang diketuai mantan PM Selandia Baru Helen Clark dan mantan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf.
Panel Independen ini pada Januari 2021 menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 harus menjadi katalis untuk perubahan yang sistematis dan mendasar. Dibutuhkan tatanan global yang baru (new global framework) untuk mendukung pencegahan dan perlindungan terhadap kemungkinan pandemi di masa datang.
Sambutan Presiden Jokowi dalam sidang umum PBB ini menjadi amat penting dalam perspektif peran aktif Indonesia dalam diplomasi kesehatan internasional.
IHR ”tanpa” pandemi
Sambutan Presiden Jokowi dalam sidang umum PBB ini menjadi amat penting dalam perspektif peran aktif Indonesia dalam diplomasi kesehatan internasional. Apalagi kalau dikaitkan dengan Indonesia akan memegang presidensi G-20 pada 2022, tepatnya dari 1 Desember 2021 sampai 30 November 2022, dengan tema utama ”recover together, recover stronger”, pulih bersama dan tangguh bersama, tentu termasuk di bidang kesehatan.
Sehubungan dengan pidato Presiden Jokowi tentang aktivitas lintas batas negara dalam konteks kesehatan, tentu kita perlu mengacu pada international health regulation (IHR) yang mengatur ini.
Dalam sejarahnya, IHR bermula dalam bentuk international sanitary regulation (ISR) yang diadopsi pada 1951, tiga tahun sesudah WHO berdiri.
Kemudian pada 1969 berubah menjadi international health regulation (IHR) yang tadinya hanya mencakup beberapa penyakit, lalu berproses untuk direvisi sejak 1995. Dan pada 2001 IHR dihubungkan dengan ketahanan kesehatan global (global health security).
Akhirnya, pada 2005 semua negara anggota WHO mengadopsi IHR yang sampai saat ini dipakai. Tujuan IHR (2005) adalah mencegah, melindungi terhadap, mengendalikan, dan memberikan respons kesehatan masyarakat terhadap penyebaran penyakit antarnegara, dengan sebisa mungkin tanpa harus mengganggu perdagangan dan perjalanan internasional.
Dalam pembicaraan tentang tatanan ulang kesehatan global, IHR (2005) adalah salah satu yang paling banyak disorot. Salah satu contohnya, sekarang dunia dihantam pandemi Covid-19, sementara aturan mengenai pandemi tidak ada dalam IHR (2005). Yang ada hanyalah istilah ”public health emergency of international concern” (PHEIC).
Seperti diketahui, Dirjen WHO menyatakan Covid-19 sebagai PHEIC pada 31 Januari 2021, dan baru pada 11 Maret 2021 menyatakan Covid-19 sebagai pandemi, sesuatu yang oleh sementara pihak disebut sebagai sudah terlambat, seperti juga pendapat Panel Independen WHO. Kalau saja dalam IHR (2005) ada aturan mengenai pandemi, bukan tak mungkin pernyataan pandemi Covid-19 lebih awal dikeluarkan dan situasi bisa dikendalikan sejak lebih awal.
Contoh lain, sesudah pandemi H1N1 pada 2009, WHO membentuk The International Health Regulations Review Committee, dengan saya salah satu anggotanya, untuk menilai apa yang dilakukan dunia dalam menghadapi pandemi ketika itu.
Kesimpulan komite ini pada 2011 menyebutkan, dunia tidak siap menghadapi pandemi (the world is ill-prepared). Sesudah dinyatakan tidak siap, pada tahun-tahun sesudah 2011 dilakukan berbagai penguatan implementasi IHR (2005) yang dinilai secara berkala dengan mekanisme joint external evaluation (JEE). Banyak sekali negara mengikuti JEE ini, termasuk Indonesia, dan hasilnya pada umumnya cukup baik dan hanya sebagian kecil indikator yang perlu diperbaiki.
Baca juga : Membangun Kembali Tata Kelola Kesehatan Global
Namun, kemudian, datang Covid-19, dan WHO kembali membentuk tim review yang kali ini bernama Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response. Pada 2021, Panel Independen ini mengeluarkan hasil evaluasinya yang kembali menyebut dunia tidak siap menghadapi pandemi, kali ini disebut sebagai ”the world was not prepared”. Artinya, dengan upaya penerapan IHR selama sepuluh tahun sejak 2011 sampai 2021, dunia tidak juga siap menghadapi pandemi.
Tentu masih ada berbagai aspek lain dari IHR (2005) yang perlu dikaji untuk menilai apakah masih relevan dan atau perlu perubahan mendasar. Dalam kaitan ini, sekarang sedang berproses pembentukan suatu aturan yang lebih baik, lebih lengkap, dan punya aspek legal yang lebih kuat, dalam bentuk pandemic framework convention.
Sebagai anggota WHO dan apalagi presidensi G-20, Indonesia tentu punya peran penting dan bahkan kepemimpinan strategis untuk mengkaji IHR (2005) dan pembentukan Konvensi Pandemi untuk menyelamatkan dunia ini.
Lima prioritas
Setidaknya ada lima hal penting lagi yang harus diprioritaskan dalam tata ulang kesehatan global agar dunia lebih siap menghadapi ancaman masalah kesehatan internasional di masa datang.
Pertama, dunia dan semua negara harus melakukan investasi untuk program persiapan (preparedness) menghadapi kemungkinan pandemi di masa datang.
Kalau situasi pandemi Covid-19 sudah lebih terkendali nantinya, jangan lalu terlena, aktivitas kesiapan menghadapi ancaman berikut harus jadi prioritas program kesehatan, termasuk jaminan ketersediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan tentunya tenaga kesehatan terampil.
Hal kedua adalah tentang penganggaran kesehatan. Ini perlu jadi prioritas penting. Peran Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan badan keuangan regional menjadi amat penting untuk memberi prioritas bagi ketahanan kesehatan global, guna menunjang kebijakan anggaran negara-negara dalam menangani kesehatan masyarakatnya.
Hal ketiga, perlunya ada komitmen tinggi di tingkat kepala negara/kepala pemerintahan di dunia untuk menjalankan berbagai program kesehatan masyarakat, termasuk mengatasi masalah penyebaran penyakit melewati lintas batas negara.
Hal keempat, pentingnya kegiatan surveilans di dunia, antarnegara dan di dalam negara masing-masing, agar dapat diketahui data lengkap tentang kecenderungan (trend) penyakit dan masalah kesehatan, terutama yang mungkin berpotensi menyebar luas di dunia.
Kegiatan surveilans harus menjadi salah satu prioritas utama di masa kini dan masa datang.
Hal kelima, perlu ada penguatan yang jelas bagi peran dan fungsi WHO, dalam hal kemandirian, otoritas, dan anggarannya. Hal ini perlu terwujud di WHO tingkat pusat, di berbagai kantor regional, serta perwakilan-perwakilan WHO di negara-negara anggota.
Semua hal di atas memerlukan kajian diplomasi kesehatan internasional yang mendalam. Kita punya amat banyak pengalaman dan sarat pengetahuan di bidang ini.
Indonesia dapat dan harus berperan besar dan bahkan ikut memimpin tata ulang kesehatan global demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan demi nama harum bangsa.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, dan Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes