Tahun 2020 menjadi lembaran buruk tata kelola kesehatan global. Solidaritas dan kerja sama antarnegara dalam menghadapi pandemi Covid-19 tidak sesuai harapan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Dunia yang sudah terhubung dalam banyak bidang disatukan kembali oleh pandemi Covid-19. Menghadapi ”musuh bersama” itu, respons negara-negara terhadap pandemi terkotak-kotak, tidak selaras. Kepentingan sempit nasional menghambat upaya bersama mengalahkan pandemi.
Arsitektur kesehatan global yang ada sekarang dibangun dari krisis yang bertujuan untuk lebih menyehatkan dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang terbentuk sejak tahun 1948, menyediakan fondasi bagi kerja sama internasional bidang kesehatan. Lembaga yang bermarkas di Geneva, Swiss, ini berada di garis depan sebagai dirigen yang mengarahkan dan mengoordinasi langkah internasional dalam menghadapi masalah kesehatan dengan standar tertinggi.
Adalah Regulasi Kesehatan Internasional (IHR) yang menjadi instrumen utama WHO dalam menghadapi ancaman pandemi, memandu agar setiap negara mampu mendeteksi, mencegah, dan merespons setiap potensi ancaman pandemi.
Instrumen tersebut dilengkapi oleh sistem lebih luas di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyediakan inisiatif kerja sama kesehatan global. Beberapa kali Sidang Umum PBB telah mengalokasikan pertemuan tingkat tinggi membahas isu kesehatan mulai dari penyakit tidak menular, tuberkulosis, resistensi antibiotik, hingga jaminan kesehatan.
Bahkan, Dewan Keamanan (DK) PBB juga memberi perhatian pada situasi darurat kesehatan dengan meningkatkan respons politik pada ancaman ketahanan kesehatan, mulai dari HIV/AIDS hingga epidemi ebola.
Pandemi Covid-19 yang menyebar dengan kecepatan eksponensial mengingatkan kita bahwa tak ada satu pun negara yang sanggup mengatasinya sendirian. Terlebih dalam banyak sektor dunia sudah menjelma menjadi ”kampung global” yang terhubung dalam jalinan yang kompleks.
Terhambat nasionalisme
Itu sebabnya, ketika pandemi terjadi, multilateralisme akan menjadi kekuatan yang merepresentasikan kesatuan dunia menghadapi ancaman bersama. Namun, pandemi yang berlangsung hampir setahun justru mempertontonkan bagaimana visi nasionalisme negara jadi hambatan bagi semangat solidaritas yang dibawa badan dunia dan organisasi internasional lain.
Sejumlah pemimpin negara telah melemahkan kewenangan WHO, menghalangi respons terkoordinasi PBB, dan memberlakukan kebijakan menutup diri yang mengotak-ngotakkan dunia dalam menghadapi pandemi. Kepemimpinan WHO pun diserang. Amerika Serikat menarik diri dan tidak memenuhi kewajiban donasi pada WHO.
Dalam sebuah diskusi virtual yang digelar Council on Foreign Relation, Mei lalu, Ilona Kickbush, pendiri Program Kesehatan Global, Graduate Institute of International and Development Studies, Geneva, mengatakan, kesehatan telah dipakai sebagai proksi dalam semua level konflik geopolitik. ”Ini merusak,” ujarnya.
Di luar ”serangan” yang kasatmata, beberapa negara juga melemahkan tata kelola global dengan melanggar kewajiban IHR, termasuk tidak memberikan informasi akurat kepada WHO dan tidak bertindak sesuai rekomendasi WHO.
Tujuan IHR untuk mengharmoniskan respons nasional terhadap pandemi sambil memfasilitasi kerja sama internasional tak tercapai. Sejumlah negara lebih mengedepankan kepentingan politik dibandingkan menaruh perhatian pada kenyataan epidemiologi.
Dalam artikelnya di American Journal of Public Health, Lawrence O Gostin dari O’Neill Institute for National and Global Health Law, Georgetown University Law Center, Washington DC, dan kawan-kawan menyebutkan, sistem PBB sangat bergantung pada kerja sama internasional. Akan tetapi, konflik politik yang berlangsung melumpuhkan hal itu sehingga respons global atas pandemi menjadi tidak terkoordinasi.
DK PBB, misalnya, terombang-ambing di antara AS-China yang berpolemik soal asal-usul virus SARS-CoV-2 dan kecepatan penanganannya. Alhasil, butuh waktu enam bulan bagi DK PBB untuk mengadopsi resolusi pertama tentang Covid-19, mendukung seruan Sekretaris Jenderal PBB agar gencatan senjata di daerah konflik dilakukan untuk memberikan ruang bagi wilayah itu menghadapi pandemi dan persoalan kemanusiaan lainnya.
Di awal pandemi, kebijakan proteksionisme atas peralatan kesehatan juga menguat seiring dengan sikap negara-negara menutup perbatasannya. Belakangan, perburuan vaksin Covid-19 yang kian agresif oleh sejumlah negara juga berhasil ”menyerap” mayoritas stok vaksin Covid-19 dunia, meninggalkan negara miskin dan berkembang mengantre lama.
Faktor AS
Amerika Serikat telah lama berdiri di garis depan kesehatan global. Negara adidaya ini terdepan dalam tata kelola kesehatan global melalui keterlibatannya, baik secara bilateral maupun multilateral, selama bertahun-tahun.
Program Darurat Presiden untuk Bantuan AIDS (PEPFAR) dan Global Health Security Agenda (GHSA) menjadi contoh bagaimana kepemimpinan AS dalam kesehatan global. Belum lagi dukungannya dalam kemitraan kesehatan global, termasuk pada Global Fund—untuk memerangi AIDS, tuberkulosis, serta malaria—dan Gavi.
Namun, Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump justru menarik diri dari tata kelola dunia. Bahkan, Trump membawa AS—penyumbang terbesar anggaran WHO—keluar dari WHO. Trump juga melumpuhkan usaha PBB dengan serangannya kepada China sambil menimbun vaksin Covid-19.
Akibatnya, ujar Lawrence O Gostin, pengaruh global AS melemah. Negara yang semula adidaya itu kini menjadi mitra yang tak bisa dipercaya dalam menghadapi krisis yang bisa berujung pada hancurnya legitimasi AS dalam kesehatan global. Tanpa dukungan AS, usaha global menghadapi krisis akan terbatas. Pada saat yang sama, kehadiran China dengan diplomasi alat medis dan vaksinnya menebar kecurigaan ”ada udang di balik batu”.
Meski kehadiran AS dalam kesehatan internasional bisa berdampak positif, adakalanya AS juga menyetir arah kesehatan global sesuai kepentingan ekonomi domestiknya. Saat mengendalikan penyakit tak menular, sering kali WHO bertabrakan dengan kepentingan perusahaan multinasional dari negara maju, seperti AS.
Oleh karena itu, absennya AS dalam tata kelola kesehatan dunia bisa memudahkan lembaga internasional untuk mengambil pendekatan lebih fleksibel soal hak atas kekayaan intelektual untuk mempromosikan akses pada obat terjangkau, fokus pada pencegahan dan pengendalian penyakit tak menular yang dipicu pemasaran produk tembakau, alkohol, serta makanan dan minuman tak sehat lainnya.
Tahun 2020 akan jadi pengingat bagi dunia bahwa ada persoalan besar dalam tata kelola kesehatan global saat ini. Di tengah kelindan konflik politik kewilayahan yang kompleks, menjadi pekerjaan yang berat bagi badan dunia untuk membawa semua negara duduk bersama, mempererat solidaritas, bekerja sama menyelesaikan masalah bersama, yaitu pandemi Covid-19.
Dalam artikelnya di Think Global Health, 18 November 2020, Les Roberts, Profesor Migrasi Paksa dan Kesehatan Columbia University, berpendapat, agar tata kelola kesehatan global lebih kuat, WHO sebagai organisasi harus diperkuat fungsinya. Tak cuma fungsi koordinasi dan kemitraan, tetapi juga fungsi penegakan secara terpisah.
Pandemi belum akan berakhir dalam waktu dekat meski vaksin sudah ditemukan. Tahun 2021 akan jadi halaman baru yang menunjukkan apakah ada perubahan mendasar dalam tata kelola kesehatan global.