Di Balik Diplomasi Vaksinnya, China Mengharapkan Imbalan Diplomatik
Sejak Amerika Serikat menarik diri dari panggung global, termasuk di bidang kesehatan, China tampil menggambarkan dirinya sebagai pemimpin dalam kesehatan global. Namun, sikap baik China ini dinilai memiliki motif.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Di saat negara-negara kaya berebut memborong calon vaksin Covid-19 dari perusahaan farmasi ternama, China justru menawarkan calon vaksinnya sendiri ke negara-negara miskin dan berkembang. Namun, langkah ini dinilai tak sepenuhnya altruistik. Beijing mengharapkan imbalan diplomatik jangka panjang.
Strategi China itu membawa sejumlah dampak positif, yakni mengalihkan kemarahan dan kritik terhadap China sebagai negara asal mula munculnya pandemi Covid-19, meningkatkan popularitas perusahaan bioteknologi China, serta memperkuat dan memperluas pengaruh China di Asia dan sekitarnya.
”Tidak diragukan lagi China mempraktikkan diplomasi vaksin sebagai upaya untuk memperbaiki citranya yang ternoda,” kata Huang Yanzhong, senior fellow kesehatan global di Council in Foreign Relations (CFR), Kamis (10/12/2020). ”Langkah itu juga menjadi alat untuk meningkatkan pengaruh China dan... masalah geopolitik.”
Mendapat kritik tajam atas penanganan awal pandemi di kota Wuhan, China mengerahkan sumber dayanya sendiri untuk mengendalikan pandemi. Kantor berita Pemerintah China menampilkan foto-foto perkembangan pesat aktivitas di kolam renang dan acara olahraga yang menandakan kehidupan kembali normal di kota itu.
Di bulan-bulan awal pandemi, Beijing mengekspor jutaan masker dan alat pelindung diri serta mengirim tim medis untuk membantu memperkuat sistem kesehatan di Eropa dan Afrika yang sedang mendapat tekanan oleh lonjakan kasus Covid-19.
Saat ini, ketika mayoritas perusahaan farmasi Barat mulai menghadirkan vaksinnya ke pasar, China memasarkan vaksin Covid-19 buatan mereka sendiri dan telah menandatangani kesepakatan penjualan jutaan dosis, termasuk dengan negara-negara yang hubungannya dengan China terkadang buruk.
Malaysia dan Filipina, contohnya, yang sempat protes terhadap ambisi China di Laut China Selatan, kini telah menandatangani kesepakatan pembelian vaksin dengan China. Pekan ini, Indonesia telah menerima 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 dari Sinovac, China, dan akan menerima 1,8 juta dosis lagi bulan depan.
Jakarta telah membeli lebih dari 350 juta dosis vaksin dari berbagai sumber, termasuk dari AstraZeneca. Namun, mayoritas berasal dari Sinovac dan Sinopharm, China.
China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Terdapat sejumlah proyek yang dipegang perusahaan China di Indonesia, termasuk kereta cepat yang merupakan bagian dari Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Meski Indonesia sempat mengirim jet tempur dan kapal perang untuk berpatroli di Kepulauan Natuna setelah kapal nelayan dan penjaga pantai China terlihat berada di batas Laut China Selatan, hubungan dengan Beijing tetap krusial bagi Jakarta.
Bukan tanpa syarat
Pada Agustus lalu, Perdana Menteri China Li Keqiang juga berjanji memprioritaskan akses vaksin untuk negara-negara di sepanjang aliran Sungai Mekong. Kekeringan di negara-negara itu telah diperparah oleh pembangunan bendungan China di hulu.
”Diplomasi vaksin China tidak tak bersyarat,” kata Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio dalam tulisan ilmiahnya yang dipublikasikan di Yusof Ishak Institute, Singapura.
”Beijing dapat menggunakan bantuan vaksin untuk memajukan agendanya di kawasan, terutama dalam isu-isu sensitif, seperti klaimnya di Laut China Selatan,” tambah Ardhitya dan Klaus.
Menurut Huang, dengan menawarkan vaksin Covid-19 mereka sebagai ”barang publik” kepada dunia, Presiden China Xi Jinping menggambarkan dirinya sebagai pemimpin dalam kesehatan global dan mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan Amerika Serikat.
Washington juga absen dari COVAX, aliansi global 189 negara yang mendesak kesetaraan akses vaksin Covid-19 global yang didirikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di saat yang sama, Oktober lalu, Beijing menyatakan diri bergabung dengan aliansi ini ketika perusahaan farmasi China memulai uji klinis tahap akhir vaksin Covid-19.
Namun, COVAX hanya mencakup 20 persen populasi negara-negara menengah ke bawah sehingga ini memberikan peluang pembelian langsung vaksin secara komersial.
Menangkap peluang
China melihat peluang ini dan sekarang meningkatkan fasilitas produksi mereka untuk memenuhi target produksi satu miliar dosis tahun depan. Setelah selesai memvaksin warganya, China akan memiliki kelebihan produksi yang banyak.
Menurut perkiraan Essence Securitier, perusahaan pialang di Hong Kong, jika China mampu menangkap 15 persen saja pasar vaksin di negara menengah ke bawah, mereka akan menghasilkan pendapatan sekitar 2,8 miliar dollar AS.
”Semua orang mencari vaksin dan Beijing ada dalam posisi yang baik untuk menangkap permintaan itu,” kata seorang analis di Essence Securitier yang enggan disebutkan namanya.
Vaksinasi Covid-19 juga memerlukan fasilitas penyimpanan dan rantai dingin yang sesuai. Menurut Kirk Lancaster dari CFR, proyek seperti itu cocok dengan proyek-proyek infrastruktur BRI yang didukung dana satu triliun dollar AS.
Raksasa e-dagang Alibaba telah membangun gudang di Etiopia dan Dubai yang akan menjadi simpul distribusi vaksin untuk Afrika dan Timur Tengah. Beijing juga membangun fasilitas produksi vaksin di Brasil, Maroko, dan Indonesia yang juga berpartisipasi dalam uji klinis vaksin China. (AFP)