Sesungguhnya ‘menjadi kompeten’ itu dalam maknanya. Ukurannya terutama bukan dalam perbandingan dengan orang lain, melainkan terkait dengan diri sendiri. Kompetensi individu satu dan yang lain dapat berbeda-beda.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Kebutuhan psikologis dasar manusia adalah hal sangat penting untuk memampukan kita menjadi manusia produktif dan sejahtera. Karenanya, kita kembali membahas kebutuhan dasar psikologis manusia, kali ini lebih banyak tentang kebutuhan akan kompetensi.
Dengan berbagai tantangan dalam menjalani hidup, kompetensi menjadi salah satu hal penting untuk dimiliki. Kebutuhan akan kompetensi dimaknai oleh Ryan dan Deci (2017) sebagai kebutuhan untuk memahami bahwa kita memiliki kemampuan untuk dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan. Kebutuhan untuk yakin bahwa kita mampu mengeksplorasi situasi yang kita hadapi, dan melalui hal itu, dapat mengatasi berbagai tantangan.
Keyakinan akan kompetensi untuk menjalani hidup umumnya tertampilkan melalui keyakinan atau fakta bahwa kita menguasai pengetahuan atau keterampilan-keterampilan spesifik. Pengetahuan dan keterampilan itu amat diperlukan untuk menunjang kita dalam mempertimbangkan sesuatu, mengambil keputusan, ataupun bertindak.
Meski berlomba-lomba menjadi yang terbaik, pada hakikatnya banyak yang masih tetap merasa kurang.
Umumnya orang akan mengejar pendidikan yang dianggap paling minimal agar memiliki pengetahuan umum, terlatih berpikir rasional, dan memiliki keterampilan-keterampilan dasar seperti berbahasa dan mengkalkulasi. Semakin tinggi pendidikan, semakin kompeten pula seseorang akan menguasai suatu bidang khusus tertentu.
Selain pendidikan formal, ada pula pendidikan informal misalnya kursus bahasa, musik, tari, program komputer tertentu, atau lainnya. Sesuai dengan bakat kita masing-masing, ada pula kompetensi lain seperti sikap sosial yang sangat luwes, pandai menemukan peluang untuk berinovasi, kreatif dalam bahasa, dan sebagainya.
Kompetisi
Bila merenungkan hal di atas, sesungguhnya ‘menjadi kompeten’ itu dalam maknanya. Ukurannya terutama bukan dalam perbandingan dengan orang lain, melainkan terkait dengan diri sendiri. Kompetensi individu satu dan yang lain dapat berbeda-beda, tidak perlu seragam. Ada yang sangat kuat dalam bahasa, ada yang piawai menyusun program, ada yang pandai memengaruhi orang lain.
Sayang bahwa di masa kini, kompetensi cenderung dimaknai secara sempit dan salah arah menjadi ‘kompetisi’. Mungkin karena anak muda banyak mengamati yang lain melalui media sosial, dan yang terlihat adalah tampilan luar saja.
Di dunia pendidikan, terlihat kecenderungan kuat mahasiswa berlomba-lomba memperoleh indeks prestasi paling tinggi, ikut berbagai kompetisi di dalam dan luar negeri, atau ikut pertukaran belajar di kampus-kampus bergengsi. Sedemikian rupa sampai mereka cemas dan tidak lagi menikmati proses belajar yang dijalaninya.
Yang terpenting adalah nilai tinggi dan capaian yang membanggakan. Bagaimana cara memperolehnya, tidak dipedulikan. Pula, tidak lagi penting apakah kita sungguh memahami materi yang dipelajari.
Untuk anak muda lain, kompetisi dijalani bukan lewat pendidikan melainkan dengan mengejar kesempurnaan fisik dan gaya hidup. Tampilan fisik di media sosial banyak dipoles agar jadi lebih rupawan. Uang pun banyak dikeluarkan untuk membeli kosmetik ataupun barang yang digunakan para selebgram.
Persoalan menjadi makin runyam, karena sebagian orang tua yang juga pengguna aktif media sosial ikut banyak berperan dalam membanding-bandingkan anaknya. Mereka menuntut anaknya cepat lulus dan dapat diterima bekerja di tempat membanggakan. Atau membanding-bandingkan anaknya dengan anak muda lain, menuntut agar mereka secantik dan sekeren yang dilihatnya di internet.
Kesehatan mental
Kami yang berkecimpung dalam bidang peminatan psikologi klinis mengamati cukup banyaknya mahasiswa yang cemas, mengalami serangan panik, mengalami gangguan tidur, atau berkonflik dengan sesamanya karena soal kompetisi ini.
Dengan berbagai persoalan kesehatan mental itu, dapat disimpulkan, bahwa meski berlomba-lomba menjadi yang terbaik, pada hakikatnya banyak yang masih tetap merasa kurang. Meski cukup banyak anak muda memiliki nilai sangat tinggi dalam perkuliahan, atau memenangkan berbagai kompetisi, mereka tetap meragukan kemampuannya. Meski tampil keren sebenarnya itu sekadar tutupan dari isi hati yang masih bingung mengenai diri sendiri.
Pada anak muda yang lain, kegamangan untuk berkompetisi di dunia nyata direspons dengan cara menarik diri. Mereka memilih banyak menghabiskan waktu di dunia maya yang dirasa lebih aman melalui fantasi dan gim daring. Mereka juga berasionalisasi akan mengembangkan kompetensinya dalam gim daring saja melalui kompetisi dengan sesama pemain. Entah apakah mereka menyangka akan dapat bertahan dan berkembang di sana untuk jangka panjang. Ataukah sama sekali belum (tidak) berpikir mengenai masa depan.
Singkat kata, melalui perilaku sibuk berkompetisi, rasa diri mampu dan kompeten sesungguhnya tetap belum terpenuhi. Ini karena pemaknaan kompetensi dipersempit dan salah arah menjadi sekadar kompetisi dalam bidang-bidang yang tidak mendasar.
Terkadang, energi bahkan dicurahkan untuk berkompetisi pada hal-hal superfisial itu. Sedemikian rupa sehingga tidak tersisa lagi kesempatan untuk menemukan, apa sesungguhnya bakat dan potensi yang khas dari diri sendiri yang dapat dikembangkan menjadi kompetensi riil.
Ke depannya, manusia dituntut untuk makin inovatif dan luwes dalam berpikir agar dapat terus menemukan peluang dan mampu bekerja sama secara baik dengan pihak-pihak lain. Dengan tantangan yang demikian besar, manusia juga dituntut lebih tangguh.
Dunia yang diperantarai internet telah berubah sama sekali daripada kehidupan di masa sebelumnya. Memang dunia menjadi makin kompetitif, tetapi sikap dan perilaku kompetitif itu belum tentu menjawab kebutuhan mendasar kita akan kompetensi. Bahkan bisa jadi, sikap kompetitif itu malah menghalangi kita untuk menemukan kompetensi diri, sekaligus berpotensi memunculkan berbagai persoalan kesehatan mental.
Bagaimanapun, kita perlu mengingatkan diri bahwa manusia bukan makhluk sempurna dan tidak manusiawi untuk menuntut manusia jadi sempurna. Menjadi tugas dari para pembuat kebijakan pendidikan untuk memikirkan hal ini secara saksama agar dapat menemukan jalan keluarnya.