Anak muda Indonesia khawatir akan masa depannya. Penelitian menyebutkan, isu pendidikan menjadi urutan tertinggi masalah yang jadi perhatian anak muda.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak muda Indonesia merasa khawatir akan masa depannya. Penelitian menunjukkan isu pendidikan menjadi urutan tertinggi masalah yang jadi perhatian anak muda. Mereka ingin pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik untuk masa depannya.
Penelitian tersebut dilakukan British Council selama satu tahun yang meneliti tentang anak muda dengan tujuan melihat perilaku, aspirasi, dan amplifikasi suara anak muda untuk mendukung pembuat kebijakan yang lebih ramah terhadap anak muda. Penelitian ini melihat pandangan anak muda terkait tentang pendidikan, ketenagakerjaan, gaya hidup, dan harapan anak muda. British Council mengacu pada data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan 52 persen dari 270 juta penduduk Indonesia merupakan anak muda.
Senior Programmers Manager British Council Indonesia Ari Sutanti mengungkapkan, isu pertama yang paling menjadi perhatian anak muda adalah pendidikan. Kemudian disusul kesempatan kerja, politik, kesehatan, kesehatan, keuangan, perubahan iklim, dan keterampilan digital yang rendah.
”Anak muda Indonesia menaruh isu pendidikan menjadi prioritas yang paling penting,” kata Ari dalam Youth Co:Lab Indonesia National Dialogue 2022 di Jakarta pada Rabu (26/10/2022).
Menurut Ari, anak muda sangat perhatian terhadap kualitas pendidikan karena menurut mereka, dalam dunia pendidikan masih ada kekerasan fisik dan verbal dari guru di sekolah. Guru yang kurang memotivasi, kelas terlalu besar, dan perbedaan standar pengajaran di sekolah.
Terkait keresahan anak muda tersebut, Ari menambahkan, anak muda ingin pendidikan yang setara di seluruh indonesia. Peningkatan pembelajaran dan kualitas guru dari tingkat yang paling dasar. Lalu kesesuaian antara kecakapan (skill) yang dipelajari di sekolah dan kebutuhan dalam dunia kerja, terutama IT, keuangan, bisnis, dan bahasa inggris. Selain itu, anak muda ingin beasiswa diperbanyak dan dalam proses belajar mengajar mengadopsi teknologi.
Selain itu, kata Ari, yang membuat seseorang keluar atau tak melanjutkan pendidikannya adalah alasan pendapatan yang rendah di keluarga, orangtua yang membuat keputusan anak tidak melanjutkan sekolah dan tidak punya waktu untuk sekolah serta sekolah yang terlalu jauh.
Ari menjelaskan, hanya 39 persen responden menyatakan pendidikan membantu pekerjaan anak muda. Pendidikan tidak memiliki keterkaitan langsung dunia kerja yang ingin didapatkan. Selain itu perlu ada literasi keuangan dalam kurikulum pendidikan Indonesia serta pengetahuan mengenai transisi dari sekolah atau kampus ke dunia kerja.
”Status yang didapatkan ketika lulus dengan pengetahuan yang dimiliki tidak sesuai dengan kesempatan mendapatkan pekerjaan,” katanya.
Ari menyebutkan, penelitian ini dilakukan kepada 3.093 responden di 34 provinsi. 50 persen laki-laki, 49 persen perempuan, dan 1 persen mendefinisikan dirinya sendiri. Kelompok responden usia penelitian ini 20 persen berusia 16-19 tahun, 27 persen berusia 20-24 tahun, 25 persen berusia 25-29 tahun, dan 28 persen berusia 30-35 tahun. Selain itu 58 responden berasal dari perkotaan dan pinggiran kota dan 42 persen dari pedesaan dan daerah terpencil.
Penelitian ini, lanjut Ari, telah melalui tinjauan literatur, survei perwakilan nasional berdasarkan jender, perkotaan, perdesaan, dan geografis, wawancara dan diskusi kelompok, mengundang anak muda dalam melakukan penelitian. Selain itu, anak muda juga direkrut dan dilatih menjadi tim peneliti.
Dalam hasil penelitian, suara perempuan muda lebih cenderung lebih positif terhadap isu yang didiskusikan. Sementara anak muda yang tinggal di desa cenderung mengalami banyak tantangan dalam hidup seperti masalah akses pendidikan, kesempatan kerja, dan persoalan keuangan.
”Usia 16-19 tahun lebih positif melihat masa depan. Usia 25-35 tahun lebih fokus pada masalah kesempatan kerja dan keuangan, 64 persen anak muda di Indonesia optimistis akan masa depan Indonesia sebagai bangsa, 65 persen optimistis masa depan mereka terhadap dirinya,” katanya.
Kesempatan kerja
Berdasarkan penelitian tersebut, kelompok usia 25-35 tahun lebih mengkhawatirkan mengenai kesempatan kerja. Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Setyo Budiantoro mengungkapkan, kekhawatiran anak muda sangat relevan karena saat ini masa depan penuh ketidakpastian.
Menurut dia, disrupsi tenaga kerja sesuatu yang pasti terjadi sehingga pekerjaan yang berulang bahkan pekerjaan yang punya keterampilan tinggi akan digantikan oleh artificial intellegent atau kecerdasan buatan. ”Disrupsi ketenagakerjaan belum tentu akan ada banyak pengangguran karena kalau kita mampu dengan perubahan besar hal itu akan menjadi kesempatan. Pekerjaan formal makin berkurang karena digital teknologi seperti robot,” ujarnya.
Setyo mengatakan, aktivitas digital akan makin banyak dan menjadi tantangan. Anak muda harus melihat potensi yang ada dan melihat kesempatan di masa depan. Menurut dia, pendidikan merupakan soal kreativitas dan kemampuan belajar sehingga anak muda harus belajar mandiri
”Skill yang dibutuhkan masa depan itu bagaimana memecahkan persoalan kompleks, komunikasi, kreativitas, dan inovasi. Pendidikan sekarang sudah diarahkan ke sana,” ujarnya.