Ssstt..., Waktunya Anak Muda Bicara!
Keriuhan ruang publik disumbang oleh anak muda yang jumlahnya melebihi setengah populasi penduduk Tanah Air.
Silih berganti topik diperbincangkan di ruang publik. Dari legitnya croffle hingga pahitnya sistem hukum dan demokrasi di negeri ini. Keriuhan ruang publik ini disumbang oleh anak muda yang jumlahnya melebihi setengah populasi penduduk Tanah Air. Sejenak terasa bebas untuk bersuara, baik secara langsung maupun maya. Akan tetapi, sungguh aman dan didengar kah?
”Coba cek ada tukang bakso tiba-tiba mangkal bawa HT depan rumah lu enggak?” Ungkapan satir yang kian banyak dijumpai di media sosial ketika seseorang menyuarakan kegelisahan dan kritik pada berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini.
Fenomena penjual keliling yang dadakan muncul di sekitaran lokasi seseorang atau organisasi yang aktif melontarkan kritik pada pemerintah ini identik dengan Orde Baru. Lebih dari dua dekade reformasi, guyonan ini kembali memenuhi ruang publik, terutama media sosial.
Bagi anak muda, hal ini kadang dimaksudkan untuk memberi tanda bahaya pada sesamanya agar berhati-hati berpendapat. Benarkah kebebasan berpendapat, terutama bagi anak muda sedang terancam?
Apabila mengacu pada Youth Progress Index 2020 yang dikeluarkan European Youth Forum pada awal 2021, skor pada komponen kebebasan berpendapat bagi anak muda di Indonesia tercatat 0,69. Dari skala 0-1, makin tinggi skor, makin baik kebebasan berpendapatnya. Dengan skor itu, Indonesia berada di peringkat 90, hanya berada 0,01 poin di atas Afghanistan.
Untuk skor keseluruhan, Indonesia berada di peringkat ke-76 dengan skor 65,66. Adapun komponen dalam Youth Progress Index selain kebebasan berpendapat, ada juga tentang hak memperoleh keadilan, hak mengakses pendidikan, hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang layak, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, skor Indonesia pada Indeks Demokrasi 2020 milik The Economist Intelligence Unit (EIU) tercatat 6,30. Dari skala 0-10, makin tinggi, makin baik kondisi demokrasi sebuah negara. Skor ini merupakan yang terendah bagi Indonesia sepanjang 14 tahun indeks ini disusun. Indonesia masih masuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Jika kedua data ini disandingkan, ditemukan korelasi positif dengan skor sebesar 0,96. Dari skala 0-1, makin tinggi skor, makin memiliki hubungan positif. Dengan kata lain, semakin terpenuhinya hak bagi anak muda, termasuk jaminan keamanan untuk bebas berpendapat, maka semakin baik pula kondisi demokrasi sebuah negara.
Lalu, kenapa anak muda? Tak hanya dalam tataran global. Merujuk hasil sensus penduduk Indonesia 2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik. Sebesar 53,81 persen merupakan anak muda, yakni 25,87 persen milenial (24-39 tahun) dan 27,94 persen gen z (8-23 tahun).
Kini, mereka adalah pengguna internet dan media sosial aktif yang juga siap turun ke jalan jika diperlukan. Ini terlihat pada akhir September 2019, massa dari berbagai universitas di Indonesia berunjuk rasa. Di depan Gedung DPR Jakarta, ribuan mahasiswa secara sadar berdemonstrasi menyuarakan persoalan sejumlah RUU yang bermasalah. Beriringan dengan itu, #reformasidikorupsi dan #gejayanmemanggil juga ramai di media sosial dan sempat menjadi trending topic.
Baca juga : Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat Anak Muda
Salah seorang mahasiswa dari FIB Universitas Indonesia, Farah Salsabilla, mengaku tergerak karena ada sejumlah aturan yang bermasalah. ”Waktu itu, ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mandek. Padahal itu diperluin banget untuk korban kekerasan seksual karena selama ini korban susah dapat keadilan,” ujar Farah yang juga aktif di media sosial terkait isu kekerasan seksual dan kesehatan mental.
Beberapa undang-undang lain juga dinilainya hanya menguntungkan orang yang berkuasa dan membuka peluang besar korupsi. Ia pun mengungkapkan dukungan dari para dosen ketika dirinya dan rekan-rekannya turun ke jalan. ”Mungkin karena isunya, jadi didukung. Aku kelas dulu karena ada kuis, terus nyusul. Aku juga bukan anak yang aktif organisasi atau ikut BEM gitu, tapi karena isunya dan solidaritas rasanya harus turun,” ungkap Farah.
Begitu pula dengan Sri Melan Sedriyani dari Fisipol UGM. Ia ikut berunjuk rasa bersama rekan-rekannya pada 2019 karena merasa ada problem dalam pembuatan kebijakan. ”Bahkan beberapa pasal di undang-undang yang saat itu kami persoalkan ada yang karet dan berpotensi merugikan kita sebagai masyarakat,” ujar Melan.
Sebelum berkuliah, Melan yang tinggal di Purbalingga tidak aktif berorganisasi. Saat duduk di bangku kuliah, ia mulai ikut dalam forum diskusi dan bergabung dalam organisasi yang membuatnya lebih berani berpendapat dan mengikuti isu terkini. Bersama rekannya, ia juga menjalankan usaha rintisan The Strategic Lab yang dapat menjadi wadah anak muda berdiskusi.
Kendati demikian, keduanya mengaku cukup berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di media sosial. Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik membuat mereka berpikir. ”Apalagi kadang ada ya yang tiba-tiba dijemput gitu. Jadi kalau mau komen atau bikin story mikir banget kata-katanya biar aman juga,” tutur Farah.
Kadang ada pula yang unggahannya atau akun media sosialnya hilang. Ini terjadi pada Kevin Nguyen yang aktif di Tiktok. Akun Kevin @thatnguyenguy yang diikuti lebih dari 500.000 followers sempat hilang sepekan dan memindahkan ke akunnya yang lain @Genoxide. Kejadian hilangnya akun ini tak lama setelah dirinya mengunggah seputar Soeharto.
Meski begitu, mereka menyadari pentingnya anak muda bersuara agar tercipta iklim demokrasi yang matang dan pembangunan yang berpihak pada masyarakat. ”Anak muda itu kreatif, ada aja jalannya untuk menyampaikan pendapat, tapi tetap aman. Yang terpenting buat anak muda jangan merasa sendiri, kita sama-sama,” jelas Melan.
Lahirnya Thinkpolicy pada 2019 merupakan segelintir jawaban bagi anak muda untuk berjalan bersama dengan satu visi. Lembaga yang juga dibentuk oleh sesama anak muda ini menjadi ruang diskusi, bersuara, bahkan belajar untuk menginisiasi hingga mengajukan rancangan kebijakan publik yang berbasis bukti dan empati.
Sejumlah program yang dihadirkan, seperti bootcamp berupa pelatihan, pilar insight, dan pilar community menjadi sarana untuk menciptakan para pemimpin muda yang menyadari pentingnya bukti dan empati dalam pembuatan kebijakan publik dan mencapai pembangunan inklusif.
Di sini, anak muda juga memperoleh cara bagaimana agar gagasannya didengar oleh pemangku kepentingan. ”Ruang publik tidak terbatas pada media sosial. Walau efek viral media sosial itu bisa berdampak pada kinerja suatu lembaga. Tapi ada juga ruang formal dengan mengajukan usulan atau rancangan, ini sudah berjalan dan ada yang berhasil,” ujar Chief Operating Officer Thinkpolicy, Prasetya Dwicahya.
Ini perlu terus didorong, lanjutnya, mengingat ide masa depan Indonesia ada di tangan anak muda. ”Yang tua benar punya pengalaman, tapi tidak lagi relevan dengan zaman. Anak muda nantinya yang akan menentukan arah bangsa ini ke depan,” ujarnya.
Jika memang sungguh ingin memperbaiki demokrasi negeri sendiri, sudah waktunya mendengar dan beri ruang bagi yang muda.