Presiden harus tegas menolak pemberhentian hakim konstitusi Aswanto. Putusan DPR memberhentikan Aswanto menyalahi prosedur, mekanisme ketatanegaraan, dan aturan hukum.
Oleh
M HAJORAN PULUNGAN
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Dewan Perwakilan Rakyat diberi kewenangan oleh konstitusi sebagai salah satu lembaga yang mempunyai hak mengajukan hakim konsitusi di Mahkamah Konstitusi selain Presiden dan Mahkamah Agung. Setiap lembaga itu mengajukan tiga hakim konstitusi dari total sembilan hakim konstitusi.
Sebagai pemegang kekuasaan legisilatif tentu kredibilitas DPR akan menjadi sorotan ketika kualitas produk undang-undang yang dihasilkannya dipertanyakan sehingga digugat ke MK karena bertentangan dengan UUD. Hal inilah yang tidak diinginkan DPR, apabila undang-undang yang mereka hasilkan ditolak oleh MK, terlebih hakim konstitusi yang menolak notabene adalah usulan DPR.
Hakim konstitusi Aswanto merupakan satu dari tiga hakim konstitusi yang berasal dari usulan DPR dan Aswanto dianggap mengecewakan karena menganulir produk UU yang dihasilkan DPR ketika ada uji materi UU di MK. Padahal, dalam aturan hukum, tidak ada namanya evaluasi terhadap kinerja hakim konstitusi baik itu dari DPR, MA, maupun Presiden sehingga kebijakan yang dibuat oleh DPR memberhentikan Aswanto di tengah jalan dianggap melanggar hukum.
Pascarevisi UU MK untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 87 Huruf b UU ini menyebutkan: pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut undang-undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Artinya, batas akhir masa jabatan hakim konstitusi adalah maksimal berumur 70 tahun atau keseluruhan masa tugas tidak lebih dari 15 tahun sejak diangkat menjadi hakim konstitusi. Dari bunyi Pasal 87 tersebut, hakim konstitusi Aswanto telah memenuhi syarat dan akan mengakhiri masa jabatan sebagai hakim konstitusi pada 2029 dan tidak bisa diberhentikan begitu saja di tengah jalan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo memberikan ucapan selamat kepada hakim konstitusi Aswanto dan Wahiduddin Adams di Istana Negara, Jakarta, Kamis (21/3/2019). Aswanto dan Wahiduddin Adams kembali menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2019-2024.
Lalu Pasal 23 UU Mahkamah Konstitusi, menyebutkan dalam angka (2) Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila: a) dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; b) melakukan perbuatan tercela; c) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d) melanggar sumpah atau janji jabatan; e) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f) melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; g) tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau h) melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 di atas, semua sesuai aturan dan tak ada yang dilanggar oleh hakim konstitusi Aswanto. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa DPR ingin mempertontonkan keangkuhan dan kesewenangan lembaga wakil rakyat itu kepada rakyat sendiri terlebih kepada hakim konstitusi bahwa mereka bisa berbuat apa saja kalau tidak tunduk atas kepentingan mereka. Dalam hal ini (bermakna) produk undang-undang yang dihasilkan DPR saat diujimaterilkan ke MK, hakim konstitusi yang ajukan dari DPR harus sejalan, seirama, dan satu suara dengan DPR meskipun itu bertentangan dengan konstitusi dan kenyakinan dari hakim konstitusi sendiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 di atas, semua sesuai aturan dan tak ada yang dilanggar oleh hakim konstitusi Aswanto.
Kalau hal ini memang terjadi pada hakim konstitusi Aswanto, dipastikan ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Di mana independensi kekuasaan kehakiman dijamin dan tak boleh ada intervensi, dalam hal ini DPR, ketika hakim konstitusi memeriksa dan memutus perkara dalam menegakkan hukum dan keadilan yang bertentangan dengan konstitusi.
Melihat kontroversi pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR yang dianggap menyalahi prosedur, mekanisme ketatanegaraan, serta aturan hukum, tentu Presiden harus bijaksana dan berpikir jernih dalam melihat kasus ini. Kalau Presiden salah membuat keputusan, akan berdampak dengan adanya gugatan karena putusan yang diambil oleh Presiden dianggap menyalahi hukum sehingga digugat di pengadilan.
Presiden harus tegas menolak pemberhentian hakim konstitusi Aswanto, karena selain menyalahi aturan, paling mengkhawatirkan lagi adalah langkah yang diambil oleh DPR saat ini akan dijadikan preseden oleh MA dan bahkan Presiden.
M Hajoran Pulungan, Dosen Tetap dan Kepala D3 Prodi Administrasi Peradilan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Pengayoman, Jakarta