Sejumlah peneliti hukum menilai keputusan DPR mengganti hakim konstitusi Aswanto bisa tidak ditindaklanjuti oleh Presiden. Hal ini dengan menyandarkan pada UU Administrasi Pemerintahan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - DPR berkukuh tak akan menganulir keputusannya mengganti hakim konstitusi Aswanto dengan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah meski dikritik sejumlah pihak karena melanggar konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. DPR yakin keputusan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/10/2022), mengatakan, penggantian Aswanto sudah sesuai dengan kewenangan DPR. UUD 1945 mengatur bahwa DPR merupakan salah satu lembaga yang berwenang menetapkan hakim konstitusi selain Presiden dan Mahkamah Agung (MA). ”Atas kewenangan itulah kami mencoba, kalau melakukan (hal yang tidak sejalan), ya kau kehilangan hakmu,” tambahnya.
Adapun menyangkut mekanisme pemberhentian dan penggantian, menurut anggota DPR dari Fraksi PDI-P itu, hal tersebut memang bisa diperdebatkan. Akan tetapi, sebagai pihak yang diusulkan DPR, hakim konstitusi dari DPR semestinya berkomitmen menjaga produk hasil kerja DPR. Jika ada undang-undang yang dirasa kurang pas, sebaiknya hakim konstitusi mendiskusikannya terlebih dahulu, tidak serta-merta menganulirnya melalui putusan uji materi.
Berdasarkan catatan Komisi III DPR, Aswanto kerap membuat putusan yang tak sejalan dengan DPR. Dampaknya sejumlah undang-undang dianulir, salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. ”Ya, (UU Cipta Kerja) itu salah satunya,” ujar Bambang.
Akhir November 2021, MK membacakan putusan permohonan uji formil UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa undang-undang itu inkonstitusional bersyarat. MK pun meminta undang-undang itu diperbaiki maksimal dalam dua tahun. Saat membuat putusan itu, terjadi perbedaan pendapat di antara sembilan hakim konstitusi. Sebanyak lima di antaranya menerima permohonan, termasuk Aswanto (Kompas, 26/11/2021).
Berkaca dari pengalaman itu, lanjut Bambang, keputusan mengganti Aswanto tidak tiba-tiba. Tidak ada pula pertimbangan dari segi personal. Hingga kini pun belum ada wacana di DPR untuk menganulir keputusan penggantian hakim konstitusi itu. ”Enggak, kami, kan, sudah rembukan kayak gitu,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir menguatkan. Menurut dia, pemberhentian dan penggantian Aswanto sudah menjadi keputusan DPR. Hal itu juga sudah disetujui melalui rapat paripurna. ”Jadi kalau dicabut, harus ada keputusan bersama nanti,” katanya.
Senada dengan Bambang, ia juga mengakui hingga saat ini belum ada pembicaraan untuk menganulir keputusan tersebut. Terlebih, DPR sudah akan memasuki masa reses mulai 5 Oktober mendatang.
Sementara itu, kritik kepada DPR terkait penggantian dan pemberhentian Aswanto karena dinilai telah melanggar UUD 1945 dan UU MK terus bergulir. Ini seperti disampaikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Constitutional and Administrative Law Society (CALS) dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (3/10).
Pakar hukum tata negara dari STHI Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, pemberhentian Aswanto di tengah masa jabatannya oleh DPR berpotensi menjadikan MK di masa mendatang hanya lembaga stempel untuk kebijakan pemerintah dan DPR yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Hakim konstitusi akan ketakutan memutus berbeda dari DPR dan pemerintah karena takut ditarik masing-masing lembaga pengusulnya, yakni DPR, pemerintah, dan MA.
”Nanti akan keluar riset bahwa sembilan hakim (konstitusi) akan menurut kepada siapa yang memilih mereka. Bayangan saya akan seperti itu. Dampaknya buat kita semua, bukan cuma buat orang hukum dan jurnalis. Artinya, penguasa akan bisa melakukan apa pun yang mereka mau,” tambah Bivitri.
Agil Oktarian dari PSHK juga khawatir, ke depan, hakim-hakim MK akan dikooptasi oleh kekuasaan dan mewakili kekuasaan. Dengan demikian, proses pembentukan undang-undang menjadi linier mulai dari perencanaan, penyusunan, pengesahan, hingga pengujiannya di MK. ”Nanti bukan pengujian lagi. Jadinya penguatan atau penetapan saja oleh MK karena memang hakim-hakim yang diharapkan mengisi jabatan hakim konstitusi adalah mereka yang tidak mau menganulir kerja legislasi dari Presiden dan DPR,” katanya.
Opsi pembatalan
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, menyarankan hasil Rapat Paripurna DPR yang memutuskan mengganti Aswanto sebaiknya dibatalkan. Ketua DPR dapat menyatakan bahwa pemberhentian Aswanto keliru sehingga perlu diperbaiki secara hukum.
Namun, jika DPR tetap mengirimkan hasil rapat paripurna itu ke Istana Negara, Presiden dinilai dapat mendiamkannya. Atau, Presiden dapat mengirimkan surat balasan ke DPR yang menyatakan tidak dapat menindaklanjuti keputusan DPR karena proses dan mekanismenya cacat hukum.
Dasar bagi Presiden tidak menindaklanjuti keputusan DPR itu sangat jelas. Baik Bivitri maupun Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menyandarkan pada UU Administrasi Pemerintahan sebagai dasar hukum ”pendiaman” keputusan DPR.
”Di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sudah cukup jelas. Semua keputusan TUN (tata usaha negara) harus dalam koridor asas-asas umum pemerintahan yang baik. Salah satunya tidak melanggar undang-undang,” kata Feri.