Swasembada dan Penghargaan IRRI
IRRI menghargai dan memuji upaya keras Indonesia mengujudkan swasembada beras selama tiga tahun berturut-turut (2019-2021). Apa bedanya dengan penghargaan swasembada beras yang diterima Presiden Soeharto dari FAO ?
Presiden Joko Widodo baru saja menerima penghargaan dari lembaga riset padi internasional (IRRI) yang berkedudukan di Manila.
Penghargaan disampaikan Direktur Jenderal IRRI Jean Balié di Istana Negara Jakarta, 14 Agustus 2022. IRRI menghargai dan memuji upaya keras Indonesia untuk mengujudkan swasembada beras selama tiga tahun berturut-turut (2019-2021).
Banyak negara di Asia, seperti Filipina, Bangladesh, dan Sri Lanka, pernah meraih swasembada beras, lalu beralih jadi importir beras. Pemerintah negara-negara Asia itu berkeinginan untuk meraih kembali swasembada, tetapi sangat sulit diwujudkan. Lebih mudah meraih swasembada yang pertama daripada mempertahankannya.
Sejak Reformasi, keinginan pemerintah untuk swasembada beras tetap tinggi, dukungan politiknya juga tinggi. Indonesia pernah meraih kembali swasembada beras dalam waktu singkat, hanya 2 tahun (2008- 2009). Setelah itu Indonesia kembali menjadi negara importir beras penting hingga 2018.
Masyarakat Indonesia tentu merasa bangga atas penghargaan tersebut. Namun, ada pula sejumlah pakar yang mempertanyakannya, terutama apabila dikaitkan dengan nasib para petani padi yang terus terpuruk dalam dua tahun terakhir, demikian juga industri penggilingan padi. Apa bedanya dengan penghargaan swasembada beras yang diterima Presiden Soeharto dari FAO pada 1984?
Sejak Reformasi, keinginan pemerintah untuk swasembada beras tetap tinggi, dukungan politiknya juga tinggi.
IRRI dan varietas unggul
IRRI adalah lembaga penemu varietas padi unggul pada awal 1960-an. Varietas unggul itu kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia. Indonesia bekerja sama dengan IRRI berhasil memproduksi sendiri benih unggul yang berasal dari IRRI, seperti PB5 dan PB8.
Sejak itu, varietas padi unggul disebarluaskan melalui paket teknologi pancausaha pada program bimas (bimbingan massal) hingga akhir 1980-an.
Dalam waktu yang sama dibangun infrastruktur irigasi, lembaga penyuluhan dan lembaga riset, serta lembaga koperasi. Demikian juga dirancang insentif harga yang menarik, yang dikenal dengan harga dasar buat petani produsen dan harga langit-langit buat konsumen.
Hasilnya, produktivitas dan produksi padi meningkat sangat pesat. Sumber pertumbuhan produksi padi lebih dominan berasal dari peningkatan produktivitas daripada luas panen. Kemudian Indonesia beralih dari negara defisit beras jadi sebaliknya sejak akhir 1970-an. Demikian juga petani Indonesia beralih dari situasi defisit gabah menjadi surplus gabah yang jumlahnya semakin banyak.
Itu artinya, petani harus menjual sebagian hasil gabahnya ke pasar sehingga peran penggilingan padi dalam pengolahan gabah dan pemasaran beras menjadi penting. Petani padi paling makmur pada era 1970-an dan 1980-an. Indonesia kemudian mendapat penghargaan atas keberhasilan swasembada beras dari FAO, lembaga pangan PBB, pada 1984. Presiden Soeharto diundang ke markas besar FAO di Roma untuk menerima penghargaan itu.
Didie SW
Tampaknya mempertahankan swasembada beras sangat sulit, terutama karena pengaruh iklim. Indonesia kembali impor beras yang tinggi sekitar tiga juta ton pada 1995 karena dua tahun sebelumnya berturut-turut terjadi kemarau panjang. Pada 1998-1999 terjadi El Nino parah dan berlangsung bersamaan dengan krisis moneter. Impor beras Bulog tiba- tiba meningkat sangat tinggi mencapai 5,9 juta ton di 1998.
Varietas padi unggul terus disempurnakan agar umur panen lebih genjah/ singkat, lebih tahan serangan hama dan penyakit, rasa nasi lebih enak, dan rendemen giling tinggi. Varietas unggul yang banyak ditanam petani sekarang adalah Ciherang, Mekongga, Inpari-10, Inpari-19, Way Apo Buru, dan Inpari-30. Itu varietas yang dikembangkan lembaga riset padi nasional, IRRI-nya Indonesia, yaitu Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) di Sukamandi, di bawah naungan Badan Litbang Pertanian.
Baca juga : Memuliakan Petani dan Pertanian
Baca juga : Beras dan Politik Elementer Bangsa
Swasembada dan petani
Presiden Jokowi pada beberapa kesempatan pengarahan menyatakan, Indonesia tak impor beras selama tiga tahun terakhir. Data BPS memperlihatkan sebaliknya. Indonesia masih mengimpor beras setiap tahun sampai dengan 2021. Pada 2021, misalnya, Indonesia mengimpor beras 408.000 ton.
Memang Bulog tak impor beras dalam tiga tahun terakhir. Lazimnya Bulog mengimpor beras (kualitas medium) 1-1,5 juta ton per tahun untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP) serta intervensi pasar. Intervensi pasar Bulog sangat minim, sekitar 500.000 ton/tahun karena harga beras sangat stabil. Pengadaan dalam negeri Bulog juga kecil, rata-rata hanya 1,2 juta ton/tahun, sebelumnya 2-2,5 juta ton.
Permintaan beras sangat lesu. Ini berdampak pada harga gabah petani yang terus tertekan. Pertumbuhan harga gabah tingkat petani gabah kering panen (GKP) bulanan menurun, tumbuh negatif 0,19 persen per bulan tiga tahun terakhir. Belum pernah terjadi sebelumnya. Rata-rata harga gabah hanya Rp 4.742/kilogram, sedikit di atas HPP yang ditetapkan Maret 2020 sebesar Rp 4.200/kilogram. Acuan HPP 2020 sangat tak logis, apalagi harga sarana produksi terus naik.
Acuan HPP 2020 sangat tak logis, apalagi harga sarana produksi terus naik.
Tulisan saya di Kompas (6 Juli 2022) melaporkan penerimaan petani terpuruk, demikian juga produsen beras (pengusaha penggilingan padi) kecil. Haruskah mereka menanggung beban atas politik stabilisasi harga yang sangat prokonsumen?
Oleh karena itu, dianjurkan buat pemerintah sebagai berikut. Pertama, pemerintah sebaiknya mengimplementasi kebijakan perberasan yang berimbang antara kepentingan konsumen dan produsen gabah/beras. Bukan seperti sekarang, sangat memihak konsumen.
Kedua, proyek pembangunan infrastruktur, terutama irigasi dan tampungan air, agar diteruskan. Namun, bantuan alat-mesin pertanian (alsintan) agar dihentikan karena tak tepat sasaran dan banyak tidak digunakan. Sebaiknya, petani dibuka akses lebih besar terhadap kredit usaha tani (KUT) sehingga bisa membeli dan memilih alat mekanisasi yang sesuai keadaan daerahnya.
Ketiga, setelah lembaga penelitian di kementerian diharuskan bergabung ke BRIN, apakah lembaga riset BBPadi akan berubah fokus penelitiannya? Semua infrastruktur risetnya masih di Kementan, sedangkan sebagian besar perisetnya (terutama peneliti senior) pindah ke BRIN. Haruskah itu terjadi?
(M Husein Sawit, Anggota Dewan Penasihat PP Perhepi)