Labirin Pendidikan di Usia 77 Tahun Indonesia
Di 77 tahun Indonesia merdeka ini, kita belum merdeka dari masalah dasar infrastruktur pendidikan. Kita masih punya waktu kurang lebih 23 tahun, menuju 2045, untuk bertransformasi dengan baik, dan sekarang ini saatnya.
Tahun 1945 Jepang porak poranda, luluh lantak karena dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki, dihantam bom atom Amerika dan sekutunya. Jepang kalah, bertekuk lutut. Di tengah-tengah kehancuran tersebut Kaisar Hirohito tidak menanyakan jumlah prajurit yang tersisa atau jumlah logistik perang. Pertanyaan pertama Kaisar Hirohito adalah, “Berapa banyak jumlah guru yang tersisa?”
Pertanyaan itu jelas membingungkan para jenderal Jepang yang menjawab, “Kami masih bisa menyelamatkan Kaisar tanpa kehadairan para guru.” "Kita kalah dari Amerika karena kita tidak belajar, dan Amerika bisa membuat bom atom,“ tukas sang Kaisar.
Kaisar Hirohito kemudian bergerak mengumpulkan guru yang tersisa, sebanyak 45.000, yang kemudian menjadi tumpuan rakyat Jepang. Sejak saat itulah dan sampai hari ini, Jepang, negara yang menghargai guru dan pendidikan, menjadi bangsa maju, digdaya, serta cemerlang baik dalam industri maupun pendidikan.
Bagaimana Indonesia? Sudah 77 tahun merdeka, pendidikan masih berada dalam labirin yang belum juga menemukan jalan keluar.
Baca juga: Pendidikan Indonesia 2045
Karut marut dan kesemerawutan belum juga berakhir. Kita menghargai upaya Kemdikbudristek dengan program-program dan lompatan luar biasa yang dilakukan. Namun, ada beberapa masalah yang terus saja mendera dan menjadi benang kusut pendidikan.
Sebut saja kompetensi guru. Guru masih belum terstandirisasi dengan tepat. Sertifikat pendidik tak urung sekadar sebuah pemberitahun bahwa mereka sudah layak mendapat gaji dobel setiap bulan sehingga kehidupan guru tidak melarat seperti lagu Oemar Bakrie. Diharapkan, guru tidak lagi mengajar sambil nyambi sehingga mutu pendidikan kita menjadi lebih baik.
Namun, sudah 15 tahun sertifikasi pendidik berjalan, wajah pendidikan kita masih saja bopeng. Rangking PISA yang terus bertengger di 10 besar terbawah menjadikan sistem pendidikan kita menjadi hujatan para ahli pendidikan sejagad raya bersama negara-negara penghuni tetap rangking PISA 10 terbawah dari tahun ke tahun.
Duapuluh tahun sudah kita mengikuti tes yang berbayar puluhan miliar rupiah sekali tes tersebut, namun tidak pernah menunjukan perubahan yang berarti. Bahkan, di tahun 2018 peringkat kita melorot dibanding pada 2015. Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Ambil contoh Jerman. Di tahun 2000, yaitu tes pertama PISA, Jerman kalang kabut, peringkat negaranya di bawah rata-rata OECD. Segera saja negara itu dilanda shock yang dikenal dengan istilah Jerman schock.
Jerman bebenah cepat, kemampuan siswa-siswanya yang di bawah rata-rata negara-negara OECD membuat negara itu resah dan gelisah, mencari tau apa yang salah dalam pendidikan mereka. Saran EOCD diikuti dengan sungguh-sungguh. Walhasil di tes PISA selanjutnya Jerman membaik.
Jerman bebenah cepat, kemampuan siswa-siswanya yang di bawah rata-rata negara-negara OECD membuat negara itu resah dan gelisah.
Tes PISA tidak hanya melihat kemampuan membaca, menulis, dan sains siswa-siswa menengah, namun lebih kepada semua hal, yaitu kompetensi guru, infrastruktur, sistem pendidikan, strata sosial siswa dan banyak lagi. Tak pelak tes ini sesungguhnya membuka banyak borok pendidikan suatu negara.
Sampai tahun 2022, di 77 tahun Indonesia merdeka, belum ada satu program yang berkesinambungan yang dijalankan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi yang dilekatkan di gaji membuat guru manja dan mengganggap bahwa sertifikasi adalah hak mereka secara absolut.
Wajar, namun, apakah guru pernah juga merenungkan dan merasa bahwa sertifikasi diberikan karena kompetensi mereka? Apa ada dana dari sertifikasi yang dianggarkan setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi mereka? Membeli buku misalnya.
Baca juga: Pendidikan Berkualitas Dimulai dari Kompetensi Guru
Saya melakukan survei kecil-kecilan untuk kepentingan pembuatan buku saya bulan lalu. Saya membuat survei tentang minat baca pada guru. Dari 40 guru yang jadi sampel penelitian saya, hanya dua orang yang punya program membaca, ke toko buku, dan membeli buku.
Sungguh ironis, insan pendidikan saja yang menjadi ujung tombak pendidikan, eksekutor kurikulum di lapangan minat bacanya begitu memilukan. Tidak usah lagi kita bertanya-tanya mengapa siswa kita begitu rendah dalam literasi. Bukankah guru kencing berdiri dan murid kencing berlari?
Guru harus profesional
Mindset guru harus diubah. Saat ini 77 tahun Indonesia merdeka, artinya 23 tahun lagi menuju 100 tahun Indonesia merdeka. Guru harus profesional. Setiap bulan guru harus bisa menaikkan kompetensinya. Jadilah guru yang gemar membaca, yang bisa mengimbas kepada siswa. Kalau bukan guru yang jadi pionir literasi disekolah, siapa lagi?
Guru itu digugu, ditiru, jangan cuma sibuk menggunakan dana sertifikasi untuk dijadikan jaminan kredit di bank. Seharusnya ada rencana-rencana yang sudah disiapkan, berapa persen dari dana sertifikasi yang mereka terima dianggarkan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, dan kompetensi profesional.
Kurikulum Merdeka yang digadang-gadang bisa menambal learning loss dan juga meningkatkan mutu pendidikan, tidak akan berdaya guna ditangan guru-guru yang belum kompeten. Merekalah yang akan mengeksekusi dan menerapkan kurikulum itu di lapangan.
Baca juga: ”Gunung Es” Kurikulum Merdeka
Inti Kurikulum Merdeka adalah terlaksananya pembelajaran berdeferensiasi. Guru harus berkompetensi tinggi untuk bisa mengajar semua siswa dengan segala model kemampuan.
Di 77 tahun Indonesia merdeka ini juga, ironi pendidikan belum juga berhenti. Gonta-ganti kurikulum kerap terjadi seiring dengan bergantinya rezim pemerintahan. Ketidaktuntasan pendidikan menjadi taruhannya. Pendidikan yang separuh-separuh yang akan mewarnai gerak langkah bangsa ini lagi dan lagi.
Mengapa tidak meniru neagara-negara maju? Untuk mengubah suatu kurikulum, mereka melakukan persiapan yang sangat matang dan tidak terburu-buru. Ada evaluasi mendalam dilakukan. Kurikulum diubah, memang karena sudah tidak memadai lagi untuk dipakai.
Mari menoleh ke negara kita, mengapa begitu mudah mengubah kurikulum? Jawabannya sederhana. Kita tidak punya cetak biru pendidikan.
Mari menoleh ke negara kita, mengapa begitu mudah mengubah kurikulum? Jawabannya sederhana. Kita tidak punya cetak biru pendidikan. Tidak usah jauh-jauh, lihatlah Malaysia. Mereka punya Visi Malaysia 2020 yang diinisasi tahun 1991, kemudian ada blue print pendidikan Malaysia 2013-2025. Malaysia secara detail menguraikan apa yang akan dicapai dan permasalahan apa yang harus dibereskan sejak 2013 sampai 2025. Ada milestone dan pencapain yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Bagaimana pendidikan Malaysia saat ini? Rangking kampus-kampus Malaysia menurut QS World yang jadi rujukan Dikti, Universitas Malaya ada di rangking 70 dunia. Masih ada empat kampus Malaysia yang duduk manis diperingkat 100-an dunia, sedangkan kampus Indonesia hanya UGM di peringkat 231 dunia.
Rangking PISA Malaysia 2018 pun di atas Indonesia. Negara itu sangat serius menciptakan pendidikan kelas dunia. Di 77 tahun Indonesia merdeka, negara kita masih sibuk saling tuding tentang cetak biru pendidikan.
Draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia yang dikeluarkan Kemdikbudristek, bukan saja tidak memasukkan hal-hal krusial penyelesaian masalah pendidikan, justru menimbulkan banyak sengkarut dan kritikan tajam. Yang lebih aneh, dalam peta jalan pendidikan Indonesia juga termuat OECD learning compass 2030. Indonesia bukan anggota OECD, sangat absurd.
Sebagai negara besar, merdeka, dan berdaulat kita terkesan hanya menjiplak apa yang telah dibuat oleh lembaga internasional. Masalah pendidikan di Indonesia, sangat jauh apabila dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut.
Sebagai bangsa yang hidup di tataran global, Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari kemajuan teknologi 4.0 dan masyarakat 5.0. Namun, semua itu tidak akan berjalan apabila masalah-masalah dasar yang masih mencengkram pendidikan Indonesia tidak bisa diselesaikan secara fundamental.
Yang lebih aneh, dalam peta jalan pendidikan Indonesia juga termuat OECD learning compass 2030. Indonesia bukan anggota OECD, sangat absurd.
Di 77 tahun Indonesia merdeka juga ini, kita belum merdeka dari masalah dasar infrastruktur pendidikan yang masih saja menimbulkan haru biru. Ada 250.000 ruang sekolah rusak di tahun 2021. Masih ada anak-anak SD di di Bekasi yang belajar tanpa meja dan kursi alias melantai.
Ngilu membayangkan di tengah gegap gempita program Merdeka Belajar infrastruktur minim masih jadi momok yang menghantui hari-hari sekolah generasi bangsa. Itu di Bekasi yang dekat dengan pusat pemerintahan, bagaimana di pelosok?
Masih di 77 tahun Indonesia merdeka, banyak guru honor yang masih bergaji di bawah 200.000 sebulan. Model pendidikan apa yang kita harapkan dengan kondisi ini? Guru honor adalah napas penggerak sekolah di daerah terpencil. Tata kelola guru begitu semrawut. Guru-guru PNS tidak banyak yang mau bertugas di tempat terpencil atau pelosok.
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan guru. Tata kelolanya saja yang jomplang. Hargai guru-guru honor yang sudah meluangkan waktu untuk mengajar disekolah-sekolah negeri dan swasta yang tidak terjangkau tangan guru PNS. Buat aturan sekolah negeri dan swasta harus menggaji guru paling rendah 700.000 sebulan.
Model pendidikan kualitas dunia adalah mimpi di siang bolong kalau gaji guru di bawah 700.000 sebulan. Harga minyak goreng di Sulawesi di kisaran 30.000 per liter. Gaji guru yang 200.000 sebulan adalah bentuk pelecehan terhadap profesi guru. Apa bisa mereka mengajar dengan baik kalau untuk beli bensin saja gajinya tidak cukup?
Baca juga: Kesenjangan Mutu dalam Rapor Pendidikan Indonesia
Di 77 tahun Indonesia merdeka ini, selayaknya kita tidak lagi menyaksikan wajah muram guru honerer yang berlinang airmata membuka amplop gaji serupa mengiris bawang, membuat mata mereka perih.
Di 77 tahun Indonesia merdeka, pendidikan kita masih ada dalam labirin yang belum menemukan titik terang dan jalan keluar. Kita masih saja ribut dan berkutat pada masalah–masalah yang seharusnya sudah tuntas di tahun ke 77 ini.
Kita akan segera berhadapan dengan bonus demografi di 2045. Sesungguhnya, hanya pendidikan yang akan menjadikan bonus demografi tidak menjadi bencana demografi. Kita masih punya waktu kurang lebih 23 tahun untuk bertransformasi dengan baik.
Menteri pendidikan kita saat ini adalah generasi milenial yang bisa membuat perubahan signifikan dengan menyelesaikan masalah-masalah mendasar pendidikan. Masih ada dua dasawarsa menuju hari kemerdekaan di tahun 2045, dan saat inilah momentum yang tepat menyelesaikan hal-hal tersebut.
Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan