Hasil Asesmen Nasional 2021 menunjukkan kompetensi literasi dan numerasi siswa belum memenuhi standar minimum terutama di jenjang SD dan SMP yang menjadi fokus wajib belajar anak Indonesia. Ini harus segera diatasi.
Oleh
CATUR NURROHMAN OKTAVIAN
·5 menit baca
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan Merdeka Belajar Episode 19: Rapor Pendidikan Indonesia di Jakarta, Jumat (1/4/2022). Dalam paparannya, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyampaikan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 yang digunakan sebagai pemetaan mutu pendidikan dari tingkat satuan pendidikan dan daerah.
Hasil AN tersebut menjadi patokan secara komprehensif untuk mengevaluasi dan memetakan mutu pendidikan agar ditemukan akar permasalahan di tiap satuan pendidikan dan daerah. Data yang tecermin dalam rapor pendidikan untuk tiap satuan pendidikan dan daerah menjadi dasar dalam merencanakan program dan penganggaran yang berfokus pada peningkatan mutu pendidikan dan mengatasi kesenjangan.
Kemendikbudristek melakukan AN secara digital tahun 2021 di 259.000 satuan pendidikan jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat dan hasilnya cukup mencengangkan. Berdasarkan data Kemendikbudristek, hasil AN menunjukkan kompetensi literasi dan numerasi siswa belum memenuhi standar minimum terutama di jenjang SD dan SMP yang selama ini menjadi fokus wajib belajar anak Indonesia. Satu dari dua peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi dan dua dari tiga peserta didik belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
Kesenjangan mutu terlihat dari performa satuan pendidikan terbaik di salah satu kabupaten di luar Pulau Jawa setara dengan performa satuan pendidikan terburuk di salah satu kabupaten atau kota di Jawa. Di satu daerah, antara satuan pendidikan terbaik dan terburuk juga menunjukkan kesenjangan mutu yang tinggi.
Penguatan nalar kritis
Data rapor pendidikan hasil AN, termasuk dari data pokok pendidikan (dapodik), tiap tahun harus segera diatasi karena dapat berdampak buruk pada mutu sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Literasi dan numerasi memang menjadi fondasi kemampuan belajar agar peserta didik tidak kesulitan belajar di jenjang berikutnya. Selain itu, rendahnya literasi dan numerasi disinyalir mengakibatkan rendahnya daya saing bangsa di era digital serta kesadaran yang rendah pada berita bohong atau hoaks.
Selain analisis hasil AN, berdasarkan survei karakter dapat disimpulkan secara umum siswa Indonesia kuat dalam hal beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan kreativitas. Namun untuk nalar kritis, gotong royong, dan kemandirian anak-anak masih rendah.
Rendahnya literasi dan numerasi disinyalir mengakibatkan rendahnya daya saing bangsa di era digital.
Nah, apa yang perlu di-treatment dalam hal ini? Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan perbaikan cara atau proses pembelajaran yang sistematis. Pembelajaran yang dominan menyampaikan pengetahuan harus berganti dengan proses pembelajaran yang bermakna untuk penguatan nalar kritis.
Selain itu, berbagai bentuk kegiatan ekstrakurikuler, seperti Pramuka, PMR, dan Paskibra, perlu dikuatkan kembali dan diberikan perhatian serius oleh pemangku kepentingan di sekolah agar siswa dapat terlatih lebih mandiri dan cakap bergotong royong. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut sangat baik terus ditumbuhkembangkan di sekolah-sekolah untuk menguatkan karakter positif siswa seperti gotong royong dan kemandirian.
Lingkungan belajar
Berdasarkan paparan Kemendikbudristek mengenai survei lingkungan belajar untuk mengukur faktor yang memengaruhi hasil belajar siswa, didapatkan hasil bahwa mutu belajar, iklim keamanan, dan kebinekaan masih terkendala. Namun dari hasil survei tersebut, para guru telah mempunyai dukungan afektif yang baik dengan memperhatikan dan memberikan umpan balik kepada siswa. Berarti siswa memerlukan dukungan afektif setara dari orang tua di rumah agar hasil belajar siswa lebih baik.
Hasil survei menunjukkan manajemen kelas, seperti disiplin, dan keteraturan suasana kelas masih rendah. Aktivasi kognitif dengan pembelajaran interaktif yang sesuai kemampuan siswa rendah. Sekali lagi, perbaikan dalam metode pembelajaran menjadi hal urgen dibandingkan mengganti kurikulum.
Sebaiknya, pemerintah fokus menjawab persoalan how the teacher delivered curriculum. Guru adalah kurikulum ”hidup” yang mampu menghidupkan pembelajaran agar tersampaikan dengan menyenangkan dan bermakna bagi siswa. Perlu diperbanyak guru-guru kreatif dan inovatif agar mampu mengelola kelas dan menghidupkan isi kurikulum dengan baik.
Isu lingkungan sekolah yang nyaman dalam mendukung proses pembelajaran siswa perlu mendapat perhatian serius dari guru, kepala sekolah, komite, dan pemangku kepentingan di sekolah. Masih maraknya kasus perundungan dan kekerasan seksual yang dialami para siswa setahun terakhir ini perlu serius ditangani pihak sekolah agar lingkungan sekolah menjadi aman dan nyaman dalam mendukung belajar siswa.
Penegasan terhadap tegaknya aturan kedisiplinan siswa di sekolah harus didukung. Guru dan kepala sekolah harus diberikan dukungan peraturan yang melindungi mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mendidik para siswa. Kerja sama dan pola komunikasi yang baik antara guru, kepala sekolah, wali kelas, dan orangtua siswa sangat dinantikan untuk menekan maraknya perundungan dan kekerasan seksual di sekolah.
Sementara itu, iklim kebinekaan yang diukur dari sifat inklusif, komitmen kebangsaan, toleransi agama dan budaya, serta dukungan atas kesetaraan dan budaya masih perlu dibangun di sekolah. Menurut data Kemendikbudristek, baru 32 persen dari satuan pendidikan yang membudayakan kebinekaan.
Pemupukan semangat kebangsaan dan kebinekaan harus dimulai sejak dini dan harus terus dilakukan di satuan pendidikan melalui beragam program kegiatan kokurikuler yang mendukung intrakurikuler. Siswa harus diberi ruang yang cukup untuk belajar di luar kelas dari ragam kehidupan nyata di lingkungannya yang bermakna. Melalui pembelajaran proyek tentang kebinekaan di luar kelasnya, siswa dapat belajar secara nyata tentang kehidupan nyata yang dapat memberikan pemahaman bermakna tentang kebinekaan, toleransi, dan komitmen kebangsaan.
Pemupukan semangat kebangsaan dan kebinekaan harus dimulai sejak dini dan harus terus dilakukan di satuan pendidikan.
Data yang tersaji dalam Rapor Pendidikan di satuan pendidikan dan daerah dapat menjadi pegangan sekolah dan pengambil kebijakan pendidikan di daerah untuk memperbaiki input, proses, dan output (hasil) pembelajaran yang belum mencerminkan pendidikan yang berkualitas. Penyiapan guru berkualitas sejak dini dimulai dari reformasi pembelajaran di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Pendidikan Profesi Guru, dan pelatihan guru dalam metode pembelajaran secara berkelanjutan.
Apabila tata kelola guru masih karut marut seperti saat ini, maka penyelesaian persoalan kualitas pendidikan dapat dipastikan tetap jalan di tempat. Peningkatan kualitas pendidikan berbanding linear dengan peningkatan kualitas kebijakan pendidikan. Hal tersebut progresnya akan terlihat apabila pemerintah berfokus pada peningkatan kualitas guru.
Data AN yang dikeluarkan Kemendikbudristek diibaratkan sebagai hasil pemeriksaan kesehatan yang membutuhkan penanganan segera dan resep obat yang tepat dan mujarab. Sejatinya obat yang mujarab bukan gonta-ganti kurikulum, tetapi tata kelola guru yang komprehensif dari hulu hingga hilir, dari mulai perekrutan (pre service) hingga pelatihan dalam jabatan (in service).
Diagnosis yang baik dan pengggunaan obat yang tepat menjadi terapi jitu untuk memperkecil kesenjangan mutu pendidikan nasional. Jangan gonta-ganti diagnosis dan resep obat karena tidak akan menyembuhkan, tetapi justru menyebabkan keracunan. Apalagi kalau salah diagnosis dan obat, alih-alih niatnya ingin meningkatkan mutu pendidikan, tetapi sebaliknya justru memperburuk keadaan.
Catur Nurrochman Oktavian, Wakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PGRI Pusat; Guru SMP Negeri 1 Kemang Kabupaten Bogor