Pada abad ke-14, ketika Epos Hilali mulai dinyanyikan para penyair di acara pernikahan atau khitanan, Sureq Galigo diperkirakan mulai ditulis dari bentuk lisannya.
Oleh
Linda Christanty
·5 menit baca
Kadal gurun. Ejeken ini populer di Indonesia karena isu sektarian dan anti-Semit merebak dan menjadi mainan politikus. Kadal adalah reptil bersisik, sedangkan gurun yang dimaksud ejekan tersebut adalah gurun di Jazirah Arab, bukan di Australia atau di China. Kadal gurun sejati bernama Phrynosoma platyrhinos. Habitatnya di Amerika Utara sebelah barat. Saya tidak akan membicarakan kadal lebih detail, tetapi mengapresiasi gurun yang menumbuhkan sastra dunia. Epos Al-Sirah Al-Hilaliyyah diciptakan bangsa Bedouin atau Badawī atau Badui, yang dijuluki ”penghuni gurun” atau ”serigala gurun”. Epos yang juga dikenal sebagai Sirat Bani Hilal atau Taghribat Bani Hilal atau Epos Hilali adalah puisi lisan Bani Hilal, salah satu suku Badui. UNESCO menetapkan Epos Hilali sebagai Mahakarya Budaya Lisan dan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan pada 2003 dan 2008.
Epos Hilali berlatar waktu abad ke-11. Epos ini mencakup empat bagian dengan setiap episode. Bagian pertama mengisahkan kelahiran Abū Zayd, tokoh utamanya, di Yaman, juga kelahiran tokoh-tokoh lain dan masa muda mereka. Di bagian ini para pemimpin Bani Hilal dibunuh musuh mereka. Bagian kedua, kelaparan dan kekeringan membuat Abū Zayd ditugaskan mencari tempat baru dan Bani Hilal pun eksodus ke Najd. Bagian ketiga, Bani Hilal kembali melakukan eksodus, kali ini dari Najd ke barat (taghribat) atau Afrika Utara. Dalam perjalanan ke barat, mereka melakukan banyak pertempuran. Bagian keempat, Bani Hilal berakhir tragis.
Dwight Reynolds, profesor bahasa dan sastra Arab dari University of California, membahas epos itu dalam ”Sirat Bani Hilal”, tulisannya di antologi Arabic Literature in the Post-Classical Period. Ia mengurai sebab kehancuran Bani Hilal. Bukan oleh serangan musuh, tetapi akibat perpecahan di dalam. Diyāb, salah seorang pejuang dan teman Abū Zayd, membunuh Hasan, pemimpin mereka. Abū Zayd menjadi buta karena menangisi kematian sang pemimpin, dan ia harus bertempur dalam keadaan buta. Tokoh pejuang lain, perempuan cerdas dan cantik Al-Jazya, bersiap membunuh Diyāb. Reynolds menyimpulkan, ”Seluruh petualangan dan prestasi heroik dalam epos tersebut dilakukan untuk melawan pemusnahan akhir sebuah suku… dan nasib itu dialami akibat perbuatan pihak mereka sendiri.”
Belum dipastikan kapan Epos Hilali diciptakan. Bentuk lisannya tentu berkembang mendahului bentuk tertulis. Panjang naskah epos ini lebih dari 8.000 halaman. Ibnu Khaldun, filsuf dan sejarawan terkemuka Mesir, menyalin beberapa puisi dari epos itu pada abad ke-14 dan dari hasil penelitian Reynolds diketahui bahwa salinan Ibnu Khaldun dulu sesuai dengan bentuk lisan yang masih dipertunjukkan di Mesir hari ini.
Meskipun Epos Hilali lahir di Yaman lalu tersebar ke seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara, Mesir menjadi tempatnya paling disambut dan terus dilestarikan. Beberapa tokoh epos itu diidolakan penonton, terlebih Abū Zayd, yang dianggap mampu memimpin bangsanya menghadapi ancaman musuh dan segala jenis bencana. Rababah, alat musik gesek khas Timur Tengah, biasa dimainkan dalam pembacaan epos.
Pada abad ke-14, ketika Epos Hilali mulai dinyanyikan para penyair di acara pernikahan atau khitanan, Sureq Galigo diperkirakan mulai ditulis dari bentuk lisannya. UNESCO menetapkan Sureq Galigo atau I La Galigo sebagai Memori Dunia pada 2011.
Sureq Galigo adalah sastra lisan yang diciptakan bangsa Luwu’ di Sulawesi Selatan, yang kemudian disalin jadi naskah setebal hampir 6.000 halaman. I Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, putri Datu Tanete, telah berjasa turut menyalin epos itu.
Bangsa Luwu’ dikenal sebagai bangsa pengembara, bukan pengembara gurun seperti Bani Hilal, tetapi pengembara lautan. Bahasa Sureg Galigo adalah bahasa Luwu’ kuno, yang disebut bahasa To ri Langi’atau bahasa Orang di Langit. Penembang sureg disebut passureq. Sebagaimana para penyair yang melagukan Epos Hilali, passureq dilatih menghapal isi Sureq Galigo sejak mereka masih kecil.
Dalam Epos Hilali, kuasa langit atau hal-hal ajaib tidak menjadi pusat cerita. Keajaiban dikisahkan sepintas, yaitu tokoh utama Abū Zayd lahir berkulit hitam dari ibu dan bapak berkulit putih karena ibunya berdoa untuk mempunyai seorang putra sebagaimana seekor burung hitam yang terbang di atas sumur. Sementara Sureg Galigo adalah epos tentang dewa yang turun dari langit lalu menjelma manusia di Bumi untuk menyebarkan Maddara Takku atau keturunan berdarah putih.
Sureq Galigo membagi manusia dengan tegas dalam dua lapisan, yaitu lapisan yang memerintah dan lapisan yang diperintah. Kalangan jelata dikisahkan berdarah merah, sedangkan penguasa keturunan langit berdarah putih. Praktik menguji darah menjadi ritual wajib dalam rangkaian upacara pernikahan bangsawan tinggi Luwu’ di dunia nyata. Salah satu jari mempelai ditusuk untuk memastikan warna darah mereka benar-benar putih. Christian Pelras, etnolog Perancis, mengungkap ritual ini dalam bukunya, Manusia Bugis, ”Pada akhir abad ke-16, pengamat Portugis dengan penuh rasa heran melaporkan bahwa keajaiban seperti itu benar-benar terjadi di kalangan penguasa Luwu’.”
Bangsa Luwu’ mengembara lautan tanpa paksaan, tetapi Bani Hilal faktanya meninggalkan Jazirah Arab akibat penghukuman. Pada abad ke-10, ketika Dinasti Fatimiyyah, dinasti Syiah Ismailiyyah yang berpusat di Kairo, menguasai Jazirah Arab, Mediterania, Afrika Utara, dan Sicilia, terjadi kerusuhan Qaramithah, suatu gerakan ekstrem yang ingin memurnikan ajaran Islam. Kabah dihancurkan. Batu hajar aswad dibawa kabur ke Bahrain. Bani Hilal terlibat. Akibatnya, penguasa Fatimiyyah menghukum Bani Hilal dan suku sepupunya, Sulaym, yang jumlah keseluruhan mereka mencapai 1 juta jiwa untuk meninggalkan Jazirah Arab.