Perampasan tanah Palestina disetarakan dengan pembukaan lahan. Pengusiran orang-orang disamakan dengan pembersihan semak belukar. Ini perlu diluruskan.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Sekelompok orang menganggap konflik Palestina dan Israel tidak dapat diselesaikan sampai akhir zaman. Anggapan itu menipu kita untuk mendukung sebuah konflik terus berlangsung dan menutup mata terhadap pendudukan Palestina.
Ada juga orang yang bersiasat menggiring kita menjadi kaki tangan para penjahat perang dan penjahat kemanusiaan untuk memercayai bahwa Palestina dulu wilayah tak bertuan sehingga kita akan setuju mengganti kata ”pencaplokan” atau kata ”pendudukan” dengan frasa ”pembangunan permukiman”. Perampasan tanah disetarakan dengan pembukaan lahan. Pengusiran orang-orang disamakan dengan pembersihan semak belukar.
Gelombang pengungsi Palestina memasuki beberapa negara Arab menjelang berdirinya negara Israel, yang tercapai melalui dukungan Amerika Serikat dan Uni Soviet di Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa.
Robert Fisk, seorang jurnalis Inggris, mewawancarai pengungsi-pengungsi Palestina di Lebanon, yang meninggalkan Tanah Air mereka pada 1948, di tahun negara Israel berdiri di wilayah Palestina. Salah seorang pengungsi bernama Shakr Yasin memperlihatkan kepada Fisk kunci pintu depan rumah orangtuanya yang berkarat dan sertifikat kebun limau yang diwariskan kepadanya. Yasin baru berusia lima tahun sewaktu dibawa orangtuanya kabur dari kolonialisme Zionis. Nasib serupa Yasin menimpa ayah super model Amerika Serikat, Bella Hadid.
Menurut Fisk, sekitar tiga juta pengungsi Palestina tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk kembali menempati rumah mereka. Kampung-kampung mereka berubah menjadi kampung-kampung Israel. Rumah-rumah mereka telah beralih pemilik. Orang Palestina yang bertahan di negerinya menghadapi pengucilan, pengawasan, pengintaian, jam malam, pembatasan ruang gerak, kelaparan, perampasan, penggusuran, pembunuhan, pengeboman, pemerkosaan, pembantaian, dan penghapusan bahasa Arab.
Beberapa kali perundingan damai dilakukan untuk menghentikan pendudukan Israel di wilayah Palestina, tetapi tidak membuahkan hasil yang memihak bangsa terjajah. Perjanjian Oslo pada 20 Agustus 1993 paling mengecewakan bangsa Palestina karena Yasser Arafat, Ketua Organisasi Pembebasan Palestina, tidak memperjuangkan hak para pengungsi untuk dimasukkan dalam perjanjian tersebut sehingga Palestina pun makin terampas tanahnya. Arafat menuai kritik akibat sikapnya yang melunak terhadap agresor, bahkan dia dianggap dalam kendali Israel dan pelindung Israel, Amerika Serikat.
Setelah pendudukan wilayah Palestina, stigmatisasi terhadap Islam dan Arab menguat. Fisk membantu kita menemukan penyebabnya. Dia menulis dalam bukunya, The Great War for Civilization, bahwa perlawanan tanpa kompromi yang dilakukan Hamas dan Jihad Islam atau Pan Islamisme telah memberi Palestina secercah harapan, bahkan membuat Israel mengakui Organisasi Pembebasan Palestina sebagai perwakilan sah bangsa Palestina untuk melakukan berbagai perundingan. Para pejuang kemerdekaan non-kompromistis itu lantas dijuluki ”teroris” atau ”teroris Islam” atau ”radikalis Islam”.
Saat diwawancarai David Barsamian di radio KGNU pada 2001, Edward Said menyatakan bahwa orang harus membedakan antara tindakan bangsa Palestina yang memerangi pendudukan Israel dan aksi pelaku pengeboman bunuh diri terhadap World Trade Center di New York, Amerika Serikat. Meskipun Wali Kota New York Rudy Guiliani menyatakan tidak memerangi Islam, kenyataannya, menurut Said, ”Orang Amerika sekarang merasa bahwa mereka berperang dengan Islam.” Islam disebut sebagai agama teroris. Islamofobia merebak di seluruh dunia. Said adalah cendekiawan Amerika keturunan Palestina, pembela Palestina paling gigih, seorang Katolik.
Ada pula yang menganggap penjajahan dan aneksasi Palestina merupakan hak ilahiah pemberian Tuhan untuk Israel. Namun, ingatlahMitzvah ke-1 Abraham: ”Tinggalkan Ur-Kasdim (Mesopotamia), hijrah ke Kana’an (Palestina)”.Palestina ketika itu wilayah bertuan, bukan lahan kosong untuk Israel.
Pada 1967, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor 242, yang mendesak Israel menarik mundur semua pasukannya dari tanah milik Arab yang didudukinya, termasuk tiga wilayah Palestina, yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur. Resolusi ini mengekalkan solusi dua negara untuk konflik Palestina dan Israel, yakni negara Palestina berdaulat dan negara Israel. Namun, resolusi itu terus dilanggar Israel sejak disahkan. Awal tahun ini giliran rumah-rumah orang Palestina di Sheikh Jarrah, yang terletak di Jerusalem Timur, digusur, sedangkan permukiman lebih dari 200.000 orang Israel di Jerusalem Timur dilindungi tentara dan polisi bersenjata. Para pemukim di seluruh permukiman Israel di wilayah Palestina melanggar Konvensi Keempat Geneva. Pelanggaran terhadap konvensi tersebut adalah kejahatan perang.
Dua tahun lalu, Perjanjian Abraham yang disponsori Amerika Serikat sudah ditandatangani Israel, Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan. Perjanjian itu wajib ditafsirkan bahwa kemerdekaan Palestina tidak bisa ditunda lagi.
Tentu saja, saya mendukung solusi dua negara, yaitu negara Palestina berdaulat dan negara Israel. Untuk menjalankan solusi ini, pembangunan permukiman di wilayah Palestina oleh Israel harus dihentikan selamanya. Pembangunan permukiman tanpa henti adalah upaya licik yang ketika kemerdekaan Palestina tidak terbendung lagi, wilayah tersebut akan diklaim sebagai bagian dari negara Israel. Konflik ini juga memberi teladan buruk kepada para pemimpin di dunia. Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina, misalnya, menyatakan secara terbuka akan menjadikan Ukraina seperti Israel, sebuah negara teror, agresor, dan apartheid.