Pangeran Gusti adalah sosok berperilaku bejat dan sadistik. Ia merekayasa tuduhan hingga pembunuhan terhadap saudara kandung ayahnya sendiri dan para pejabat tinggi Banten.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Kesultanan Banten sebagai negara berdaulat tamat ketika Sultan Agung Tirtayasa kalah perang dengan VOC yang memiliki hak oktroi pada 14 Maret 1683. Hak oktroi membuat kewenangan VOC setara negara Belanda. Sultan dipenjarakan di Batavia selama sembilan tahun hingga wafat. Takluknya Banten karena pengkhianatan Pangeran Gusti atau Abdul Kohar, putra tertua Sultan yang jadi kaki tangan musuh.
Dalam siaran khusus Melawan Lupa di Metro TV pada 18 Januari 2022 lalu, Mufti Ali, sejarawan dan guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, menuturkan bahwa pengkhianatan Pangeran Gusti terbongkar dan membuat Sultan murka, ”Sehingga mengalihkan status putra mahkotanya kepada putranya yang kedua, Pangeran Purbaya”. Pengesahan Pangeran Purbaya atau Hasan Jamil sebagai putra mahkota dengan pengambilan sumpah yang dipimpin Mufti Agung Syekh Yusuf Al Makassari, kakek buyut Syekh Ahmad alias Batin Tikal, pejuang terbesar antikolonialisme Belanda di Provinsi Bangka Belitung.
Menurut Mufti Ali, Pangeran Gusti ”mengirim surat sebanyak tujuh kali” kepada Gubernur Jenderal Cornelis Speelman agar membantu mengembalikan kedudukannya. Ia kelak menyerahkan hampir seluruh wilayah Kesultanan Banten kepada VOC, yang meliputi seluruh wilayah Banten di Sumatera, seluruh Priangan, seluruh wilayah Banten di Kalimantan Barat, dan wilayah Banten di Pulau Jawa hingga batas Sungai Cikande, dekat Serang sekarang. Ia bersama VOC menangkap ayahnya dengan tipu keji, lalu ia diangkat Speelman jadi sultan dan bergelar Sultan Haji.
Buku Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, dan buku Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, menggambar Pangeran Gusti sebagai sosok berperilaku bejat dan sadistik. Ia merekayasa tuduhan hingga pembunuhan terhadap saudara kandung ayahnya sendiri dan para pejabat tinggi Banten. Pangeran-pangeran sepuh dibuangnya ke Lampung. Sejumlah pangeran dibunuh di Jawa dan di Lampung atas suruhannya. Alasan tindakan tersebut sesuka hatinya.
Sebelum Speelman menaklukkan Banten, pendahulunya, Gubernur Jenderal Rijkloff van Goens, telah diberi mandat menghancurkan Banten dan gagal. Van Goens menulis surat kepada dewan tertinggi VOC (Heeren Zeventien) pada 31 Januari 1679 dengan menyatakan bahwa ”Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancurleburkan, atau kalau tidak, VOC akan lenyap”.
Nasib putra mahkota Kesultanan Banten, Pangeran Purbaya, tragis. Ia dibuang ke Nagapattinam, Tamil Nadu, India. Setelah 14 tahun di Nagapattinam, ia dibuang kembali ke Batavia.
Keruntuhan Banten di masa silam berlanjut dengan pengebirian sejarahnya di masa Indonesia merdeka. Nama Sultan Agung Tirtayasa pun diubah menjadi Sultan Ageng Tirtayasa.
Berdasarkan naskah Sadjarah Banten yang ditulis pada abad ke-17, Sultan Agung atau Abdul Fatah adalah nama Sultan Agung Tirtayasa, bukan Sultan Ageng yang kemudian menjadi Sultan Ageng Tirtayasa.
Titik Pudjiastuti, filolog dan guru besar dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mencantumkan naskah Sadjarah Banten dalam bukunya, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. Nama Sultan Agung dalam naskah Sadjarah Banten yang berhuruf pegon itu diubah Titik menjadi Sultan Ageng dalam terjemahan bahasa Indonesia naskah tersebut. Perubahan nama dari ”Sultan Agung” menjadi ”Sultan Ageng” resmi dimulai pada masa Orde Baru. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 045/TK/Tahun 1970, Sultan Agung atau Abdul Fatah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, tetapi namanya diganti menjadi Sultan Ageng Tirtayasa. Apa motif Orde Baru mengubah nama Sultan Agung menjadi Sultan Ageng? Tidak jelas.
Berdasarkan silsilah resmi yang diserahkan Pangeran Mahkota Purbaya atas permintaan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn pada 1704, silsilah keluarga Sultan Banten dimulai dan terhubung dengan Demak. Nama leluhur Purbaya dari sebelah Demak adalah Ko Po, ayah kandung dari Cu cu, yang kemudian menikahi putri raja Majapahit, lalu memperoleh gelar Pangeran Aria Sumangsang. Leluhur Purbaya dari sebelah Banten dan garis laki-laki tak terputus adalah orang Arab dari Hadramaut, Yaman.
Sadjarah Banten menyebutkan Ko Po berasal dari Muchul, dulu wilayah pengaruh Dinasti Ming di Asia Timur, yang ditafsirkan para peneliti naskah dan ilmuwan bernama Moghul.
Persekutuan keluarga kami dengan Dinasti Ming berlangsung dari masa Demak hingga masa Banten. Dalam kunjungannya ke RRC, adik saya, Tubagus Budi Tikal, juga menziarahi permakaman leluhur Dinasti Ming di Changping, sebelah timur Beijing. Di situ bersemayam Kaisar Yong Le yang semasa hidupnya mengirim Cheng Ho menjelajah dunia. Di situ pula makam Kaisar Chenghua, ayah kandung Putri Ong Tien dan mertua Syarif Hidayatullah. Pembangunan permakaman tersebut dipimpin oleh Cheng Ho selama 16 tahun.
Pada tahun Sultan Agung Tirtayasa dikalahkan Belanda di Banten, Kaisar Ming Selatan yang terakhir, Zhu Shuqui atau Pangeran Ningjing, dikalahkan Dinasti Manchu dan bunuh diri di Taiwan. Pada 1950, ketika kakek saya, Tubagus Abdul Malik, dibebaskan dari penjara kolonial di Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, peristiwa itu mengakhiri perjuangan panjang para leluhur sekaligus menutup permusuhan kami dengan Belanda.