Ancaman perubahan iklim sudah di depan mata. Namun, siapa yang peduli ketika pragmatisme sudah menjadi ”ideologi” baru, korupsi menjadi kejahatan biasa, dan keadilan juga sudah bisa diperjualbelikan?
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Kawasan Semanggi adalah landmark ibu kota Jakarta. Kawasan termahal dan menjadi pusat bisnis. Agak mengejutkan ketika 300 meter dari kawasan Semanggi terdapat taman kota, di tengah gedung-gedung pencakar langit. Di taman kota yang rindang itu ada juga sangkar burung raksasa. ”Ada burung jalak. Ada juga kepodang,” kata Sunarso, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia, kepada saya dan sejumlah teman dari Kompas.
Kamis pekan ini, saya dan teman dari Kompas bertemu dengan Sunarso dan jajaran manajemen BRI. Biasanya, saya bertemu di lapangan sepak bola milik BRI di kawasan Fatmawati. Sunarso memang piawai bermain sepak bola. Kami pun ngobrol ngalor ngidul, terutama dan khususnya capaian BRI dan transformasi yang menakjubkan. Bank ini memiliki satelit sendiri sejak 2015.
Di sela-sela obrolan soal BRI, Sunarso bercerita soal bahasa dan komunikasi elite yang enggak nyambung dengan bahasa rakyat. ”Sekarang ramai dibicarakan soal net zero. Tetapi, siapa tahu artinya, bagaimana dipahami rakyat kecil,” ucap bankir lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Net zero emission memang ramai dipercakapkan para elite negeri ini bersama dengan frasa carbon trade. Net zero emission dipahami sebagai nol emisi gas karbon yang berarti kondisi saat emisi gas karbon yang dilepaskan ke udara tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap bumi.
Bahasa-bahasa elite memang terlalu tinggi. Amat jauh dengan bahasa rakyat yang sedang sulit menghadapi beratnya hidup. Coba tengok istilah stunting, sejauh mana orang biasa memahami apa itu stunting. Di level pertemuan pimpinan negara bulan November 2022 nanti, ada G20, B20, W20, R20. Bahasa atau istilah itu terasa jauh dari imajinasi rakyat.
Sekarang ramai dibicarakan soal net zero. Tetapi, siapa tahu artinya, bagaimana dipahami rakyat kecil
Bahasa-bahasa langit itu membutuhkan pembumian agar lebih sederhana dan bisa dipahami. Bicara net zero adalah bicara emisi karbon dioksida. Yang bisa menangkap karbon dioksida adalah pepohonan. ”Ya, mari kita menanam pohon,” ujar Sunarso menyederhanakan persoalan.
Maka, Sunarso pun memanfaatkan program BRI seperti kredit untuk usaha menengah, kecil, dan mikro dengan kewajiban menanam pohon. Program itu baru diluncurkan Agustus 2022. Setiap bulan diprogramkan akan ada 200.000 penerima kredit dan mereka akan menanam pohon. Dalam setahun ditargetkan delapan juta pohon akan ditanam. ”Jangan heran kalau dalam dua tahun harga alpukat atau mangga turun karena over supply. Mereka dibekali bibit mangga atau alpukat,” kata Sunarso.
Kepedulian pada lingkungan menjadi concern Sunarso. Keprihatinan Sunarso mengingatkan saya juga pada sosok Doni Monardo. Letnan jenderal purnawirawan yang kini memimpin Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dan komisaris Inalum. Ia juga punya komitmen besar pada kelestarian lingkungan hidup. Ia selalu mengingatkan agar kedaulatan rakyat (demokrasi) harus diimbangi dengan kedaulatan lingkungan (eco-cracy). Di tangan Doni bersama timnya ada perbaikan terhadap Sungai Citarum.
Bumi yang kian tua memang dihadapkan pada ancaman nyata. Perubahan iklim. Pemanasan global. Bumi makin panas. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laodato Si (2015) menyerukan pertobatan ekologis manusia untuk menyelamatkan bumi. Namun, demikian kata Paus Fransiskus, ”drama politik yang mengejar hasil langsung yang juga didukung oleh penduduk yang konsumeristis, memaksa untuk mendapatkan pertumbuhan jangka pendek.
Menanggapi kepentingan pemilu, pemerintah tidak akan mudah mengambil risiko untuk tidak menyenangkan penduduk dengan langkah yang memengaruhi investasi asing. Cara pikir kekuasaan hanya melihat dalam jarak dekat, memperlambat pencantuman agenda lingkungan yang berwawasan ke depan”.
Laporan Bank Dunia, ”Poverty and Shared Prosperity 2020”, sebagaimana dikutip epaper Kompas, 16 September 2022, dan ditulis Debora Laksmi Indraswari menyebutkan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan 68 juta hingga 132 juta orang hidup dalam kemiskinan pada tahun 2030. Prakiraan ini sangat bergantung pada tingkat keparahan suatu daerah.
Perubahan iklim global bisa memperparah kemiskinan dan ketersediaan pangan akan jadi masalah. Perubahan iklim global akan meningkatkan intensitas terjadinya berbagai bencana alam dan kemunculan penyakit-penyakit baru. Dalam bahasa rakyat, bumi makin panas. Posisi Indonesia sangat rentan.
Ancaman perubahan iklim itu memang di depan mata dan akan menyentuh sektor kelautan dan pesisir, sektor pertanian, sektor sumber daya air, dan sektor kesehatan. Antisipasi perubahan iklim perlu dilakukan karena akan sangat terkait dengan kemiskinan rakyat. Namun, siapa yang peduli semua itu ketika pragmatisme sudah menjadi ”ideologi” baru, ketika korupsi menjadi kejahatan biasa, ketika demokrasi dimaknai sebagai jual beli atau doltinuku, ketika keadilan juga sudah bisa diperjualbelikan?
Saya membaca ensiklik Laodato Si. Dalam ensikliknya, Paus Fransiskus menulis, ramalan tentang malapetaka tak boleh lagi dipandang sebagai cibiran atau ironi. Kita mungkin akan meninggalkan terlalu banyak puing, padang gurun, dan sampah kepada generasi mendatang. Keadilan antargenerasi belum menjadi arus besar pemikiran karena keserakahan masa kini. Dalam lanskap global perubahan iklim itulah kisah Sunarso bisa jadi inspirasi di tengah kebisingan narasi tetapi kering dalam aksi. Jika bisa terwujud menjadi gerakan bersama, langkah itu akan memberikan kontribusi bagi penyelamatan bumi.