Kapankah mimpi Indonesia akan terwujud? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Mimpi itu bisa saja buyar ketika negara bangsa ini kurang hati-hati dan kurang bijak dalam mengelola masa kritis.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
ILHAM KHOIRI
Budiman Tanuredjo
Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, saya bertemu dengan seorang bapak. Usianya sebaya. Di dalam gerbong kereta api Argo Dwipangga, di Jumat siang itu, bapak itu menceritakan mimpinya soal Indonesia. Sambil menyaksikan hamparan sawah yang menghijau dari dalam gerbong kereta, bapak itu bercerita. ”Saya sudah menua, kapan bisa menikmati negara bangsa yang tata tentram kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi. Sebuah negara yang tertib, tenteram, dan sejahtera bagi rakyatnya,” ucapnya lirih.
Cerita di dalam gerbong itu relevan ketika Agustus mulai kita tapaki. Agustus adalah bulan sakral bagi bangsa ini. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sudah 77 tahun bangsa ini merdeka. Sudah tujuh presiden memimpin bangsa. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Peringatan kemerdekaan akan dirayakan 11 hari lagi.
Cita-cita kemerdekaan jelas tertera di Pembukaan UUD 1945. ”Apa yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mimpi saya soal Indonesia,” kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR 2014-2019, di kanal Youtube ”Backtobdm”. Fahri mengatakan, Indonesia harus jadi tempat paling nyaman bagi orang Indonesia. Karena tujuan yang dicanangkan dalam Pembukaan UUD 1945 sudah ideal. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, ikut serta dalam perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
”Kalau ada negeri seperti itu, semua orang pasti betah di situ. Itu saja kita wujudkan. Satu negeri yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya,” ujar Fahri.
Dalam obrolan dengan Sukidi, cendekiawan muda Muhammadiyah lulusan Harvard University itu menyebutkan mimpinya soal Indonesia. Ia merumuskan mimpinya tentang Indonesia. Impian itu mencakup impian kebinekaan (dream of diversity), impian ketuhanan (dream of divinity), impian gotong royong (dream of togetherness, cooperation, and mutual assistance), impian kebebasan (dream of freedom), impian kemanusiaan (dream of humanity), impian persatuan (dream of unity), impian keadilan (dream of justice), impian kesetaraan (dream of equality), impian kesejahteraan (dream of welfare), dan impian demokrasi (dream of democracy).
Mimpi bapak tua di dalam gerbong kereta, mimpi Fahri, dan mimpi Sukidi adalah mimpi kita semua soal Indonesia. Namun, yang jadi pertanyaan, kapankah mimpi Indonesia akan terwujud? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Mimpi itu bisa saja buyar ketika negara bangsa ini kurang hati-hati dan kurang bijak dalam mengelola masa kritis.
Kalau ada negeri seperti itu, semua orang pasti betah di situ. Itu saja kita wujudkan. Satu negeri yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya
Mimpi soal Indonesia itu dihadapkan pada tantangan riil. Saya meminjam apa yang dikatakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam diskusi di Kompas, Kamis, 5 Agustus 2022. Airlangga menyebut ”perfect storm”, badai sempurna yang sedang menghantam dunia. Badai sempurna ini dirumuskan Airlangga sebagai Five C. Badai itu mencakup Covid-19 yang belum mereda; konflik Rusia-Ukraina yang belum tahu kapan berakhir, serta terakhir manuver kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi yang meningkatkan ketegangan kawasan; cost of living yang meningkat; commodity price yang melonjak; dan climate change (perubahan iklim). Itulah tantangan dunia, termasuk Indonesia.
Saya mengamini apa yang ditengarai Airlangga. Namun, khusus bagi negeri ini, perlu dipikirkan bagaimana mencegah perluasan badai dan menghasilkan badai tambahan lain, yakni badai politik. Badai politik itu telah terjadi di Sri Lanka, juga di Inggris dengan mundurnya PM Inggris Boris Johnson. PM Italia Maria Draghi yang juga mundur.
Pada level akar rumput, bangsa ini punya modal sosial luar biasa, di luar perkiraan banyak pengamat asing. Mengacu pada data World Giving Index 2021, bangsa ini adalah bangsa penderma. Masyarakat bangsa penolong. Itu tecermin dalam berkembangnya gerakan voluntarisme pada saat pandemi.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga relawan mengirimkan bantuan bahan makanan ke rumah salah satu warga yang menjalani isolasi mandiri akibat tertular virus Covid-19 di Desa Grabag, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (9/11/2020). Pengiriman bantuan tersebut bagian dari sistem Jogo Tonggo yang ditujukan agar masyarakat saling membantu pemenuhan kebutuhan tetangga mereka yang terkena dampak virus Covid-19.
Yang perlu mendapat perhatian justru pada trust publik kepada pejabat publik. Hasil jajak pendapat Kompas, 1 Agustus 2022, menyampaikan pesan keras yang perlu jadi perhatian. Sebagian besar pejabat publik belum mampu merawat kepercayaan masyarakat. Hampir 49,5 persen responden menilai pejabat publik tidak lagi amanah. Pelanggaran etika pejabat publik, penyalahgunaan kepentingan oleh pejabat publik, menjadi beberapa faktor yang bisa mendorong terjadinya krisis kepercayaan. Krisis gezag atau kewibawaan harus dihindari.
Kisruh di KPK yang digantung, perilaku menteri yang tidak membedakan posisi sebagai menteri dan ketua parpol, kian memicu sinisme publik kepada pejabat publik, ditambah tragedi Duren Tiga yang diberi nama ”polisi tembak polisi, di rumah polisi, diperiksa polisi, polisi dan CCTV ikut mati” kian membuat masygul bangsa ini. Beruntung kritik keras publik serta atensi dari Presiden Jokowi mendorong Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengambil langkah koreksi dengan mencopot Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dan perwira lainnya.
”Badai sempurna” yang sedang menyerang dunia bisa membuyarkan mimpi-mimpi soal Indonesia, apalagi jika perilaku pejabat publik kian kehilangan integritas pribadi, dengan menggadaikan nilai kejujuran, dibiarkan saja. Surat pembaca yang ditulis Eduard Lukman di Kompas, 2 Agustus 2022, perlu jadi perhatian. ”Jika sebuah negara mengalami krisis gezag, ketiadaan kewibawan gezag, muncullah kekacauan dan pengacauan, berkembanglah mentalitet berandalan yang seenaknya melakukan kejahatan.” Eduard Lukman mengutip pidato Soekarno tahun 1953.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Bendera Merah Putih berukuran 1.000 meter persegi berkibar di Menara TVRI, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Langkah korektif harus dilakukan. Pemulihan kewibawaan lembaga hukum mendesak agar lembaga penegak hukum tidak terus mengingkari prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Kereta tiba di Stasiun Tugu. Percakapan berhenti. Semoga mimpi Indonesia kian nyata.