Perlu ada terapi kejut untuk menghentikan korupsi di negeri ini. Penegakan hukum keras dengan menyita aset dan mengucilkan secara sosial para koruptor dibutuhkan untuk memberantas korupsi yang sudah menjadi endemis.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Matahari baru saja tenggelam. Saya baru saja tiba di Kampung Kopi Banaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, untuk menikmati senja sambil menyeruput kopi. Perjalanan dari Ambarawa menuju Banaran pada akhir pekan itu terasa lama. Di beberapa titik jalan, ada pesta rakyat, karnaval kemerdekaan. Dengan wajah gembira dan lugu serta penampilan seadanya, warga ikut karnaval kemerdekaan.
Saat perjalanan menuju Banaran, saya melihat seorang anak laki-laki berjualan air mineral seharga Rp 3.000. Ia membawa karton dengan tulisan tangan: Untuk biaya kuliah! Rasanya terenyuh. Di tengah gemerlapnya Ibu Kota merayakan kemerdekaan, masih ada warga ”mengemis” untuk menambah biaya kuliah.
Jika teks konstitusi dijalankan, jualan air mineral untuk biaya kuliah rasanya tak perlu terjadi. Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 tertera, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sementara dalam Ayat (4) ditulis, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Artinya, 20 persen anggaran negara dialokasikan untuk pendidikan.
Saya tinggalkan sejenak bayangan mahasiswa penjual air mineral. Alunan musik terdengar. Saya mencoba menikmati suasana malam. Dari kejauhan dan ketinggian tampak Rawa Pening dengan kelip-kelip lampu. Panorama malam itu indah. Banyak pengunjung menikmati malam. Kehidupan ekonomi kecil mulai menggeliat. ”Saat weekend bisa seribu orang datang,” ujar pekerja di tempat itu.
Pada saat ngobrol sambil menikmati malam, dua pesan Whatsapp masuk. Pesan pertama dari seorang dokter residen yang sedang mengambil spesialis di Yogyakarta. Ia mengirimkan tautan berita penangkapan Rektor Universitas Lampung Prof Karomani dan sejumlah pejabat universitas karena menerima suap dalam penerimaan mahasiswa baru. Kabarnya uang suap yang dikumpulkan mencapai miliaran rupiah. Saat rumah rektor Unila digeledah, KPK menemukan uang Rp 2,5 miliar dalam berbagai mata uang, seperti dollar AS dan dollar Singapura. Korupsi telah masuk kampus. Sangat menyedihkan.
Pesan Whatsapp kedua datang dari ekonom yang dekat dengan kekuasaan. Ia mencemaskan kondisi negeri. Ia khawatir dengan isu ketimpangan sosial, kemiskinan, ia juga mencemaskan politik identitas, tapi ia juga merisaukan soal keadilan hukum dan perilaku kekuasaan. Ia menulis, negeri ini tidak sedang baik-baik saja.
Suasana hati malam itu sedikit terganggu dengan pesan-pesan tersebut. Namun, ada juga berita ”hiburan” ketika ada cerita penembakan kucing di lingkungan Sekolah Komando TNI di Bandung. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ikut turun tangan memerintahkan penyelidikan.
Cerita korupsi masuk kampus sungguh memprihatinkan. Pendidikan telah menjadi industri. Biaya pendidikan begitu mahal. Uang kuliah dianggap sebagai investasi. Perhitungan balik modal jadi acuan. Akibatnya, untuk menjadi mahasiswa, mereka berani nyogok. Bahkan, korupsi dilakukan bersama-sama dengan pejabat teras universitas. Korupsi terbuka karena aturan membuka peluang terjadinya korupsi. Korupsi di universitas bukan karena kebutuhan, melainkan karena memang rakus.
Universitas adalah kekuatan moral yang selalu menjadi tempat masyarakat bertanya. Ketika kekuatan moral ini runtuh, maka kebangkrutan moral seperti di depan mata. Namun realitasnya, belum tampak gereget membenahi dunia perguruan tinggi. Tak juga terdengar suara elite negeri yang khawatir dengan soal masifnya korupsi yang telah masuk ke perguruan tinggi. Skandal korupsi kampus tak kuat melawan skandal Sambo yang bakal menjadi sejarah hitam bagi kepolisian. Kasus korupsi kampus lenyap perlahan dalam pemberitaan, padahal korupsi itu berpotensi menghancurkan fondasi kebangsaan.
Penangkapan Rektor Universitas Lampung Karomani mengindikasikan bahwa perilaku korupsi adalah komorbid bangsa ini. MA Uwe Dolata menyebut korupsi tidak hanya situatif dan struktural, tapi juga endemis. Korupsi tidak lagi terjadi karena dipaksa situasi tertentu, tetapi korupsi sudah menjadi endemis. Korupsi telah bersarang dalam batin orang, menjadi kegiatan bawah sadar yang tak bisa dikontrol oleh akal sehat. Korupsi sudah mewadah tidak hanya karena situasi dan struktur memungkinkan dan memaksanya, tetapi manusia sudah korup dari dalam batinnya. Itu tampak dari tiadanya perasaan bersalah dari para tersangka kasus korupsi.
Merenung di Kampung Kopi Banaran, saya terprovokasi penembakan kucing di lingkungan Sesko TNI. Pikiran saya pun liar dan berkelana mengapa ”penembakan” tidak diarahkan kepada koruptor yang memiskinkan negeri dan hasil korupnya digunakan untuk hidup hedonis. Boleh saja pikiran itu ditentang karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun, rasanya tetap perlu ada terapi kejut untuk menghentikan korupsi di negeri ini. Saya teringat pada Tajuk Rencana Kompas 14 September 1965 yang menulis, ”Soal pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah ’pembitjaraan lagi’ tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!”
Membaca itu, saya berpikir liar, mengapa yang ditembak kucing atau ajudan? Bukan koruptor? Ketika zaman berubah, penembakan harus berubah dengan penegakan hukum keras dengan menyita aset yang dimiliki, termasuk mengucilkan secara sosial, para koruptor itu.