Meningkatkan Pemakaian Produk Kesehatan Dalam Negeri
Pada tahun 2004, Kimia Farma berhasil memproduksi obat antiretroviral (ARV) untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Padahal, jumlah ODHA yang memerlukan ARV pada tahun tersebut baru sekitar 300 orang.
Pemerintah telah mengingatkan agar kita lebih banyak menggunakan produk dalam negeri, termasuk produk di bidang kesehatan. Anjuran ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kita serta mengurangi ketergantungan kita terhadap produk impor.
Pengalaman selama pandemi Covid-19 menunjukkan jika semua pihak bekerja sama, ternyata kita juga dapat menghasilkan produk kesehatan untuk keperluan masyarakat. Selama pandemi Covid-19 ini ternyata bukan hanya reagen untuk diagnostik atau obat, melainkan juga beberapa peralatan kedokteran, termasuk peralatan yang digunakan di ruang perawatan intensif dapat dihasilkan di dalam negeri.
Mutu dan harga produk kesehatan nasional kita harus mampu bersaing dengan produk luar negeri. Untuk itu diperlukan waktu dan kesabaran. Kita perlu memberi waktu pada produsen nasional.
Sebenarnya kita punya kesempatan besar untuk memajukan industri kesehatan di negeri kita. Jumlah populasi yang lebih dari 270 juta orang merupakan pasar yang besar.
Mutu produk dalam negeri mungkin belum sebaik produk luar negeri yang telah melalui penelitian yang sudah lama, tetapi telah memenuhi persyaratan untuk dapat digunakan. Kita perlu mendorong agar lembaga penelitian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, serta kementerian lain mempunyai satu visi memajukan industri kesehatan dalam negeri ini.
Latar belakang saya ekonomi karena itu saya kurang memahami bagaimana keadaan penelitian kedokteran di negeri kita. Apakah cukup maju dan dapat menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat kita?
Saya menyadari kebiasaan mengimpor produk kesehatan selama ini tidak mudah digantikan produk buatan kita sendiri. Masyarakat memerlukan waktu untuk percaya pada produk kesehatan dalam negeri. Kita menyaksikan bagaimana pada pandemi Covid-19 ini sebagian besar negara mengutamakan kepentingan negaranya sendiri.
Mereka baru mengekspor produk kesehatan yang diperlukan masyarakat internasional jika keperluan dalam negerinya sudah terpenuhi. Contoh yang mudah dilihat pada vaksin Covid-19. Negara-negara yang memerlukan vaksin Covid-19 harus memesan jauh-jauh hari agar mendapat jatah vaksin untuk rakyatnya. Jadi tidak saja masalah dana, tapi kita harus berkompetisi dengan negeri lain untuk memperoleh vaksin Covid-19.
Saya ingin menanyakan pada Dokter sejauh mana perkembangan vaksin Covid-19 buatan Indonesia yang dikenal dengan vaksin Merah Putih? Apakah penelitiannya sudah selesai? Bagaimana hasilnya?
Baca juga: Terus Dipacu Kehadiran Ekosistem di Industri Alat Kesehatan
Melihat kecenderungan penyakit Covid-19 ini, tampaknya kita belum akan cepat lepas dari kebutuhan vaksin Covid-19. Semula kita berharap dua kali suntikan sudah cukup, ternyata diperlukan suntikan ketiga (booster). Entah bagaimana di masa depan, apakah masih dibutuhkan suntikan keempat atau suntikan kelima.
Sejauh mana kebutuhan peralatan kedokteran dan kesehatan sudah dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri? Bagaimana cara untuk meningkatkan produksi produk kesehatan di Indonesia? Apa saja hambatan yang harus dihadapi? Mohon penjelasan Dokter. Semoga kemandirian kita di bidang kesehatan akan lebih dapat terwujud.
M di J
Sebenarnya cukup banyak produk kesehatan dan kedokteran yang sudah diproduksi di dalam negeri. Misalnya peralatan rumah sakit seperti tempat tidur, kursi roda, meja operasi, dan lain-lain. Kita memang belum memproduki peralatan kedokteran canggih seperti CT Scan, MRI, atau USG, tetapi kebutuhannya juga terbatas.
Di bidang farmasi sebagian besar obat yang ada di Indonesia diproduksi di Indonesia meski bahan bakunya pada umumnya masih diimpor. Bagaimana dengan reagen untuk diagnostik? Sebagian besar masih impor, tetapi sekarang sudah mulai banyak juga yang diproduksi di dalam negeri.
Industri kebutuhan kesehatan di negeri kita akan tumbuh dengan baik jika penyerapan hasil produksinya baik. Artinya, produk dalam negeri terpakai di masyarakat. Salah satu pembeli produk kesehatan terbesar ialah pemerintah.
Jika pemerintah berpihak pada produk dalam negeri, pertumbuhan industri kesehatan dalam negeri akan lebih cepat. Pengadaan barang keperluan pemerintah mempunyai aturan tersendiri. Ada proses lelang untuk mendapatkan harga yang paling terjangkau.
Baca juga: Kinerja Sektor Kesehatan Kian Meningkat di Tengah Pandemi
Saya melihat produk kesehatan di Kuba diutamakan untuk digunakan di semua rumah sakit pemerintah. Juga di Malaysia, dana anggaran pemerintah dibelanjakan terutama untuk produk dalam negeri. Jika kita juga lebih tegas dalam kebijakan ini, kesempatan untuk industri dalam negeri akan semakin besar.
Sebenarnya kita punya kesempatan besar untuk memajukan industri kesehatan di negeri kita. Jumlah populasi yang lebih dari 270 juta orang merupakan pasar yang besar. Banyak obat dan jamu yang dapat dikembangkan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat.
Sekarang masyarakat juga sudah mulai belajar memelihara kesehatan dengan mengukur sendiri berat badan dan tekanan darah. Di rumah tangga Indonesia kebutuhan timbangan berat badan, tensimeter, serta termometer akan semakin meningkat. Bahkan, untuk penyakit kronik seperti diabetes melitus juga diperlukan alat pengukur gula darah mandiri. Jadi kebutuhan cukup besar.
Kebutuhan kita juga tinggi di bidang imunisasi. Sekitar 4 juta-5 juta bayi lahir setiap tahun dan bayi serta anak memerlukan imunisasi. Untunglah Biofarma sudah lama menyiapkan vaksin untuk kebutuhan masyarakat kita.
Hampir semua vaksin yang digunakan dalam program imunisasi nasional (biaya pemerintah) diproduksi penuh atau sebagian oleh Biofarma. Bahkan, kita juga dapat merasa bangga karena sekitar 70 persen produk vaksin Biofarma diekspor ke sejumlah negara. Dalam bidang produksi vaksin, Indonesia merupakan negara yang diharapkan oleh WHO.
Pemikiran jauh ke depan
Uji klinik vaksin Merah Putih sudah hampir selesai. Semoga dalam waktu dekat kita akan dapat mengetahui hasil uji klinik tersebut.
Baca juga: Universitas Airlangga Ajukan Vaksin Merah Putih Juga untuk Penguat
Produk apa saja yang masih mungkin untuk dikembangkan? Para peneliti di universitas dan lembaga penelitian telah banyak meneliti alat dan bahan kimia yang diperlukan oleh masyarakat.
Alat inkubator untuk memanaskan bayi yang lahir prematur dikembangkan oleh Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Alat ini lebih sederhana, tetapi fungsinya baik serta digunakan dengan fasilitas yang sederhana. Bahkan, sekarang alat ini bisa dipinjamkan kepada keluarga yang tak mampu membelinya.
Di rumah sakit, baik di ruang perawatan intensif maupun ruang gawat darurat banyak kita lihat monitor, misalnya monitor jantung. Alat monitor ini juga seharusnya dapat kita produksi sendiri, tak perlu memakai produk impor. Para pakar kedokteran dapat duduk bersama dengan pakar elektronik kita untuk membuat alat yang diperlukan.
Pada tahun 2004, Kimia Farma berhasil memproduksi obat antiretroviral (ARV) untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Saya masih ingat jumlah ODHA yang memerlukan ARV pada tahun tersebut baru sekitar 300 orang. Jadi, produksi obat ini secara perhitungan ekonomi akan rugi.
Namun, Bapak Gunawan Pranoto, Dirut Kimia Farma pada waktu itu, berpikiran jauh ke depan. Sekarang yang menggunakan obat ARV di negeri kita sudah sekitar 150.000 orang dan ODHA akan menggunakannya dalam jangka panjang. Jika dulu hanya Kimia Farma yang memproduksi, sekarang sudah ada tiga pabrik obat nasional yang memproduksinya.
Baca juga: Jaminan Pengobatan untuk Penanganan HIV
Obat ARV produk dalam negeri lebih mahal daripada jika kita membeli dari lembaga internasional. Jika kita membeli dari lembaga internasional, obat tersebut diberlakukan sebagai donasi jadi tak perlu bea impor. Namun, di masa depan kita harus mandiri sehingga keberadaan obat ARV tak bergantung pada impor.
Nah, pandangan yang lebih jauh ke depan inilah yang perlu kita kembangkan. Semoga anjuran pemerintah akan dapat menumbuhkan industri kesehatan dalam negeri kita.