Pemerintah harus lebih mengoptimalkan pelayanan kesehatan untuk orang dengan HIV, baik tes, konseling, maupun pengobatan dan terapi.
Oleh
Agustina Purwanti
·5 menit baca
Di masa pandemi, penularan kasus HIV masih terus terjadi. Upaya eliminasi HIV/AIDS menghadapi kendala akses pengobatan bagi orang dengan HIV. Perlu jaminan layanan pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS dan edukasi bahaya penularan untuk menghambat penambahan kasusnya.
Perlunya jaminan pengobatan dan sosialisasi bahaya penularan HIV/AIDS di Indonesia tergambar dari opini publik dalam jajak pendapat 21-25 Juli 2021. Bagian terbesar responden (45 persen) menyatakan bahwa tersedianya perawatan dan pengobatan yang memadai menjadi hal utama yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Belum optimalnya fasilitas perawatan tersebut juga terlihat dari data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan. Dari 13.058 puskesmas dan rumah sakit yang ada di Indonesia, baru tiga perempatnya yang memberikan pelayanan konseling dan tes. Sementara hanya 12,9 persen yang melayani pengobatan antiretroviral (ARV).
Kondisi ini menggambarkan belum semua fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang memadai, khususnya untuk pengobatan. Padahal, obat ARV sangat dibutuhkan oleh orang dengan HIV untuk bisa bertahan dan hidup lebih sehat. Dengan pengobatan tersebut, penularan HIV diharapkan bisa ditekan.
Penyediaan fasilitas kesehatan untuk pelayanan HIV menjadi semakin mendesak di tengah pandemi. Responden juga menilai paparan virus korona yang makin masif saat ini juga mengintai orang dengan HIV. Data Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan, dalam satu pekan terakhir, rata-rata ada penambahan 41.290 kasus baru per hari dengan positivity rate mingguan mencapai 26,43 persen, di mana angka tersebut melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pandemi yang diikuti kebijakan pembatasan mobilitas dan bergesernya fokus layanan kesehatan untuk menangani wabah korona juga membuat layanan pengobatan HIV menjadi terganggu. Merujuk data dari Kementerian Kesehatan, sepanjang 2020 ada 72.133 dari 215.039 orang dengan HIV yang putus menjalani pengobatan.
Kendala pengobatan tersebut berpotensi menghambat laju penanganan kasus HIV/AID di Tanah Air. Terlebih di masa pandemi ini, kasus penularan terus terjadi. Pada 2020, terdapat penambahan 41.987 kasus baru HIV. Walau menurun dibandingkan dengan 2019, penambahan kasus baru tersebut tidak lebih baik kondisinya dibandingkan dengan 2011 hingga 2016.
Penambahan kasus baru tersebut boleh jadi karena terkendalanya akses pengobatan selama pandemi. Selama ini, pengobatan antiretroviral dilakukan untuk menekan jumlah virus HIV yang ada di dalam tubuh dan menjaga kekebalan tubuh. Pengobatan tersebut juga mengurangi risiko penularan virus ke orang lain.
Edukasi
Masih masifnya penularan HIV juga menjadi refleksi terhadap sosialisasi bahaya HIV bagi masyarakat. Tiga dari 10 responden jajak pendapat menyatakan bahwa edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga perlu diprioritaskan. Hal ini diperlukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang sama tentang pencegahan dan penularan HIV.
Kendati sebagian besar responden (66 persen) memahami apa itu HIV dan AIDS, masih terdapat responden yang keliru dalam memahami virus tersebut. Bahkan, dua dari 10 responden berterus terang bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang HIV dan AIDS.
Sebagaimana pemahaman tentang HIV dan AIDS, pendapat responden tentang cara penularannya pun beragam. Setidaknya masih ada 9 persen responden yang menilai bahwa cara penularan HIV sama dengan penularan virus korona yang tengah melanda saat ini. Mereka mengatakan bahwa hanya dengan berjabat tangan dapat menularkan virus HIV atau bahkan melalui keringat.
Padahal, HIV hanya dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang berisiko, berbagi jarum suntik dengan orang yang terpapar virus HIV, dan tranfusi darah yang mengandung HIV. Penularan juga dapat terjadi dari ibu hamil ke bayinya jika sang ibu terpapar HIV.
Kurangnya pemahaman tersebut dapat menjadi kendala dalam penanganan kasus HIV. Sebab, perilaku yang berpotensi menularkan HIV boleh jadi terus dilakukan. Akibatnya, virus akan semakin menyebar luas dan semakin sulit ditangani.
Selain itu, kurangnya pemahaman juga dapat berujung pada stigma negatif dan diskriminasi pada orang dengan HIV (ODHIV) dan orang dengan AIDS (ODHA). Hasil jajak pendapat juga menemukan, masih terdapat 38 persen responden yang enggan beraktivitas, seperti bekerja, sekolah, dan bergaul dengan orang yang terpapar HIV.
Kendati lebih dari separuh responden menerimanya, sikap penolakan yang masih terjadi dapat berakibat fatal. Sejumlah studi menunjukkan, diskriminasi terhadap ODHIV membuat mereka menyembunyikan status HIV positifnya dan malu untuk memeriksakan kesehatannya.
Akibatnya, pengobatan menjadi terganggu yang dapat berujung pada meningkatnya risiko kematian akibat penyakit tersebut. Status HIV yang disembunyikan juga berpotensi pada penyebaran virus yang semakin meluas jika dibarengi dengan perilaku berisiko dan tanpa pencegahan.
Milenial
Mencermati hasil jajak pendapat Kompas, pemberian sosialisasi dan edukasi tentang HIV dan AIDS, khususnya bagi kaum milenial, sangat diperlukan. Dari 190 responden kelompok milenial, 28 persen di antaranya menyatakan ketidaktahuan mereka tentang apa itu HIV/AIDS dan cara penularannya.
Minimnya pengetahuan kaum milenial akan bahaya penularan HIV menarik dicermati, mengingat kasus HIV dan AIDS pada kelompok milenial cukup tinggi. Merujuk laporan triwulan-IV 2020 yang disusun oleh Kemenkes, kasus HIV pada 2020 didominasi oleh kelompok usia 25-49 tahun, di mana sebagian besar dari mereka adalah kelompok milenial.
Pola yang sama terjadi pada kasus AIDS. Sepanjang Oktober hingga Desember 2020, dua pertiga dari kasus AIDS yang ditemukan berasal dari kelompok usia 20-39 tahun.
Situasi tersebut menjadi alarm pentingnya edukasi dan sosialisasi tentang HIV dan AIDS sejak dini. Sebab, kasus HIV dan AIDS pada milenial berpotensi membuat penyebaran virus semakin tinggi, mengingat dapat menularnya virus tersebut dari sang ibu, dan total kasus HIV perempuan menyumbang sepertiganya.
Untuk mengatasi fakta tersebut, dibutuhkan kerja sama dari semua pihak agar HIV dan AIDS dapat segera diminimalkan. Pemerintah harus mengoptimalkan pelayanan kesehatan untuk orang dengan HIV dan orang dengan AIDS, baik tes, konseling, maupun pengobatan dan terapi. (LITBANG KOMPAS)