Indeks harga konsumen menunjukkan angka inflasi Juli 2022 merata di 90 kota. Walakin, kepemimpinan cerdas dari pengelola kota dapat menumpulkan ketajaman guncangan inflasi sehingga masyarakat tak akan terlalu terdampak.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Pada 1 Agustus lalu, Indeks Harga Konsumen Juli 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik menunjukkan, 90 kota di Indonesia serempak mengalami inflasi. Sebelumnya, pada Juni, kenaikan harga terjadi di 85 kota, sedangkan lima kota lainnya deflasi. Kenaikan harga terjadi pada 11 kelompok pengeluaran, termasuk makanan, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, dan transportasi.
Di Ibu Kota, BPS DKI Jakarta menyebutkan, inflasi Juli lalu menjadi 0,57 persen. Jika dibandingkan dengan Juli 2021, kenaikan inflasi Juli tahun ini sampai 3,50 persen. Angka nasional dari tahun ke tahun mencapai 4,94 persen.
Sebagai contoh perbandingan umum, jika tahun lalu dengan uang Rp 100.000 bisa mendapatkan bahan pokok tertentu, saat ini untuk barang yang sama di Jakarta ada kenaikan 3,5 persen atau Rp 103.500. Jika memakai patokan angka nasional, menjadi Rp 104.940. Di lapangan, tentu kenaikan harga terjadi jauh lebih bervariasi.
Inflasi di DKI ataupun angka secara nasional memang masih di bawah 5 persen yang dikategorikan masih aman. Namun, kecenderungan kenaikan inflasi dari bulan ke bulan dan dibandingkan dengan tahun sebelumnya tetap menjadi alarm bagi masyarakat ataupun pengelola kota agar lebih dini mengantisipasi dampaknya.
Pemerintah kota tidak bisa sepenuhnya menghindari guncangan nasional akibat inflasi. Walakin, kepemimpinan cerdas dari pengelola kota dapat menumpulkan ketajaman guncangan sehingga masyarakat tidak akan terlalu menanggung risiko besar dari kenaikan harga konsumsi.
Apalagi, saat ini ada beberapa negara yang tengah mengalami inflasi luar biasa dan berpotensi berujung pada krisis ekonomi. Di Inggris, misalnya, laporan BBC menyatakan, kenaikan harga barang konsumsi di sana mencapai yang tertinggi dan tercepat dalam 40 tahun terakhir. Dibandingkan dengan Mei 2020, inflasi Inggris pada Juli 2022 naik 10 persen.
BBC menyebutkan, banyak pemicu kenaikan harga di sana. Perang Ukraina-Rusia disebut turut memengaruhi inflasi Inggris karena mengganggu pasokan gandum dan harga bahan bakar minyak. Namun, secara umum memang telah terjadi peningkatan biaya energi, kekurangan barang dan material, serta dampak dari pandemi Covid-19 yang menghantam selama 2020-2021 dan belum benar-benar usai pada tahun ini.
Kondisi di luar negeri tersebut bakal berdampak atau tidak ke Indonesia, tentu banyak faktor yang memengaruhinya. Akan tetapi, terkait isu biaya energi, pasokan barang dan material, juga dampak pandemi, sama-sama melanda Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari, kenaikan harga sebagian bahan konsumsi sudah dirasakan masyarakat. Kontraktor bangunan, misalnya, berharap berbagai proyek renovasi ataupun pembangunan hunian dapat berjalan sesuai target selesai di akhir tahun ini sebelum pasar berubah dan harga bahan bangunan melonjak.
Di tingkat rumah tangga, harga mi instan, cabai, telur, sampai minyak goreng masih dirasakan belum sepenuhnya stabil. Harga mi instan yang sempat ramai disebut akan naik hingga tiga kali lipat membuat banyak kalangan ketar-ketir. Saat isu itu habis-habisan ditepis, di pasaran terbukti harga mi instan sudah perlahan naik sepanjang satu tahun terakhir berkisar Rp 500–Rp 1.000 per bungkus.
Inflasi sebenarnya bukan hal yang mengerikan selama diimbangi dengan kenaikan pendapatan, juga adanya berbagai program insentif lain dari pemerintah, seperti biaya kesehatan dan pendidikan gratis hingga bantuan bahan makanan bagi warga yang membutuhkan. Akan tetapi, jika dibiarkan terus tak terkendali, daya beli akan semakin turun dan ekonomi pun tertahan, yang mengungkit dikhawatirkan angka kemiskinan bakal bertambah.
Catatan City Journal dalam ”Inflation and the City” menyatakan, pemerintah kota tidak bisa sepenuhnya menghindari guncangan nasional akibat inflasi. Walakin, kepemimpinan cerdas dari pengelola kota dapat menumpulkan ketajaman guncangan sehingga masyarakat tidak akan terlalu menanggung risiko besar dari kenaikan harga konsumsi.
Mengambil contoh kasus di New York, Amerika Serikat, City Journal menuliskan bahwa inflasi dan deflasi mengakrabi kota itu sejak bertahun-tahun silam. Krisis ekonomi hingga resesi juga bukan barang baru.
Upaya yang pasti akan dilakukan adalah memastikan uang tetap mengalir di kota tersebut dari berutang sampai investasi. Bagaimana pemerintah kota meyakinkan kotanya mendapat kucuran utang hingga tetap menarik bagi investor menanamkan modalnya, mau tidak mau harus dilakukan. Transparansi anggaran, birokrasi, hingga urusan perizinan lagi-lagi ditantang benar-benar diwujudkan. Keberadaan investasi berarti proyek pembangunan berjalan dan sejumlah pekerjaan tetap dipertahankan walau kenaikan upah atau gaji mungkin tidak terjadi.
Namun, melihat New York antara krisis 1970 sampai krisis 2008, inflasi bukan satu-satunya penyebab penurunan berbagai hal di New York. Kota tersebut, dari penelusuran City Journal, menderita akibat destabilisasi yang disebabkan kelas menengah merangsek ke pinggiran kota, sistem transportasi publik tidak memadai, juga meroketnya kejahatan, terutama karena ketimpangan ekonomi di antara sesama warganya.
Lebih dari satu dekade kemudian, seiring pandemi Covid-19 yang disusul perang Ukraina-Rusia serta ketidakharmonisan hubungan dengan China, inflasi dan krisis kembali menghantui AS dengan New York dan banyak kota lain di negara itu. Ancaman krisis atau resesi pun turut menyebar ke banyak negara lain.
Berbagai cara diyakini akan dilakukan untuk membendung krisis dengan membuat alat tukar berupa uang kartal mudah didapat, termasuk menurunkan hingga meniadakan bunga pinjaman di bank sampai memperpanjang lama kredit. Berhasilkah cara itu? Proses masih berlangsung dan terlalu dini untuk menjawabnya. Yang pasti, jika krisis energi berlanjut dan pasokan bahan pangan terganggu, uang seberapa pun tidak akan mampu menyelesaikan masalah.
Di sisi lain, berkaca pada tuntutan dunia saat ini untuk memastikan kehidupan 7 miliar lebih penduduknya, pembangunan berkelanjutan terus didengungkan agar benar-benar diwujudkan, bukan sekadar membuat uang tetap tersedia. Pembangunan jaringan angkutan umum, pengadaan dan penataan kawasan hunian layak terjangkau, pemenuhan air bersih dan bahan pangan sehat ramah lingkungan adalah sebagian program penting yang jitu melawan inflasi berikut semua ancaman penurunan kualitas perkotaan.
Keberpihakan pemerintah dan pengelola kota menjalankan program-program berkelanjutan, di antaranya yang bertajuk ekonomi hijau seperti ekonomi sirkular, sudah saatnya diwujudnyatakan dan dihidupi. Keberhasilan menerapkan pembangunan berkelanjutan di level perkotaan sedikit banyak turut mengungkit resiliensi warganya menghadapi situasi yang tak mudah.