Horor Pelecehan Seksual Menahun di Angkutan Umum
Pelecehan seksual di angkutan umum terjadi selama berpuluh tahun. Tiap kota juga negara berbeda keberpihakannya terhadap para korban. Produktivitas kota pun terhambat jika semakin banyak korban trauma dan menutup diri.
Pelecehan hingga kekerasan seksual di transportasi publik, seperti kereta komuter ataupun bus dan angkutan kota lainnya, terjadi berulang sejak bertahun-tahun silam di banyak kawasan di dunia. Dari pemberitaan Kompas, pada 2011 lalu seorang perempuan diperkosa saat naik mikrolet di Jalan Raya Bogor. Lebih dari satu dekade berlalu, kasus serupa masih terjadi di Jakarta dan sekitarnya, termasuk pelecehan di kereta komuter.
Salah satu rekaman yang beredar luas pada Juli ini dan membuat geram warganet adalah seorang pria mendekati perempuan penumpang KRL Jabodetabek yang tengah tertidur. Pelaku lalu mengeluarkan alat vitalnya dan mencoba menempelkan ke korban. Juni lalu, pelecehan juga menimpa perempuan penumpang kereta api jarak jauh.
Bus Transjakarta dan moda angkutan umum lain pun tak steril dari kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual. Kejadian tersebut selama ini memang lebih banyak menimpa perempuan.
Pada 2019 sebelum Covid-19 merebak, Koalisi Publik Ruang Aman (KPRA) memublikasikan hasil surveinya di 34 provinsi dengan 70 persen lebih responden di kawasan perkotaan. KPRA merilis, di antaranya ada tiga lokasi yang paling banyak terjadi pelecehan, yaitu di jalanan umum (33 persen), transportasi umum termasuk halte (19 persen), serta sekolah dan kampus (15 persen). Selanjutnya, lima transportasi umum yang paling banyak terjadi kasus pelecehan, ada di bus, angkot, KRL, ojek atau taksi daring, serta ojek atau taksi konvensional.
Baca juga : ”Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga
Dari survei yang sama terungkap fakta tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Mirisnya, setiap satu dari dua perempuan menjadi korban pelecehan di bawah usia 16 tahun. Sebanyak 5 dari 10 perempuan atau separuhnya pernah dilecehkan di angkutan umum. Pelecehan lebih banyak terjadi pada siang hari dibandingkan waktu lainnya.
Masih dari survei KPRA, bentuk pelecehan yang paling sering dialami adalah pelecehan verbal (60 persen) seperti komentar atas tubuh, siulan, klakson, suara kecupan atau ciuman, komentar rasis atau seksis, komentar seksual, hingga didekati terus. Kemudian pelecehan Fisik (24 persen), yaitu disentuh, dihadang, digesek, dikuntit, diintip, juga difoto. Terakhir, pelecehan visual (15 persen) dengan main mata, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi, diperlihatkan kelamin.
Meskipun dinilai jarang terjadi, tetapi pelecehan seksual di ruang publik, termasuk di transportasi umum, bisa berujung dengan kekerasan seksual atau pemerkosaan. Kasus-kasus pemerkosaan di tempat umum di India adalah contoh yang menggemparkan publik global.
Studi Romit Chowdhury tentang pelecehan seksual di kereta komuter di Tokyo, Jepang, menunjukkan, perempuan pengguna kereta bisa berkali-kali selama berpuluh tahun menjadi korban pelecehan seksual.
Dampak jangka panjang mengindikasikan adanya trauma mendalam dan berbahaya bagi individu. Responden kemudian melakukan pembatasan aktivitas, seperti tidak keluar malam atau berjalan sendiri dan mengubah rutinitas, mengubah metode bertransportasi, dan terjadi pula perubahan perilaku, bahkan sampai menutup diri. Semakin banyak orang mengalami hal tersebut tidak saja merugikan individu, tetapi juga dapat berpengaruh kepada produktivitas suatu kota dan negara secara umum.
Kasus pelecehan seksual di tempat umum tersebut lantas meredup selama masa pembatasan kegiatan masyarakat terkait pengendalian pandemi. Namun, seiring pelonggaran aktivitas serta menurunnya angka penularan Covid-19, kasus demi kasus kembali bermunculan.
Faktor pemicu
Banyak alasan mengapa para predator seksual ini menyasar korbannya di angkutan umum. Satu di antaranya, angkutan umum dengan halte dan stasiun dipenuhi orang yang tak saling kenal. Pelaku mudah turun di halte atau stasiun terdekat lantas menghilang.
Bagi sebagian orang, termasuk aparat penegak hukum, pelecehan seksual dianggap bukan hal besar. Bahkan, dinilai sekadar iseng tak berbahaya. Akibatnya, para pelaku yang tertangkap basah bisa dengan mudah melenggang pergi seolah tak terjadi apa pun.
Dari sisi korban, secara psikologis ketika mengalami pelecehan sering kali memunculkan ketakutan, tidak berdaya, tidak mampu bergerak atau bereaksi, kemudian muncul pula rasa bersalah, malu, dan tidak terlindungi. Di masa sekarang, sebagian orang yang melihat pelecehan seksual di kereta komuter atau bus pun belum sepenuhnya dapat bereaksi dengan tepat, seperti melindungi korban atau menegur pelaku. Alih-alih, saksi memilih merekamnya diam-diam dan meramaikannya di media sosial.
Di luar itu, kasus di ruang publik termasuk di angkutan umum diyakini juga dilatari pola pikir atau budaya setempat. Sebagian masyarakat Indonesia, bahkan yang hidup di kota besar, masih menganggap perempuan yang bepergian sendirian atau tanpa didampingi laki-laki di ruang publik sebagai sosok lemah, bahkan murahan, sehingga dapat melakukan apa saja terhadapnya.
Sebagai pembanding, studi Romit Chowdhury tentang pelecehan seksual di kereta komuter di Tokyo, Jepang, menunjukkan, perempuan pengguna kereta bisa berkali-kali dalam berpuluh tahun menjadi korban pelecehan seksual. Salah satu subyek riset peneliti dari Erasmus University College, Rotterdam, Belanda, itu seorang perempuan berusia 70-an tahun.
Subyek itu mengalami pelecehan seksual di kereta komuter sejak remaja hingga ia berusia 40-an tahun. Pelecehan sering terjadi kala ia masih sangat muda dan makin jarang sampai akhirnya berhenti ketika ia kian berumur. Kini, setiap kali naik kereta komuter, ia lega, tetapi prihatin melihat banyak perempuan muda yang mungkin mengalami apa yang dulu ia alami.
Baca juga : ”Citayam Fashion Week” di Bawah Bayang-bayang Harajuku dan La Sape
Riset Chowdhury yang dipublikasikan pada Maret 2022 itu mengungkapkan para pelaku pelecehan di kereta komuter Jepang pada umumnya pria pekerja. Di Jepang, pria dewasa pekerja kelas menengah disebut selalu tertekan. Mereka tertekan karena tidak bebas berbicara dan menyalurkan hasrat seksnya, juga karena tertekan di lingkungan pekerjaannya.
Budaya mereka, yang juga dianut sebagian besar bangsa Asia, adalah bahwa segala sesuatu tentang seks adalah tabu, termasuk keinginan atau hasrat seksual. Di samping itu, sebagai pendukung budaya patriarki yang juga senada dengan banyak bangsa Asia lainnya, laki-laki ditempatkan lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan perempuan, apalagi anak-anak.
Budaya yang terpatri kuat mendapat ”lawannya” ketika Jepang semakin maju dan banyak perempuan berkarier di luar rumah yang menambah tekanan bagi eksistensi pria berkuasa. Satu-satunya pihak yang dikategorikan masih di ”bawah kaki” mereka adalah remaja usia sekolah, terutama remaja putri. Tak heran jika di Jepang berkembang manga, anime, musik, maupun film yang menempatkan remaja berseragam sekolah identik dengan sosok nan seksi.
Di antara rumah, transportasi publik, dan tempat kerja, angkutan umum yang digunakan oleh sebagian besar warga kota memberi ruang besar bagi para pria Jepang untuk melepas stres dan menuntaskan fantasi seksual dengan perempuan muda yang lemah.
Aturan dan sanksi
Jepang sempat dinilai lambat bertindak menelurkan kebijakan pro-perlindungan perempuan di tempat kerja dan ruang publik. Istilah pelecehan seksual (sekushuaru harasumento) pertama kali digunakan di Jepang pada akhir 1980-an, tetapi seperti dikutip Chowdhury dari Huen (2007), larangan pelecehan seksual baru diatur dalam undang-undang tahun 1997.
Sekitar 12 tahun kemudian, pada 2009, kamera anti-pelecehan dipasang di kereta Tokyo. Chowdhury mendapat data dari BBC bahwa pada tahun itu juga ada 6.000 pria ditangkap karena dugaan penyerangan atau pelecehan seksual dengan bukti rekaman video.
Perang melawan pelecehan seksual makin gencar seiring kemajuan teknologi. Polisi Metropolitan Tokyo membuat aplikasi ponsel pintar yang akan berteriak ”Hentikan!” dan memancarkan pesan, ”Ada penganiaya. Tolong bantu.” Perangkat lainnya, seperti disalin dari CNN oleh Chowdhury, memungkinkan penggunanya menandai penyerang mereka dengan stempel tinta tak terlihat yang bisa dipindai oleh alat tertentu.
Baca juga: Suatu Hari yang Sibuk di Glodok Pancoran
Sebuah situs web bernama Chikan Radar turut dirancang untuk mendata insiden pelecehan di area jalur penumpang di semua jaringan kereta komuter. Pada 2020, perusahaan kereta api di Jepang, JR East, merancang aplikasi yang memungkinkan korban pelecehan di dalam kereta untuk mengirimkan pemberitahuan kepada kondektur kereta.
Meskipun sampai saat ini pelecehan seksual di angkutan publik belum dapat benar-benar dihilangkan, dengan adanya undang-undang yang semakin pro-perlindungan perempuan diiringi penggunaan teknologi serta sanksi tegas bagi para pelaku, Tokyo dan Jepang secara umum berangsur masuk kategori aman bagi perempuan.
Jakarta yang menjadi kota satu-satunya di Indonesia dengan jaringan angkutan umum luas serta telah pula digunakan secara masif oleh penduduknya bisa mencontoh upaya sesama kota metropolitan tersebut.
Salah satu sosok pelaku pelecehan yang kerap beroperasi di berbagai jalur kereta komuter Jabodetabek adalah seorang laki-laki yang selalu tampil dengan jas safari putih dan celana senada, mengenakan topi dan kacamata hitam. Meski telah banyak direkam dan diedarkan di media sosial, sosok itu beberapa kali dilaporkan warganet masih dijumpai di dalam kereta dan tak gentar melecehkan penumpang lain secara seksual.
Kesigapan petugas memproses informasi kasus yang masuk, penegakan hukum, serta kemauan sesama penumpang untuk berani beraksi bersuara kala pelecehan terjadi sangatlah dibutuhkan untuk memutus rantai kejadian berulang tersebut. Sesuatu yang bisa dan sangat penting untuk diwujudkan.
Baca juga: Catatan Urban