Di antara rumah dan tempat kerja, ada ruang ketiga. Segala beban dan kekhawatiran berubah menjadi senang di sana. Taman kota, kafe di sudut jalan, atau lesehan di emperan toko, ruang ketiga adalah jantung vitalitas kota.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Hidup di kota besar yang selalu bergegas, sibuk, macet, dan riuh, kaum urban pun mendambakan ruang-ruang alternatif. Ruang tempat mereka bisa terbebas dari segala tekanan dari rutinitas di rumah maupun tempat kerja, walau untuk sesaat saja.
Jutaan warga Jabodetabek termasuk kaum urban yang selalu membutuhkan ruang alternatif tersebut. Mereka sudah sejak lama mengikuti pola bekerja di Ibu Kota, tetapi tinggal di kota tetangga. Setiap hari mereka harus menempuh belasan hingga puluhan kilometer yang bisa dalam hitungan jam untuk pergi pulang ke tempat kerja maupun ke kampus atau sekolah. Setiap kali jam berkegiatan usai, jalanan sesak oleh antrean kendaraan pribadi, kereta komuter terisi penuh, dan bus-bus kota padat.
Kebiasaan tersebut sempat hilang selama hampir dua tahun pandemi, tetapi kini kembali mengakrabi Ibu Kota dan sekitarnya. Kebiasaan lama kaum urban pun muncul lagi. Kebiasaan itu tak lain nongkrong seusai berkegiatan berjam-jam yang menguras energi maupun pikiran. Setiap orang punya tempat hang-out favoritnya.
Ray Oldenburg menyebut tempat nongkrong itu sebagai ruang ketiga. Ruang ketiga menjadi penyeimbang antara ruang pertama, yaitu tempat tinggal, dan ruang kedua, yaitu tempat kerja. Sosiolog urban asal Amerika Serikat tersebut mencetuskan gagasannya tentang ruang ketiga dalam rentetan laporan sejak 1989 sampai 2018. The Great Good Place dan Celebrating the Third Place adalah dua di antara buku-bukunya yang mengulas ruang ketiga.
Temuan Oldenburg, ruang ketiga umumnya tempat netral di mana orang dapat berkumpul dan berinteraksi. Ruang spesial ini menjadi tuan rumah pertemuan antarindividu yang terjadi secara sukarela, informal, dan selalu dilakukan dengan rasa riang hati. Di AS maupun negara-negara Barat, bar, pub, kedai kopi sampai kantor pos, trotoar, tempat pangkas rambut, layanan semir sepatu di emperan toko, juga ruang-ruang bermain di tengah permukiman adalah jantung vitalitas sosial suatu komunitas.
Ruang ketiga memanusiakan manusia dengan memahami sekaligus memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia untuk berkumpul serta berekspresi. (Ray Oldenburg)
Di belahan Bumi yang lain seperti di kota-kota di Indonesia, sejak lama dikenal warung atau tempat makan favorit yang biasa buka sore hingga malam hari. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, misalnya, warganya punya kebiasaan asyik menikmati malam di lapak lesehan penyuguh teh poci.
Keakraban antara pelanggan warung dan pemilik menjadi salah satu penanda ruang ketiga. Janji temu dengan kawan biasa dilakukan di sana. Antarpelanggan saling tahu, kenal, dan akrab setelah sering bertemu di tempat yang sama adalah hal yang biasa terjadi.
Coba saja melihat kebiasaan diri sendiri atau yang terjadi di sekitar kita. Mudah sebenarnya mengenali ruang ketiga itu berada. Penggunaan pos ronda yang cair untuk tempat berkumpul di permukiman pun bisa masuk kategori tersebut.
Jika dulu hanya kaum lelaki yang mendominasi ruang ketiga, kini kaum perempuan turut meramaikannya. Jika dulu ruang ketiga identik dengan tempat di sepanjang kanan atau kiri trotoar yang mengapit jalan besar, sekarang tepian jalan atau trotoar tetap jadi favorit bersama ledakan tren kedai kopi di mana-mana juga pusat belanja modern alias mal menjamur.
Kota-kota mempercantik dan menata kawasannya dengan membangun jaringan layanan angkutan umum serta menambah ruang terbuka publik. Trotoar yang bertahap diperlebar, diteduhi pohon, nyaman ditapaki oleh siapa saja adalah bagian vital dari sistem transportasi publik. Trotoar menyambungkan semua moda dan tempat tujuan.
Di sinilah tanpa sengaja ruang ketiga bertumbuh. Tak sekadar bagian dari jaringan transportasi publik, trotoar juga menjadi tempat tepat untuk merelakan diri berada di udara terbuka membaur dengan siapa saja di sana.
Kesumpekan berjam-jam di kantor yang tertutup terobati dengan hanya berjalan beberapa menit di trotoar kala menuju halte atau stasiun. Makin lega rasanya jika sempat mampir ke taman publik terdekat, ke kedai kopi, warung langganan, ngadem di mal yang ramah pejalan kaki, atau sekadar duduk di kursi-kursi yang tersedia di jalur pejalan kaki menikmati senja dan berbagai mural atau seni jalanan lainnya sembari menyesap kopi dari pedagang keliling.
Oldenburg menyatakan, ruang ketiga menyediakan dasar agar demokrasi berfungsi, ruang-ruang ini mempromosikan kesetaraan sosial dengan menyamakan status tamu, menyediakan pengaturan untuk politik akar rumput, menciptakan kebiasaan asosiasi publik atau mempertemukan antarwarga yang tak saling kenal, dan secara tak sengaja menawarkan dukungan psikologis kepada individu maupun komunitas. Ruang ketiga memanusiakan manusia dengan memahami sekaligus memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia untuk berkumpul serta berekspresi.
Dilema kemudian muncul ketika ruang-ruang ketiga diendus para pemilik modal, yang kemudian menjadikannya pusat area komersial yang semata berupaya menggenjot keuntungan bukan ruang sosialisasi, apalagi ruang ekspresi dan aktualisasi diri.
Lagi-lagi, kasus Citayam Fashion Week, yang berawal di ruang publik di kawasan berorientasi transit Dukuh Atas di Jakarta Pusat, menarik dicermati. Ketika kini sebagian aktivitas ekspresif kaum muda yang diinisiasi warga pelosok kota tetangga Jakarta itu dipindahkan ke kawasan Kuningan di Jakarta Selatan dengan campur tangan kuat para pemilik modal, apakah ruang inklusif dan ajang praktik demokrasi yang memicu rasa santai, rileks, dan bersahabat itu tercipta pula di tempat baru?
Layaknya kota dan para pendukungnya yang selalu dinamis, ruang ketiga akan selalu muncul lagi dan lagi, menawarkan kehangatan yang merebut tempat istimewa di hati banyak orang, sampai suatu ketika ada perubahan menyentuhnya. Di sinilah peran pengelola dan segenap penghuni kota diperlukan untuk konsisten memegang kendali penataan kota yang memberi keseimbangan akses bagi semua warga urban.