Kerahasiaan Identitas Korban Tindak Pidana
Sesungguhnya, pengungkapan ke publik identitas korban kekerasan seksual mempunyai risiko negatif yang tidak ringan. Jika korban tidak sehat secara psikologis dan proses hukum tetap jalan, keadilan akan lenyap.
Beberapa waktu lalu publik dibanjiri pemberitaan dan siaran yang mengungkap secara gamblang identitas korban kekerasan seksual.
Terkait dugaan kekerasan seksual di Pondok Pesantren A di Jombang, pengumuman daftar pencarian orang mencantumkan nama lengkap lima santri korbannya.
Terkait perkara kekerasan seksual di sekolah SPI Malang, ada podcast yang menyiarkan suara dan gambar/foto korban meski memakai masker. Terkait insiden tembak-menembak di rumah salah satu pimpinan Polri, identitas korban indikasi dugaan pelecehan seksual diungkap oleh media cetak ataupun daring. Kerahasiaan identitas para korban itu dibuka oleh instansi, podcaster, dan wartawan—mungkin atas persetujuan korbannya, mungkin juga tidak.
Sesungguhnya, pengungkapan ke publik identitas korban kekerasan seksual mempunyai risiko negatif yang tidak ringan. Oleh karena itu, sejumlah regulasi dan pedoman etik telah melarangnya. Bagaimana mematuhi regulasi tentang jaminan kerahasiaan identitas korban dan tanggung jawab siapa?
Sesungguhnya, pengungkapan ke publik identitas korban kekerasan seksual mempunyai risiko negatif yang tidak ringan.
Risiko negatif
Salah satu risiko negatif adalah korban bertambah trauma akibat membaca, melihat, dan/atau mendengar pemberitaan atau siaran tentang kekerasan seksual yang mengungkap identitasnya.
Berdasarkan pengalaman LPSK mendampingi ratusan korban, trauma korban berpengaruh pada proses hukum, yaitu proses hukum perlu menanti kesiapan psikologis korban supaya keterangan korban sesuai kenyataan. Perlu dipastikan bahwa saksi korban dalam keadaan sehat jasmani dan psikologis ketika memberi keterangan di depan proses hukum. Jika korban tidak sehat secara psikologis dan proses hukum tetap jalan, keadilan akan lenyap.
Menunggu korban siap secara psikologis dapat berkorelasi pada lamanya proses hukum, dan hal ini dibenarkan oleh hukum. Korban kekerasan seksual berbentuk revenge porn atau non-consensual sharing of intimate contents selalu mengalami trauma hebat dan banyak yang berusaha bunuh diri ketika identitasnya terpublikasi.
Trauma korban juga berkorelasi dengan pemulihan. Makin traumatis korban, makin lama pemulihannya. Menurut pengalaman LPSK, korban yang menderita trauma membutuhkan konseling yang lama, ada yang butuh 50 kali konseling. Korban revenge porn hampir selalu mengalami trauma berat dan trauma itu semakin berat ketika kepadanya disangkakan Pasal 29 UU Pornografi dan Pasal 45 (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, padahal yang bersangkutan sesungguhnya korban.
Pemulihan korban yang lama merupakan pembelajaran berharga bagi instansi yang memiliki tupoksi pendampingan korban kekerasan seksual. Pengalokasian sumber daya yang memadai, bukan hanya sekali beri dan diasumsikan tuntas, adalah keniscayaan. Itulah harapan semua korban kekerasan seksual.
Sebagian media dan praktisi penyiaran terkadang lupa merahasiakan identitas korban ketika menurunkan berita atau siaran dengan tujuan menarik perhatian publik. Mengingat risiko negatif yang tak kecil, sudah saatnya praktisi media dan penyiaran meninggalkan paradigma no viral no justice dan beralih ke best way of viral to gain justice.
Demi menjamin kerahasiaan identitas korban tindak pidana, di beberapa negara maju di Eropa, korban dibuatkan identitas baru yang bersifat sementara selama proses hukum. Identitas asli tertutup rapat demi menjamin kemudahan akses pada banyak hal, misalnya pendidikan dan pekerjaan, di kemudian hari.
Baca juga Jadi Korban Pemerkosaan dan Penyekapan, Remaja di Pati Dirawat Intensif
Regulasi
UU No 31/2014 sebagai induk regulasi perlindungan saksi dan korban di Indonesia mengatur bahwa korban tindak pidana berhak atas kerahasiaan identitas dan atas identitas baru. Apabila korban tindak pidana adalah anak, UU No 35/2014 mengatur bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan melalui, antara lain, penghindaran publikasi atas identitasnya. Apabila tindak pidananya adalah kekerasan dalam rumah tangga, UU No 23/2004 mengatur, korban berhak dapat penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur bahwa pemeriksaan perkara TPKS dilakukan dalam sidang tertutup. Ini ditujukan, antara lain, untuk mencegah tereksposenya identitas korban kepada publik (vide Pasal 58). Meskipun majelis hakim membacakan putusan perkara TPKS dalam sidang terbuka untuk umum, dia wajib merahasiakan identitas saksi dan/atau korban (vide Pasal 59 Ayat 2).
Bahkan, pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas saksi dan/atau korban dalam putusan atau penetapan pengadilan (vide Pasal Ayat 3). Pasal 69 Huruf d secara tegas mengatur, hak korban meliputi juga perlindungan atas kerahasiaan identitas.
Kerahasiaan identitas korban kejahatan susila juga dijamin dalam UU Pers. Pasal 7 (2) UU No 40/1999 tentang Pers mengatur bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 5 KEJ mengatur bahwa wartawan Indonesia tak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tak menyebutkan identitas anak yang jadi pelaku kejahatan. Identitas adalah semua data dan informasi menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain melacak.
Regulasi tentang penyiaran juga mengatur hal yang sama. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran mengatur bahwa penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan (vide Pasal 17). Pelarangan program siaran bermuatan kekerasan meliputi juga program siaran tentang kekerasan seksual yang mencakup larangan mengekspose identitas korban kekerasan seksual.
Dapat dikatakan bahwa regulasi tentang jaminan kerahasiaan identitas korban kekerasan seksual sesungguhnya telah memadai. Saatnya semua kalangan, termasuk podcaster atau siniar, selalu mengingat dan menaati regulasi tersebut dalam karyanya masing-masing.
Mematuhi regulasi
Mematuhi regulasi adalah tanggung jawab semua pihak, baik institusi, masyarakat/publik, maupun perorangan. Dalam UU No 12/2022 tentang TPKS diatur tentang partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan TPKS.
Memang UU ini tak eksplisit menyediakan payung hukum tentang partisipasi publik dalam mematuhi larangan mengekspose identitas korban kekerasan seksual, tetapi semangatnya pantas dijadikan inspirasi untuk mematuhi larangan itu. Pasal 85 tentang partisipasi masyarakat dalam menyosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang TPKS perlu diberi makna terkait sosialisasi larangan itu.
Partisipasi publik dalam bentuk pengaduan ke Dewan Pers perlu digalakkan, khususnya jika ada pers yang tak mematuhi larangan mengekspose identitas korban.
Partisipasi publik dalam bentuk pengaduan ke Dewan Pers perlu digalakkan, khususnya jika ada pers yang tak mematuhi larangan mengekspose identitas korban. Pengaduan yang diikuti pengawasan oleh Dewan Pers bisa menjadi cara efektif untuk meningkatkan kepatuhan pada regulasi. Sesuai Pasal 15 (2) UU No 40/1999, Dewan Pers melaksanakan beberapa fungsi, salah satunya mengawasi pelaksanaan KEJ. Dewan Pers pun dapat melibatkan Pemantau Media untuk memantau pemberitaan yang melanggar larangan mengekspose identitas korban kekerasan seksual.
Jika ketidakpatuhan dilakukan insan penyiaran, publik bisa mengadu ke KPI. Pasal 50 UU No 32/2002 tentang Penyiaran mengatur bahwa KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran dan menerima aduan tentang adanya pelanggaran pedoman perilaku penyiaran. Pasal 17 Peraturan KPI No 01/P/KPI/03/2012 mengatur, penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.
Dalam konteks insan penyiaran, terhadap podcaster masih diperlukan penataan regulasi, antara lain untuk memperjelas yurisdiksi, agar podcast masuk yurisdiksi Dewan Pers, KPI, atau lembaga lain. Podcast sesungguhnya dapat membantu menarik perhatian publik akan sesuatu hal yang pantas dimintakan atensi publik, tetapi perlu segera dilengkapi dengan sejumlah regulasi untuk meminimalkan risiko negatif, antara lain regulasi tentang pedoman perilaku, kode etik, dan atau sejenisnya.
Kepatuhan terhadap regulasi yang menjamin kerahasiaan identitas korban adalah tanggung jawab kita semua. Guna mewujudkan kepatuhan; sinergi dan kerja sama mendesak dilakukan. LPSK sebagai lembaga negara mandiri bisa berada di depan dalam mewujudkan sinergi dan kerja sama ini guna memastikan dipatuhinya hak korban atas kerahasiaan identitas, sebagaimana amanat Pasal 36 UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Antonius PS Wibowo, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia