Menyoal Aspek Yuridis Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kasus kekerasan seksual terhadap anak sepatutnya tidak hanya diselesaikan dengan pendekatan hukum. Bagi pelaku yang punya gangguan jiwa dengan deviasi seksualnya, ancaman hukuman yang berat tak ada artinya bagi mereka.
Oleh
YUSUF AKBAR SIREGAR
·5 menit baca
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada 2021 yang mencapai 8.730 (Kompas.com, 4 Maret 2022). Data yang disampaikan KPPPA itu sangat memprihatinkan karena belum lagi yang mencakup kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak tercatat (dark number).
Secara yuridis, demi mencegah dan memberantas kekerasan seksual terhadap anak, telah dibuat ketentuan hukum Pasal 287, 289, 290, 293, dan 294 KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diperbarui dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2016.
Namun, semua itu tetap tidak dapat menghentikan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Karena dianggap belum bisa mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, maka diberlakukanlah UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Permasalahan sebenarnya bukan saja pada keefektifan berlakunya undang-undang perlindungan anak dari kekerasan seksual, tetapi pada apakah penghukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak berlaku efektif sebagai prevensi general/umum (karena jarang terjadi residivis)?
Setelah berlakunya UU tentang Perlindungan Anak, tetap saja terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus pemerkosaan 13 santriwati di Bandung, kasus pemerkosaan anak di Jakarta Selatan, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat menambah gagalnya prevensi umum.
Lemah hukum
Kasus kekerasan seksual terhadap anak sepatutnya tidak hanya diselesaikan dengan pendekatan hukum (law approach). Sebab, pelakunya bisa saja mempunyai gangguan jiwa (mental disorder) dengan deviasi seksualnya sehingga tidak berakal sehat, cenderung abai hukum.
Pelaku yang mempunyai gangguan jiwa itu dapat digolongkan sebagai parafilia, termasuk salah satunya yakni paedofilia (paedofiliak harus memenuhi kriteria tertentu). Selain itu idiocy, type moron-instabil, dan cacat moral (moral defectives) dimungkinkan juga dapat melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Bagaimanapun ngerinya ancaman sanksi pidana, preseden hukuman mati, hukuman penjara dan dikebiri, akan tiada arti bagi mereka.
Ketidaktahuan (fiksi hukum presumption iures de iure) pelaku yang tergolong orang dewasa dan anak (dalam kasus juvenile deliquency) yang normal jiwanya, terhadap berlakunya undang-undang terkait kekerasan seksual terhadap anak berikut pemidanaannya, keterbelakangan otak (feeble minded), juga dapat menjadi faktor penyebab gagalnya prevensi umum (general).
Bagaimanapun ngerinya ancaman sanksi pidana, preseden hukuman mati, hukuman penjara dan dikebiri, akan tiada arti bagi mereka. Hukuman mati, penjara, dan kebiri kepada pelaku kekerasan seksual cenderung berhasil pada tujuan pembalasan atas perbuatan jahatnya (retributif) yang sifatnya resiprokal, akan tetapi gagal sebagai tujuan prevensi umum.
Untuk mengantisipasi gagalnya prevensi spesial dan umum pada terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, kita dapat mengomparasi pada aturan hukum di negara lain. Misalnya saja undang-undang yang berlaku di Amerika Serikat berupa Wetterling Act, Megan’s Law, dan Adam Walsh Child Protection and Safety Act.
Beberapa undang-undang tersebut bertujuan mewaspadai terhadap pelaku mengulang lagi perbuatan kekerasan seksual terhadap anak (repetitive). Dengan kita meninjau pada potensi repetisi itu, maka dimungkinkan pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut mempunyai deviasi seksual.
Adanya faktor gangguan jiwa telah dipertimbangkan pada ketentuan Pasal 17 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur perihal selain pemidanaan, rehabilitasi medis dan sosial dapat dikenakan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Rehabilitasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 22 ditujukan pada pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, mental bagi si korban dan pelaku kekerasan seksual.
Dalam konteks rehabilitasi itu, maka vis a vis dengan pertanggungjawaban secara pidana. Oleh karena itu, pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mempunyai gangguan jiwa sebagai orang yang insania moralis dapat dikonstituir tidak bisa dipertanggungjawabkan vide Pasal 44 Ayat (1) KUHP.
Undang-undang terkait pencegahan dan perlindungan anak terhadap kekerasan seksual sudah diberlakukan, tetapi masih rentan terjadi disfungsi pemberantasan tindak pidananya.
Implikasi yuridisnya, pelaku tidak dapat dipersalahkan (vaatbarheid voor schuld) sehinggga pemidanaan tidak dapat diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, tetapi cukup dengan rehabilitasi medis dan sosial saja. Terhadap pelakunya yang masih anak-anak, tentu hukuman mati, penjara dan kebiri tidak manusiawi dikenakan.
Undang-undang terkait pencegahan dan perlindungan anak terhadap kekerasan seksual sudah diberlakukan, tetapi masih rentan terjadi disfungsi pemberantasan tindak pidananya. Disfungsinya berasal dari pasal-pasal yang memuat tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, karena tidak memuat unsur subyektif (mens rea) dari kesalahan berupa mengetahui dan patut diketahui (pro parte dolus pro-pro parte culpa) yang memuat unsur dengan sengaja (opzettelijke) dan pelarangan (wederrecthtelijk) yang berkorelasi positif-integratif dengan unsur obyektifnya berupa kekerasan, ancaman, memaksa, tipu muslihat, kebohongan dan membujuk yang apabila tidak terbukti maka akan membebaskan pelaku dari dakwaan atas kekerasan seksual terhadap anak.
Untuk mengatasinya, hakim dapat mempergunakan hermeneutika hukum terhadap teks terkait pasal kekerasan seksual terhadap anak yang secara sosiologis dan yuridis bertujuan melindungi anak dari terjadinya pencabulan (sex generalis) dan persetubuhan (carnal intercourse) yang dikatakan oleh Prof Oemar Seno Adji sebagai keadaan yang memberatkan pidana aggravating circumstances (Oemar Seno Adji, 1984:20).
Sebenarnya pengawasan dan edukasi terhadap anak akan bahaya kekerasan seksual merupakan prevensi umum yang bisa jadi lebih efektif dibandingkan penghukuman yang berat terhadap pelaku. Peran orangtua, masyarakat, dan negara untuk mengawasi tumbuh kembang biologis dan psikisnya remaja awal berikut pergaulannya serta tentu edukasi terhadap anak sangat penting guna mewaspadai terjadinya kekerasan seksual karena karakteristik kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi kapan saja dalam lingkungan internal dan eksternal.
Yusuf Akbar Siregar, Advokat dan Anggota DPC Peradi Sleman