Keunggulan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pengesahan UU TPKS tonggak sejarah penanggulangan kekerasan seksual .Pembentukan UU TPKS bisa jadi role model bagaimana keikutsertaan publik mulai dari perencanaan dan terlebih saat pembahasan. Bahkan saat pengesahannya.

Heryunanto
Selasa, 12 April 2022, merupakan tonggak sejarah dalam penanggulangan kekerasan seksual di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Sebanyak tiga kali, Ketua DPR Puan Maharani meminta persetujuan seluruh anggota DPR terhadap RUU TPKS yang dijawab secara aklamasi dengan jawaban ”setuju”. Sontak para aktivis perempuan yang berada di balkon riuh bertepuk tangan sebagai wujud kegembiraan disahkannya UU ini.
Proses pembentukan
Dari segi proses, pembentukan UU TPKS bisa jadi role model bagaimana keikutsertaan publik mulai dari perencanaan dan terlebih saat pembahasan. Sempat mati suri selama dua tahun, UU TPKS kemudian diambil alih menjadi inisiatif Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Pemerintah pun tak kalah gesit, Kepala Staf Presiden bersama-sama dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai leading sector, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri membentuk Gugus Tugas Percepatan UU TPKS, segera melakukan koordinasi dengan Panitia Kerja (Panja) UU TPKS Baleg DPR yang dikomandani Willy Aditya. Sepanjang 2021, lebih dari lima kali gugus tugas dan panja melakukan konsinyering untuk memantapkan substansi UU TPKS, tentunya dengan melibatkan masyarakat sipil. Kerja semakin giat ketika Presiden Joko Widodo pada 4 Januari 2022 memberikan instruksi percepatan UU a quo.
Sontak para aktivis perempuan yang berada di balkon riuh bertepuk tangan sebagai wujud kegembiraan disahkannya UU ini.
Pembahasan dilakukan secara dinamis dengan diskusi konstruktif. Meski substansi yang dibahas sangat serius, suasana pembahasan penuh canda tawa karena kepiawaian ketua panja dalam memimpin sidang. Bahkan terjadi hal tak lazim. Daftar inventaris masalah (DIM) yang bersifat tetap seharusnya tak dibahas, tetapi karena masukan masyarakat sipil, DIM yang bersifat tetap pun dibuka pembahasan karena menyangkut hal-hal yang substansial.
Hal ini semata-mata untuk menyempurnakan substansi UU a quo, sekaligus memberi sinyal kepada masyarakat bahwa UU TPKS tak hanya memiliki kekuatan secara filosofis dan yuridis, tetapi juga secara sosiologis. Pemandangan ini terlihat sesaat setelah pengesahan saat Menteri PPPA, ketua panja, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM meninggalkan ruang sidang, disambut para aktivis perempuan dengan pelukan, isak tangis kebahagiaan, dan karangan bunga.
Baca juga : Peraturan Pelaksanaan UU TPKS Segera Disusun
Dari segi substansi, UU ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, UU ini merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal. Tak lagi berorientasi pada pembalasan, tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Keadilan korektif adalah untuk menghukum pelaku, keadilan restoratif lebih menekankan pada pemulihan korban, sementara keadilan rehabilitatif ditujukan baik kepada korban maupun pelaku.
Rumusan TPKS
Kedua, rumusan tindak pidana. Ada sembilan jenis TPKS yang dirumuskan di UU a quo: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Para aktivis perempuan berpelukan seusai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Dari sembilan fraksi di DPR, delapan fraksi menyetujui RUU TPKS. Adapun satu fraksi, yaitu F-PKS, menolak pengesahan RUU TPKS dengan alasan menunggu pengesahan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Berbagai jenis TPKS ini tak akan tumpang tindih dengan berbagai kejahatan seksual di luar UU TPKS karena proses pembentukannya telah dilakukan dengan menyandingkan berbagai ketentuan yang ada, termasuk dengan RUU KUHP, sehingga jelas terlihat perbedaan bestandeel delict (unsur-unsur delik) antara kejahatan yang satu dan kejahatan yang lain. Terlebih, teman-teman dari unsur kepolisian dan kejaksaan yang terlibat dalam pembentukan UU TPKS juga terlibat dalam pembentukan RUU KUHP dan UU lainnya.
Selain kesembilan jenis TPKS dalam UU a quo, Pasal 4 Ayat (2) juga menyebutkan berbagai kejahatan lain yang terdapat di luar UU a quo sebagai TPKS, termasuk pemerkosaan. Dalam doktrin hukum pidana, ketentuan yang demikian dikenal dengan istilah blanco strafbepalingen. Hal ini dimaksud agar hukum acara yang ada di UU TPKS juga berlaku bagi TPKS di luar UU a quo, termasuk yang terdapat dalam KUHP.
Saya ingin meluruskan pandangan Prof Sulistyowati Irianto yang keliru (”Kekerasan Seksual Tanpa Pemerkosaan”, Kompas, 14/4/2021) bahwa pemerkosaan yang ada di KUHP, hukum acaranya tunduk pada KUHAP. Dengan adanya blanco strafbepalingen, pemerkosaan yang ada dalam KUHP, hukum acaranya tunduk pada UU TPKS.
Dengan adanya blanco strafbepalingen, pemerkosaan yang ada dalam KUHP, hukum acaranya tunduk pada UU TPKS.
Restitusi korban
Ketiga, restitusi korban. UU TPKS memberikan kepastian restitusi terhadap korban. Selain menjatuhkan pidana penjara dan/atau denda terhadap pelaku, hakim juga wajib menetapkan besarnya restitusi yang harus dibayarkan pelaku terhadap korban. Besarnya restitusi adalah berdasarkan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang sejak awal telah melakukan koordinasi horizontal dengan polisi dan jaksa yang menangani kasus tersebut.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, harta pelaku bisa disita penyidik sebagai jaminan untuk membayar restitusi. Penyitaan dilakukan dengan mempertimbangkan hak pihak ketiga yang beritikad baik. Dalam hal ini, suami/istri dan atau anak. Bilamana harta kekayaan pelaku tak mencukupi untuk menutup besarnya restitusi yang ditetapkan hakim, kekurangannya akan dikompensasi oleh negara melalui dana bantuan korban (DBK), sementara pelaku diganjar hukuman pengganti yang tak melebihi ancaman pidana pokok dari pasal yang dilanggar. DBK adalah semacam victim trust fund yang dihimpun dari para filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial perusahaan, serta sumber lain yang sah dan tak mengikat.
Baca juga : Kekerasan Seksual Tanpa Perkosaan
Hukum acara
Keunggulan keempat adalah hukum acara. UU TPKS mengatur hukum acara yang sangat komprehensif dan detail, mulai dari pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, hingga eksekusi terhadap putusan pengadilan. Perlindungan dan pemulihan terhadap korban dilakukan secara simultan dengan proses hukum. Bahkan untuk mencegah kongkalikong terhadap TPKS yang terjadi, Pasal 23 UU a quo secara tegas menyatakan bahwa terhadap TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. Banyak fakta yang di dapat, TPKS berlalu begitu saja dengan diberikan ganti rugi kepada korban. Hal ini biasa terjadi dalam TPKS karena relasi kuasa, termasuk juga pelaku yang berasal dari kalangan berada.

Para aktivis perempuan yang mewakili masyarakat sipil hadir mengikuti rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU TPKS, Rabu (6/4/2022). Mereka disebut oleh anggota DPR sebagai fraksi balkon karena mengikuti jalan sidang RUU TPKS dari balkon.
Pendampingan terhadap korban dalam setiap proses diatur secara rinci, termasuk pula terhadap korban yang mengalami trauma berat. Hal ini untuk mencegah reviktimisasi terhadap korban. Demikian juga pengaturan terkait pemutusan akses atau menghapus informasi dokumen elektronik yang bermuatan TPKS diatur secara jelas. Pembuktian dalam UU TPKS sangat progresif dengan memasukkan barang bukti sebagai alat bukti, termasuk kekuatan pembuktian dari saksi atau korban penyandang disabilitas yang memiliki nilai sama dengan saksi atau korban yang bukan penyandang disabilitas.
Selain disampaikan di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah, keterangan saksi juga memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan pembacaan berita acara pemeriksaan saksi yang telah diberikan di bawah sumpah atau janji, pemeriksaan saksi melalui perekaman elektronik dan pemeriksaan saksi secara langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.
Pendampingan terhadap korban dalam setiap proses diatur secara rinci, termasuk pula terhadap korban yang mengalami trauma berat.
UPTD PPA
Keunggulan kelima, pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lain.
UPTD PPA ini sebagai one stop crisis center dalam menanggulangi TPKS.
Keunggulan keenam, aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat dan keluarga, termasuk pemantauan pelaksanaan penyelesaian TPKS yang dilakukan Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas Penyandang Disabilitas di bawah koordinasi Menteri PPPA.
Dengan disahkan UU TPKS, diharapkan selain korban mendapatkan hak- haknya, penegakan hukum terhadap pelaku dapat berlangsung efektif dan efisien. Selain itu, diharapkan angka TPKS dapat menurun drastis dengan berbagai macam program pencegahan, termasuk sosialisasi. Keberhasilan sistem peradilan pidana pada hakikatnya tidak tergantung dari berapa banyak kasus yang diungkap, tetapi bagaimana mencegah terjadinya kejahatan.
Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM; Wakil Menteri Hukum dan HAM; Ketua Gugus Tugas Percepatan UU TPKS