Mewaspadai Ancaman Inflasi Hukum Pidana
Ruang lingkup hukum pidana nasional sangat luas, baik dari segi jangkauan dan arah pengaturan maupun kuantitasnya. Ini mengarah pada kondisi inflasi peraturan pidana yang justru berkontribusi menumbuhsuburkan kejahatan.
Memperhatikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana pada saat ini—ada asa bahwa dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, Indonesia akan memiliki satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana buatan anak bangsa, sebagai pengganti KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht).
Perlu diketahui bahwa eksistensi Wetboek van Strafrecht dilegalisasi oleh pemerintahan Soekarno melalui UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 6 peraturan a quo, nomenklatur Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie (WvSNI) diubah menjadi Wetboek van Strafrecht, kemudian diterjemahkan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sembari menunggu pengesahan RKUHP, maka KUHP warisan kolonial Belanda masih akan digunakan sebagai sumber hukum pidana positif dalam menanggulangi kejahatan. Selain itu, ada pula pelbagai perundang-undangan di luar KUHP yang secara teoretik disebut sebagai hukum pidana khusus, terbagi dalam dua jenis, yakni hukum pidana khusus intrapidana dan ekstrapidana (administrative penal law). Pada level lokal, masih ada peraturan daerah yang bermuatan sanksi pidana pula.
Baca Juga: ”Hukum yang Hidup” dalam Rancangan Hukum Pidana
Menurut saya, hukum pidana khusus intrapidana memiliki beberapa ciri, antara lain: pertama, menggunakan frasa ”tindak pidana” dalam penulisan judul undang-undang. Kedua, tidak menggunakan frasa ”tindak pidana” pada judulnya, tetapi rumusan sanksi pidana sangat dominan. Ketiga, hubungannya dengan poin kedua, hukum pidana tidak lagi diposisikan sebagai ultimum remedium, tetapi menjadi primum remedium.
Sementara hukum pidana khusus ekstrapidana, antara lain bercirikan: (1) hukum pidana merupakan ultimum remdium; (2) berada dalam lingkup undang-undang administrasi, tetapi mengandung sanksi pidana.
Hukum pidana khusus intra pidana, misalnya UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian hukum pidana khusus ekstrapidana, misalnya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pendeknya, ruang lingkup hukum pidana nasional rupanya sangatlah luas, baik dilihat dari segi jangkauan dan arah pengaturan maupun kuantitasnya. Sebab, selain KUHP warisan kolonial Belanda sebagai induk hukum pidana nasional—juga telah ada peraturan lain di luar KUHP yang disebut sebagai hukum pidana khusus. Selain itu, ada pula peraturan daerah yang salah satu jenis sanksinya adalah berupa pidana.
Menarik dicermati data yang dirilis oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan bahwa pada tahun 2014-2019, Indonesia telah mengundangkan 131 undang-undang. Apabila diperhatikan dari jumlah itu, lebih dari 80 persen adalah undang-undang pidana khusus.
Ruang lingkup hukum pidana nasional rupanya sangatlah luas, baik dilihat dari segi jangkauan dan arah pengaturan maupun kuantitasnya.
Jika ditarik ke belakang pada periode 2009-2013, pemerintah telah mengesahkan 86 undang-undang, yang 60 persen di antaranya berada dalam lingkup hukum pidana khusus pula. Dalam konteks itu, tidak bisa dinafikan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun ada obesitas regulasi sehingga masyarakat terkesan dijepit oleh pelbagai peraturan pidana mulai dari pusat sampai daerah.
Jika memang demikian, tanpa disadari negeri ini sedang mengarah kepada istilah yang diperkenalkan oleh Douglas Husak dalam bukunya yang berjudul Overcrminalization: The Limit of the Criminal Law (2008), yakni criminal law inflation, yaitusuatu kondisi dimana negara mengalami obesitas peraturan pidana sehingga muncul fenomena tingginya kuantitas pemidanaan yang berbanding lurus dengan masifnya pertumbuhan angka kejahatan di masyarakat (too much punishment and too many crimes). Alih-alih menekan angka kriminalitas, hadirnya peraturan pidana justru berkontribusi besar menumbuhsuburkan kejahatan di masyarakat.
"Ultimum remedium"
Fenomena inflasi hukum pidana, jauh-jauh hari telah diantisipasi oleh pembentuk KUHP di Belanda. Ketika itu, Modderman (1809) menegaskan bahwa KUHP yang sedang disusun harus dipandang sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir alias senjata pamungkas. Pertanyaan kemudian, bagaimana konsep ultimum remedium ini dipahami dan diterima di Indonesia?
Mengenai hal ini, mayoritas ahli hukum pidana berpandangan bahwa konsep ultimum remedium berada pada tahap penerapan hukum pidana (criminal law application) oleh aparat penegak hukum. Dalam hal ini, ketika sanksi administrasi dan keperdataan masih bisa digunakan maka sanksi pidana dikesampingkan. Sehingga, hukum pidana ditempatkan sebagai subsider dari bidang hukum lainnya. Dapat diduga, pemahaman tersebut berpangkal pada butir 6 penjelasan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Meskipun demikian, hal itu dibantah secara tegas oleh Husak dengan menekankan bahwa konsep ultimum remdium atau ultima ratio/last resort, berada pada tahap kriminalisasi di legislatif bukan pada tahap aplikasi. Secara teori, kriminalisasi adalah proses penentuan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.
Mayoritas ahli hukum pidana berpandangan bahwa konsep ultimum remedium berada pada tahap penerapan hukum pidana ( criminal law application) oleh aparat penegak hukum.
Jadi, tahapan yang paling krusial ketika menyusun suatu undang-undang adalah tahap kriminalisasi sebab pada tahap ini akan diformulasi suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana termasuk ancaman sanksinya. Kekeliruan pada tahap kriminalisasi mutatis mutandis berpengaruh kepada aplikasinya.
Atas dasar itulah, Nils Joreborg (2005) menyebut ada tiga hal yang mesti diperhatikan ketika akan dilakukan kriminalisasi, yakni pertama, the penal value principle, artinya perilaku yang mesti disikapi oleh hukum pidana hanyalah yang benar-benar tercela (blameworthiness). Sehingga, semakin tinggi nilai tercelanya, makin kuat alasan dilakukannya kriminalisasi.
Kedua, the utility principle adalah jika kriminalisasi dilakukan maka mesti dititikberatkan kepada manfaatnya. Manfaat tersebut bisa diukur melalui bobot argumen mengenai kebutuhan akan kriminalisasi, pengendalian biaya dan efisiensi. Ketiga, the humanity principle ialah kriminalisasi mesti memperhatikan kepentingan korban.
Apabila beberapa syarat tersebut tidak terpenuhi, seharusnya suatu perbuatan tidak perlu dikriminaliasi (in dubio pro libertate) sebab hanya akan menimbulkan over criminalization. Ketika itu terjadi maka hanya menambah beban kerja aparat penegak hukum. Selain itu, juga tidak ada keseimbangan antara biaya yang digunakan dalam menuntut pidana dan hasil yang diperoleh.
Baca Juga: Menilik RKUHP dari Lensa Demokrasi Konstitusional
Pendeknya, kriminalisasi semacam itu tidak memperoleh pembenaran konstitusional. Konsekuensi logisnya, hukum pidana akan mengalami obesitas karena banyaknya peraturan pidana, tetapi angka kriminalitas malah bertambah signifikan. Akhirnya, penggunaan hukum pidana menjadi kurang efektif dan efisien.
Agar hal tersebut tidak terjadi maka konsep ultimum remedium/ultima ratio mesti diketahui, diterima, dan diaplikasikan secara konsisten oleh pembentuk undang-undang sejak memasuki proses legislasi (kebijakan legislatif). Sehingga tidak sekadar melakukan kriminaliasi, tetapi juga bisa dipastikan akan mampu diaplikasikan dengan baik oleh penegak hukum.
Keadilan restoratif
Langkah berikutnya yang mesti dipikirkan oleh pembentuk undang-undang—termasuk pula penyusun RKUHP adalah mempertimbangkan keadilan restoratif (restorative justice) sebagai salah satu alternatif pidana. Hal ini dirasa sangat penting sebab masih bertalian erat dengan proses kriminaliasi. Saya mengatakan demikian, sebab kriminalisasi dilakukan hanya bertumpu kepada tujuan pidana konvensional, yakni pemberian derita/nestapa kepada pelaku.
Padahal, tanpa disadari hal itu menjadi stimulan maraknya angka kriminalitas di masyarakat. Sebab, derita yang ditimpakan kepada pelaku justru tidak mampu mereduksi niat jahatnya sehingga acap kali seseorang menjadi residivis. Imbasnya, pemberian efek jera bisa dikatakan gagal.
Wayne R LaFave (2003) menyebut restorative justice sebagai upaya membawa pelaku dan korban kejahatan agar secara bersama-sama membahas penyelesaian masalah mereka. Dengan demikian, keadilan restoratif menawarkan paradigma baru dalam peradilan pidana, yakni menempatkan korban dan pelaku dalam posisi yang setara guna menyelesaikan masalah mereka.
Keadilan restoratif menawarkan paradigma baru dalam peradilan pidana, yakni menempatkan korban dan pelaku dalam posisi yang setara guna menyelesaikan masalah mereka.
Melalui cara yang demikian, tujuan pidana tidak lagi diarahkan sebagai pembalasan semata melainkan sebagai momentum dalam memulihkan kerugian yang diderita oleh korban, misalnya melalui restitusi dan reparasi oleh pelaku. Maka wajah peradilan pidana tidak lagi menjadi panggung antara pelaku versus negara, tetapi menjadi pertentangan kepentingan antara pelaku dan korban.
Pranata keadilan restoratif diadopsi secara expressis verbis dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada Pasal 1 angka 6 peraturan a quo, keadilan restoratif didefinisikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Sayangnya, hingga saat ini belum ada pedoman pemidanaan yang disusun oleh pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan keadilan restoratif tersebut.
Secara teoretis, keadilan restoratif bertumpu kepada lima pendekatan, yakni pertama, peradilan yang berdasarkan pada ganti kerugian dan pemulihan. Kedua, menekankan kepada program mediasi antara pelaku dan korban. Ketiga, memprakarsai pertemuan atau perundingan antara pelaku dan korban. Keempat, dibentuk dewan panel dari komunitas masyarakat sebagai penengah. Kelima, paradigma peradilan pidana yang lebih memedulikan kepentingan korban.
Baca Juga: ”Restorative Justice” dan Keadilan Penegakan Hukum
Intinya, keadilan restoratif merupakan peradilan pidana yang menekankan kepada nilai keadilan, mendorong manusia agar bermurah hati, empati, suportif, dan rasional. Oleh karena itu, pelaku, korban, masyarakat dan penegak hukum dapat mengambil peran secara bersama-sama dalam penyelesaian masalah.
Pada akhirnya, harus saya katakan bahwa keadilan restoratif merupakan salah satu opsi yang logis dalam upaya memperbaiki fenomena obesitas peraturan pidana, tetapi tidak mampu mencapai tujuan pidana yang diharapkan oleh masyarakat serta negara.
(Hariman Satria, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari)