Dilema Eropa di Tengah ”Interregnum”
”Bertahun-tahun kita hidup dalam sejarah baru Eropa yang tidak banyak bicara tentang ruang. Kita tampaknya kurang fokus pada tren (globalisasi, proses teknologi) dan peristiwa sejarah,” kata Josep Borrell.
Trans-Atlantik paling makmur terjadi pada tahun 1990. Blok AS-Eropa itu menguasai 43,22 persen produksi domestik bruto dunia saat itu. Bandingkan dengan China yang hanya menguasai 3,19 persen PDB dunia pada saat bersamaan. Kekuatan ekonomi menjadi pilar utama kekuatan geopolitik. Faktanya, hanya AS dan Eropa yang mendominasi geopolitik dunia pada era itu.
Pada bidang perdagangan internasional secara de facto blok ini merajai, termasuk aturan mainnya. Pimpinan badan-badan internasional, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), silih berganti didominasi blok ini. Meski ada orang luar yang memimpin PBB, pastilah berasal dari sekutu Trans-Atlantik.
Pola seperti ini berlangsung sejak akhir Perang Dingin, bahkan jauh sebelumnya. Trans-Atlantik seakan lupa bahwa ada negara-negara lain di planet ini. Trans-Atlantik mungkin juga abai bahwa sejarah menunjukkan kekuatan di dunia selalu silih berganti. Trans-Atlantik tidak terlalu serius memahami sign post, bahwa di luarnya ada gerakan-gerakan yang menuntut kesetaraan.
Sebutlah, misalnya, Gerakan Non-Blok, Konferensi Asia Afrika, dan Benua Utara vs Benua Selatan. Gerakan akibat kegelisahan di luar Trans-Atlantik terus saja muncul. Kini ada Organisasi Keamanan Shanghai (SCO), juga blok Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Muncul pula program One Belt One Road (OBOR). Semua ini merupakan inisiatif China yang melihat tatanan dunia tidak seimbang.
Baca juga: Yang Dibutuhkan untuk Menggantikan China sebagai Basis Produksi
China mendekati Rusia, yang juga melihat dirinya memasuki kelas paria setelah kejatuhan Tembok Berlin. Rusia, salah satu negara yang melihat efek liberalisme, berupaya merangsek ke jantung negara. Rusia dan China terbawa ke dalam aliansi Sino-Rusia.
”Pada tahun 1992, kedua negara menyatakan bahwa mereka sedang mengejar ’kemitraan konstruktif’,” demikian dituliskan oleh Joseph Nye Jr, profesor Harvard University di laman Project Syndicate, 12 Januari 2015 dalam artikel berjudul ”A New Sino-Russian Alliance”.
UE menuruti AS
Di tengah evolusi itu, Uni Eropa (UE) terlena. UE sibuk dan fokus dengan aliansi Trans-Atlantik. UE mengikuti AS tanpa kesadaran akan jati diri mereka. UE hingga sekarang mengikuti AS yang meyakini bahwa Rusia dan China adalah ”musuh” yang harus diredam. ”Dalam segala hal, Eropa melakukan apa saja yang diperintahkan AS, kecuali kasus Irak,” demikian pakar politik dari University of Chicago dalam diskusi yang diselenggarakan The Robert Schuman Centre for Advanced Studies pada 16 Juni 2022.
Ketika AS menerapkan sanksi terhadap Rusia terkait invasi ke Ukraina, UE mengikut saja. Tak ubahnya, para elite di Uni Eropa mirip dengan sebutan ”cheerleader” alias pemandu sorak. Terhadap China, UE juga senada atau menuruti AS. Ambil misalnya keputusan AS melarang pemakaian teknologi 5G buatan Huawei, Eropa menurut saja terhadap AS. Ketika AS fokus membendung aliansi Sino-Rusia, UE pun mengikut saja. Pemimpin UE sesungguhnya adalah AS.
Baca juga: Jika Ingin Perekonomian Tumbuh Pesat, Mantapkanlah Konektivitas (1)
Secara implisit sikap UE yang tidak mandiri itu tergambar dari opini Ketua Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell lewat artikel berjudul ”Putin’s War Has Given Birth to Geopolitical Europe” di situs The Project Syndicate, 3 Maret 2022. ”Perang di Ukraina pada 2022 mencuatkan kelahiran geopolitik UE yang terlambat,” demikian Borrell.
Pandangan serupa ia cuatkan juga di situs The European External Action Service (EEAS) pada 24 Maret 2022 lewat artikel berjudul ”Europe in the Interregnum: our geopolitical awakening after Ukraine”. ”Bertahun-tahun kita hidup dalam sejarah baru Eropa yang tidak banyak bicara tentang ruang. … Kita tampaknya kurang fokus pada tren (globalisasi, proses teknologi) dan peristiwa sejarah,” demikian Borrell. UE tidak fokus secara dini pada cara untuk merespons semua itu, termasuk serangan Rusia ke Ukraina.
Borrell menuliskan, sukses integrasi UE dan metode depolitisasi telah memberi harga, sebuah keengganan dan ketikdakmampuan menanggapi fakta bahwa ”hutan telah muncul kembali”.
Situasi berubah
Borrell dalam bahasa diplomatis menyebutkan invasi Rusia ke Ukraina telah membelalakkan mata. Perkembangan di luar Eropa telah mengubah paradigma lama dan memunculkan kebangkitan pemikiran di Eropa tentang cara bertindak berdasarkan idenya sendiri.
Eropa sadar bahwa dirinya sendiri bukan alasan utama di balik invasi Rusia ke Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin selalu mengarahkan negosiasi, sebelum melakukan invasi ke Ukraina, ke pihak AS, bukan ke Sekjen NATO Jens Stoltenberg. Hal ini menunjukkan bahwa Rusia melihat AS sangat menentukan di Eropa.
Eropa tersadar bahwa kemelut di wilayah mereka seharusnya juga menjadi urusan mereka secara mandiri. Ini sebuah kemajuan dari sisi Eropa. Sebab, mengikuti AS semata akan mudah jika situasi masih serupa dengan era 1990-an. Kini situasi berubah. Amati misalnya besaran ekonomi global sekarang ini.
China menguasai 18,33 persen PDB global pada 2020, mengalahkan AS dengan porsinya terhadap PDB sebesar 15,82 persen dan UE 14,86 persen, berdasarkan data Bank Dunia. Porsi kepemilikan AS bersama UE terhadap PDB global kini tinggal 30,68 persen. Ada kurang lebih 70 persen kekuatan ekonomi di luar blok Trans-Atlantik.
Baca juga: China Melanjutkan Tradisi Pembangunan Ekonomi di Asia (2)
Krisis 2008 di Eropa dan 2009 di AS juga telah memerosotkan ekonomi Trans-Atlantik. Timbunan utang menjadi salah satu penyebabnya diikuti penipuan di sektor keuangan baik oleh korporasi maupun negara (kasus Yunani). Kawasan ini juga menjadi negara-negara yang menua dengan produktivitas menurun. Tambahan lagi, UE kemudian ditinggal AS dengan program ”America First” di era Donald Trump. Ini masih ditambah lagi dengan perang tarif oleh Trump yang meluas ke Eropa.
Teori pertarungan geopolitik
Kini, AS tidak lagi mengabaikan UE setelah Trump tidak lagi berkuasa. ”America is back”, demikian istilah Presiden Joe Biden setelah Trump kalah dalam pemilu 2020. Namun, dunia kini sedang menjalani proses interregnum. Ada perubahan dari sistem unipolar ke pola multipolar.
Pada 6 Mei 2022,Centre for Strategic and International Studies (CSIS) AS mematrikan tiga kekuatan geopolitik global sekarang ini, yakni AS, China, dan Rusia. Menurut ilmuwan politik AS, John Mearsheimer, berdasarkan logika penganut kaum realis dalam teori hubungan internasional, pertarungan geopolitik seyogianya adalah satu lawan satu. Itu ia katakan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Norwegian Atlantic Committee pada 7 Februari 2022.
Namun, dunia kini sedang menjalani proses interregnum. Ada perubahan dari sistem unipolar ke pola multipolar.
China secara taktis merangkul Rusia dan bersama-sama menghadapi AS. Strategi AS, satu lawan dua, akan menyulitkan poros ke Asia sekaligus membuat Eropa dalam posisi dilema. Eropa juga turut kelabakan sekarang ini.
Hal itu terbukti dari balasan Rusia terhadap sanksi ekonomi yang dikenakan Trans-Atlantik setelah invasi Rusia. Rusia membalas dengan pengurangan ekspor gas ke Jerman. Eropa kehilangan potensi bisnis di Rusia. Eropa terbajak akibat kebijakan AS (The Global Times, 9 Maret 2022). Sanksi oleh AS dan UE ke Rusia, sejauh ini tidak mempan untuk melemahkan Rusia.
“Useful idiot”
Uni Eropa sebenarnya tidak buta dengan efek negatif relasinya dengan AS. Di bawah Kanselir Gerhard Schroder, Jerman menentang invasi AS ke Irak. Ini berlanjut di era Angela Merkel yang pernah menolak rencana perluasan keanggotaan Ukraina ke dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Alasan Merkel, langkah itu serupa dengan deklarasi perang NATO terhadap Rusia. Langkah Merkel juga sebenarnya diikuti Presiden Perancis Nicolas Sarkozy kala itu.
Baca juga: Serangan Rusia, Buah Kebrutalan Hegemoni AS
Kini Presiden Perancis Emmanuel Macron, bahkan Italia meski di tengah invasi Rusia ke Ukraina, meminta agar Presiden Rusia tidak dipermalukan. Macron bertemu Putin dengan tujuan meredakan kemelut. Tujuannya agar kepentingan Eropa tidak ikut terseret ke dalam kemelut Rusia-AS.
Namun, tidak mudah bagi Eropa untuk mandiri dari AS. Setiap kali ada upaya elite Eropa mendekati Rusia, mudah untuk membuat mereka dijuluki sebutan ”useful idiot”. Konon, istilah ini adalah sebutan dari Vladimir Lenin, pemimpin Uni Soviet. Arti ”useful idiot” adalah orang yang naif dan dapat dimanipulasi untuk suatu tujuan atau agenda politik Uni Soviet, dan kini Rusia.
Madeleine Albright, mantan Menlu AS, menjuluki Trump sebagai ”useful idiot” (The Economist, 29 Oktober 2016). Ini karena Trump merapat ke Rusia dan menjauhkan diri dari Eropa.
Harian The New York Times edisi 12 April 1987 menyebutkan tidak jelas apakah julukan ”useful idiot” itu benar-benar berasal dari Lenin. Namun, julukan itu dipopulerkan oleh Zbigniew Brzezinski terhadap mereka yang memilih jalan diplomasi terhadap Uni Soviet. Hingga kini, istilah itu menjadi terminologi yang terkenal di antara para garis keras dan para mantan penasihat keamanan nasional AS. Brezinski adalah penasihat keamanan nasional di era Presiden Jimmy Carter.
Terbaru, Steve Forbes, Ketua dan Redaktur Utama Forbes Media, memakai terminologi serupa dan menyebut Macron sebagai ”useful idiot” lewat keterangan video pada 7 Juni 2022. John Sawers, mantan pimpinan MI6, di harian The Financial Times, 8 Juni 2022, mengingatkan Macron agar berhati-hati dengan langkahnya yang menemui Putin.
Begitulah serangan yang muncul, hingga menyasar Merkel yang disebut sebagai penyebab Putin berjaya karena kedekatan dengan Putin dan mengandalkan gas Rusia. Merkel membela diri dengan menyatakan, ia tidak menyesali pilihannya.
Kehilangan jati diri
Di Eropa, fobia akan Rusia sangat kuat. Polandia menjadi salah satu negara yang melekat dengan Russophobia. Sikap seperti itu melembaga, kata Profesor Stanisław Bielen dari Fakultas Sains Politik dan Hubungan Internasional, University of Warsaw, 15 April 2022. Itu dia katakan dalam wawancara yang dipublikasikan Russian International Affairs Council.
Bielen mengatakan, di Polandia ada penyebaran visi tentang bencana akibat agresivitas Rusia lewat pidato para politisi dan media. Aparat pemerintah dan media massa menjaga ketat posisi tersebut sehingga tidak ada pihak yang memiliki pendapat berbeda. Siapa pun yang berani berpikir dan berbicara menentang doktrin ini akan dicap sebagai ”agen Putin”. Julukan ”useful idiot” juga digunakan.
Akibat dari sikap menuruti Barat semata, kata Bielen, ada defisit pengetahuan dan pengalaman para elite serta penguasa kontemporer. Kemampuan Polandia untuk mandiri jadinya berkurang. Polandia tidak bisa tegas mendiagnosis kepentingan nasionalnya. ”Elite yang berkuasa, terlepas dari ideologi mereka, memilih bekerja sama tanpa syarat dengan Barat-Amerika Serikat dan Uni Eropa-tidak mengandalkan asimetri kekuasaan atau kemampuan untuk bersaing,” kata Bielen.
Akibat dari sikap menuruti Barat semata, kata Bielen, ada defisit pengetahuan dan pengalaman para elite serta penguasa kontemporer.
Berkembang sikap yang tidak kritis terhadap resep neoliberal. ”Jika kita melihat lebih dekat, siapa sebenarnya yang dilayani dengan sikap Russophobia dan permusuhan terhadap Rusia, ternyata adalah para penguasa itu sendiri dan penasihat mereka. Mereka menjadi tidak tahu, atau tidak ingin tahu, bahwa mereka adalah pelaksana yang tidak kritis dari kehendak politisi Berlin, London, atau Washington.”
”Mereka tidak mengakui bahwa dalam jangka panjang, mereka bertindak dengan merugikan mereka sendiri, merugikan negara dan masyarakat,” kata Bielen. Elite menciptakan citra negara yang berkonflik dengan tetangga, tidak mampu membentuk hubungan secara pragmatis. Padahal, di sisi lain, hubungan baik menjamin stabilitas dan perdamaian di perbatasan Eropa Timur, kata Bielen.
”Anda tidak memerlukan ketajaman yang luar biasa untuk memperhatikan bahwa sebagai akibat dari pembukaan konfrontasi baru di wilayah Timur (Eropa), tatanan internasional akan terpapar pada ketegangan dan kesalahpahaman lebih lanjut.”
Kekuatan Anglo-Saxon menikmati Polandia sebagai ”penjual” untuk kepentingan mereka. Bahkan aneh bahwa perlakuan seperti itu tidak menjadi bahan perdebatan publik, refleksi bijaksana para pembuat keputusan, atau refleksi intelektual independen.
Bielen melanjutkan, ”Semakin cepat penguasa Polandia membaca arti perubahan yang sedang berlangsung, semakin banyak yang akan mereka peroleh dari langkah memperkuat status negara, dan menjauhkan diri dari ”fantasi geopolitik” yang diciptakan di luar negeri dan selama telah menugaskan Polandia dengan peran ”baut” Barat terhadap Rusia.
Sikap kritis muncul
Eropa memang harus kritis dengan perkembangan yang terjadi. Eropa harus memikirkan kepentingannya. Sebab, ada juga dualisme dalam diri penentang Rusia.
Bagaimana misalnya, PM Inggris Boris Johnson yang sangat garang menyerang Rusia justru telah membawa Inggris meninggalkan Uni Eropa. Ini terjadi saat Ukraina sedang ingin menjadi anggota UE. Ini adalah pandangan yang ditampilkan di situs CNN, 30 Juni 2022, lewat artikel berjudul ”Don’t be fooled by Boris Johnson’s backing of Ukraine”.
Borrell kini sangat gencar mencuatkan ide soal kebangkitan geopolitik Eropa. Ini termasuk tentang bagaimana menghadapi Rusia, China dengan versinya sendiri. Namun, kebangkitan geopolitik Eropa memunculkan pertanyaan. Bagaimana kemandirian Eropa ditegakkan dengan keberadaan NATO?
”Izinkan saya menekankan bahwa NATO tetap menjadi jantung pertahanan teritorial Eropa. Tidak ada yang mempertanyakan itu. Namun, ini seharusnya tidak menghalangi negara-negara Eropa untuk mengembangkan kemampuan mereka dan melakukan operasi di lingkungan kita dan sekitarnya,” tulis Borrell.
Kemandirian Eropa secara geopolitik tanpa meninggalkan NATO, memiliki basis kuat. Eropa memiliki kemampuan untuk melihat wilayahnya di tengah kebangkitan Rusia sehingga tidak melulu terbawa pada arus AS.
Baca juga: ”Black Swan” Terbaru, Rusia Ingin Menggusur NATO dari Eropa Timur (2)
Ada pernyataan Presiden Barack Obama yang menarik saat ia mengomentari ”Kesepakatan Nuklir Iran” pada 2015 di American University, Washington, 5 Agustus 2015.
”Kita harus mengakhiri pola pikir yang membawa kita memilih aksi militer ketimbang diplomasi; pola pikir yang mengutamakan tindakan sepihak AS; pola pikir yang membesar-besarkan ancaman di luar apa yang didukung intelijen. Para pemimpin tidak sejajar dengan rakyat Amerika tentang biaya perang, dan bersikeras bahwa kita dapat dengan mudah memaksakan kehendak kita pada bagian dunia dengan budaya dan sejarah yang sangat berbeda.”
Invasi Ukraina telah menciptakan tragedi kemanusiaan, sebuah pelajaran penting bagi pemikir kebijakan luar negeri Eropa. Jalur diplomasi, di luar opsi militer, juga salah satu jalan melanggengkan kestabilan.