China Melanjutkan Tradisi Pembangunan Ekonomi di Asia (2)
Di balik geliat perekonomian Asia sekarang ini, ada peran China yang dahsyat.
Oleh
Simon Saragih
·5 menit baca
Di balik geliat perekonomian Asia sekarang ini, ada peran China yang dahsyat. Negara ini lewat Presiden Xi Jinping baru saja mendeklarasikan ”selamat tinggal pada kemiskinan”. Jika pada 2018 China sudah melepas 700 juta warganya dari jerat kemiskinan, pada 2020 ini China sudah bebas dari kemiskinan.
Bank Dunia mendukung dengan data bahwa 850 juta penduduk China telah lepas dari kemiskinan absolut sejak program reformasi ekonomi 1978. China kini memiliki pasar besar dengan jumlah penduduk 1,4 miliar. Ini melampaui sumber kemakmuran global yang selama ini didominasi Eropa dan AS dengan penduduk lebih kurang 850 juta jiwa.
Pasar China ini dikombinasikan dengan pasar Asia di luar China, yang duluan mengalami dinamika besar perekonomian. Asia kini menjadi pasar dengan jumlah kelas menengah terbanyak di dunia.
Hal menarik soal perekonomian Asia ini adalah China melanjutkan tradisi lama dinamika pembangunan ekonomi di Asia, yang dimotori Jepang. Pola yang terjadi dengan perekonomian China sekarang dan perannya sebagai penggerak di kawasan adalah kelanjutan dari pola lama oleh Jepang.
Bahkan, China memperkuat pola Jepang lewat kualitas yang jauh lebih dahsyat lagi. Dalam arti, orientasi China tidak lagi sekadar menjadikan Asia sebagai basis manufaktur global berorientasi ekspor. Asia lewat perekonomian memiliki tali temali pasar yang amat solid.
Efek relokasi industri
Awalnya adalah Jepang mengalami kenaikan upah domestik. Situasi ini mendorong relokasi industri Jepang ke Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan yang disebut sebagai Newly Emerging Countries (NICs) dan paling siap menerima relokasi. NICs juga sudah lama punya tradisi soal keterbukaan ekonomi dan sudah mulai makmur sebelum kedatangan relokasi industri Jepang yang berbasis ekspor.
Rekokasi ini kemudian pernah memunculkan julukan santer, yakni keajaiban ekonomi Asia, dituangkan dalam buku The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy (World Bank Policy Research Report) pada 1993. NICs semakin makmur dan menjadi pasar bagi produk-produk Asia dan global, serta memiliki dana yang menjadi kekuatan investasi global.
Kemudian, NICs juga mengalami pola yang lebih dulu dihadapi Jepang, yakni peningkatan upah. NICs merelokasikan sektor manufaktur keluar, seperti China dan ASEAN.
Analisis serupa juga pernah dilakukan oleh IMF pada April 2004 dan UN Escap pada 2018. Relokasi industri karena kenaikan upah dan pemanfaatan keuntungan kompetitif (competitive advantage) di negara-negara tujuan relokasi, serta perburuan bahan baku di antara sesama negara Asia, turut menyemarakkan perekonomian Asia. Inilah, antara lain, sebagai faktor utama yang terus-menerus memakmurkan Asia.
Keajaiban ekonomi menggelinding
Tentu, Asia juga kawasan yang relatif aman secara sosial politik sejak dekade 1980-an. Ini ditambah lagi dengan semangat liberalisasi yang terus-menerus mendorong keterbukaan ekonomi di Asia. Tak pelak lagi Asia adalah pasar besar yang membuat iri seantero dunia.
Ketika Inggris melihat masa depan dalam konteks Brexit, sebutan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa, Duncan Smith seorang pendukung Brexit dan tokoh Partai Konservatif menyebutkan masa depan pertumbuhan ekonomi global kini ada di luar Eropa. Secara implisit, dia hendak menyebutkan pertumbuhan ada di Asia.
Pernah ekonom Raghuram G Rajan, mantan Gubernur Bank Sentral India, yang juga professor keuangan di University of Chicago, berbicara soal cara membangkitkan perekonomian Amerika Serikat, yang memang sudah mencapai titik jenuh, saturation point.
Asia sama sekali tidak mengalami titik jenuh. Asia dengan bonus demografi berusia muda, memiliki kesempatan besar untuk melaju. Banyak kesempatan untuk membangun infrastruktur. Masih banyak warga muda sebagai pekerja dan berpotensi menjadi kelas menengah.
Pola relokasi yang dulu dilakukan Jepang dan NICs, ternyata dilanjutkan oleh China. Hal inilah juga yang turut menjadi katalis pembangunan ekonomi di Asia. Negara ”Tirai Bambu” ini sedang meningkatkan kualitas industri dengan memasuki sektor berteknologi tinggi. Sektor manufaktur berbasis manufaktur dengan demikian didorong untuk eksodus.
Dulu Deng Xiaoping dalam kunjungan ke China selatan meminta para kapitalis China bersemangat dengan kalimat bersayap, ”Melompatlah ke laut”. Ini adalah seruan untuk melompati tabu di China pada dekade 1980-an tentang kapitalisme. Akan tetapi, bahasa bersayap ini adalah taktik agar para kapitalis terus berusaha dan menjalankan mekanisme pasar. Bila perlu melompatlah menuju Hong Kong, lokasi berbisnis, yang kemudian mendongkrak kawasan Shenzen dan Guangzhou.
Presiden Xi Jinping tentu tidak perlu main kucing-kucingan lagi. Dia blak-blakan meminta kapitalis China agar berinvestasi ke seberang untuk sebagian sektor manufaktur karena upah di China meningkat, meski negara Asia lainnya tidak sesiap China. Namun, investasi China ke seberang tetap berjalan dalam rangka perburuan bahan baku.
Program OBOR
Bukan itu saja, Pemerintah China juga mencanangkan program pembangunan infrastruktur berkskala global lewat ”One Belt One Road” (OBOR). China tidak lagi sekadar mengikuti pola Jepang dan NICs, dengan berinvestasi di seberang untuk tujuan pasar ekspor, yakni Amerika Serikat dan Eropa.
Tentu China masih memanfaatkan pasar Barat, tetapi sepak terjangnya kemudian berkembang menjadi ideologis. Bahwa China dengan Partai Komunis-nya, bisa memakmurkan dunia dengan impian win-win solution dan harmoni dunia.
China bahkan menggebrak tatanan internasional, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), dengan membentuk lembaga tersendiri seperti The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
China yang sedang bangga dengan kejayaannya, menebar program pembangunan ke seantero dunia, khususnya Asia. China tidak lagi sekadar ingin mendapatkan duit dengan menghasilkan produksi bertujuan ekspor. China membangun Asia dengan memanfaatkan potensi Asia. (Bersambung)