”Black Swan” Terbaru, Rusia Ingin Menggusur NATO dari Eropa Timur (2)
Putin ingin membangun kerajaan Rusia. Secara fundamental dia ingin mendefinisikan kembali ”status quo” di Eropa sejalan dengan visinya pribadi. Dia tidak ragu menggunakan kekuatan militer untuk melakukannya.
Kegentingan sedang melanda wilayah Laut Hitam, Balkan, Eropa Timur dan Selatan. Tradisi konfrontasi internasional di kawasan itu bangkit kembali. Tantangan terbaru ini mendesak ditangani sebab muncul dinamika baru yang agak mengkhawatirkan.
Demikian para pakar NATO telah mengingatkan pada 2018. Sekjen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg mendefinisikan perkembangan tersebut sebagai ”situasi keamanan yang paling pelik dan berbahaya”.
Situasi panas itu tergambar lewat retorika Rusia yang juga panas. Putin kali ini tampil sebagai kekuatan yang menentang Barat di wilayah Eropa timur dan selatan. Barat dalam hal ini identik dengan Amerika Serikat (AS).
Putin dengan jelas menyebutkan bahwa invasi tidak hendak menyerang negara (Ukraina), tetapi ”konfrontasi dengan AS” yang ia tuduh mengancam Rusia karena mencampuri halaman belakang Rusia (Reuters, 13/4/2022).
Akibat situasi panas, masuk akal pula jika AS aktif menyusun skenario menjelang invasi Rusia. Persiapan ini dituliskan di harian AS, The Washington Post, edisi 14 Februari 2022, lewat artikel berjudul ”Inside the White House preparations for a Russian invasion”.
Baca juga: Invasi Rusia dan Kegagalan Menangkap Teori ”Black Swan” (1)
Gedung Putih mendalami potensi invasi di Ukraina yang mereka sebut sebagai ”black swan”. ”Taruhan amat tinggi sekarang. Ukraina bisa dalam ketidakpastian berminggu-minggu dan berdarah-darah,” demikian The Washington Post.
Untuk itulah ”Tim Harimau” (Tiger Team) dibentuk pada Oktober 2021. Tim pimpinan Gedung Putih ini mempersiapkan respons. Persiapan dilakukan setelah para pejabat Dewan Keamanan Nasional AS (National Security Council/NSC) mendeteksi pengerahan besar-besaran militer Rusia di perbatasan Ukraina-Rusia pada Oktober 2021.
Nama ”Tim Harimau” mengacu pada beragam kelompok pakar AS yang mendalami masalah. Para pakar itu pernah terlibat dalam diskusi saat Rusia mencaplok Crimea, wilayah Ukraina berbahasa Rusia, pada 2014.
Penasihat keamanan nasional Jake Sullivan meminta keterlibatan Direktur NSC Alex Bick dalam menyusun perencanaan strategis. Bick pun membawa para ahli dari Departemen Pertahanan, para pakar negara bidang energi, keuangan, dan ahli dari Departemen Keamanan Dalam Negeri, Badan Pembangunan Internasional AS untuk melihat kemungkinan terjadinya krisis kemanusiaan.
Baca juga: Menerka Niat China di Balik Invasi Rusia yang Belum Berakhir
Skenario berjumpalitan
”Kini mereka (Gedung Putih) lebih siap,” kata Andrea Kendall-Taylor, mantan analis Rusia di CIA, sekarang peneliti di Center for a New American Security.
Posisi AS tidak seperti pada 2014 yang tidak siap saat Rusia menganeksasi Crimea. ”Tak berdaya” dalam istilah Kendall-Taylor.
AS lewat Tim Harimau kemudian menyusun skenario, termasuk sanksi ekonomi terhadap Rusia, jika menginvasi Ukraina. Namun, skenario itu tidak efektif mencegah dan mengatasi invasi. Sanksi-sanksi setelah invasi memang dijatuhkan, tetapi tidak membuat Rusia menghentikan invasi.
Bisa dikatakan serangkaian skenario itu terbilang jitu. Di dalamnya termasuk skenario yang memperkirakan invasi Rusia bersifat terbatas hingga berskala penuh. Namun, mengapa skenario itu relatif gagal?
Unsur retrospeksi dari teori ”black swan” bisa diterapkan di sini. Jawaban atas kegagalan skenario ini sudah tergambar lewat ucapan para pejabat NSC sebelum invasi.
”Para pejabat NSC mengakui bahwa mereka mungkin tidak bisa mengantisipasi persis langkah Putin dan para pemimpin militernya,” demikian The Washington Post.
”Realitasnya adalah apa yang akhirnya akan dilakukan Rusia tidak cocok dengan semua skenario yang telah disusun,” kata Jonathan Finer, Wakil Penasihat Keamanan Nasional untuk Presiden Biden.
Meski demikian, Tim Harimau juga sudah mengantisipasi langkah lain. Di luar skenario menyerang balik, tim juga mempertimbangkan jalur diplomasi (deterrence, diplomacy).
Harapan kami, masih ada jalur diplomasi untuk mencegah semua itu sehingga skenario tidak perlu dijalankan,” kata Finer.
Prinsip ”nonstarter”
Namun, jalur diplomasi itu tidak kunjung menghentikan invasi. Bahkan, setelah invasi, Pemerintah AS, seperti dikatakan Menlu Antony John Blinken, tetap mengupayakan jalur diplomasi. Akan tetapi, upaya ini tetap gagal mencegah dan menghentikan invasi. Mengapa?
Skenario AS sama sekali tidak menangkap keinginan Putin. Atau mungkin AS yang bersikukuh menepis keinginan Putin. Pada Desember 2021 lalu, Putin menegaskan agar AS dan NATO memberikan jaminan tertulis bahwa Ukraina tidak akan memasuki NATO. Ini tidak dijawab.
AS bersikap bahwa Ukraina negara berdaulat sehingga bebas memilih aliansi dengan siapa pun. Meskipun Blinken juga menyatakan bahwa Ukraina tidak punya kualifikasi menjadi anggota NATO. Namun, inti jawaban tertulis AS itu tidak didapatkan Rusia.
Skenario AS juga mungkin sama sekali tidak bisa menerima lebih jauh tuntutan Rusia. Pada akhir 2021, Rusia meminta NATO kembali pada status 1997 atau kembali pada keanggotaan NATO seperti pada 1997.
”Tuan Putin meminta jaminan… bahwa sekutu NATO menarik semua pasukan dan senjata nuklir dari eks republik Soviet yang pernah menjadi anggota Pakta Warsawa. Putin mengatakan pada Desember bahwa permintaannya harus dipenuhi langsung, sekarang juga,” demikian dituliskan di harian The New York Times, 26 Januari 2022.
Tuntutan Rusia ini menjadi unsur baru ”black swan” dalam pertarungan NATO versus Rusia. Unsur baru yang tidak terduga dalam hal ketegasan tuntutan, tetapi nyata.
Baca juga: Hanya China yang Bisa Menghentikan Serangan Rusia?
”Amerika Serikat telah menanggapi tuntutan tersebut sebagai ’nonstarter’,” demikian The New York Times. Kata ”nonstarter” bisa merujuk pada tidak adanya kesempatan bagi seseorang untuk bersuara. Tidak dijawabnya tuntutan itu, benar-benar direspons Rusia dengan invasi ke Ukraina.
Bagi Rusia, seperti pernah diutarakan Sekretaris Pers untuk Putin, Dmitry Preskov, ”Aksi AS membuat situasi di mana tidak ada lagi garis merah dalam politik internasional.”
Seperti dikatakan Stephen F Cohen, Professor Emeritus, Russian Studies and Politics, New York University dan Princeton University, pada 25 November 2015, ”AS mengatakan tidak ada garisan yang boleh diajukan Rusia, adalah kita (AS) memiliki garisan.” Menurut Cohen, penolakan AS itu menjadi penyebab kemarahan Rusia.
Ketidaksediaan menangkap ”garis merah” tuntutan Rusia kemungkinan turut membuat skenario AS tidak mampu menangkap sepenuhnya akan seperti apa aksi Rusia. Pertanyaannya, mengapa AS bersikap demikian dan siapa di balik skenario menghadapi Rusia?
Sikap mengabaikan?
Lepas dari invasi Rusia, bagian dari tulisan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya, The Black Swan (2007), menyebutkan, kegagalan menangkap sebuah fenomena terjadi karena sikap abai.
”Hal mengherankan bukan lagi soal tingkat kesalahan peramalan, tetapi tiadanya kewaspadaan terhadap ramalan itu. Sikap ini lebih mengkhawatirkan ketika kita berhadapan dengan konflik mematikan: perang pada dasarnya sudah diperkirakan (dan kita tidak tahu itu). Ketidakmampuan memahami kausalitas kebijakan dan kesalahan dapat memicu ’black swan’.”
Pada bagian lain bukunya, Taleb juga menuliskan metode bell curve. ”Hampir semua studi soal kehidupan sosial berfokus pada asumsi kenormalan, yang mengabaikan deviasi besar, … sementara kita tetap yakin mampu mengatasi ketidakpastian. Ini disebut GIF, Great Intellectual Fraud (penipuan interlektual akbar).”
Pesan Taleb, ada kecenderungan menganggap persoalan sebagai hal biasa dan tak yakin pada hal-hal yang bisa berubah secara mendadak.
Asumsi sikap abai mungkin bisa menjadi frasa untuk menjelaskan penolakan AS atas tuntutan Rusia. Sampai berapa lama atau sekuat apa AS bisa menolak tuntutan Rusia? Apakah AS dengan aksioma demokratisasi di seluruh dunia masih berlaku di tengah lingkungan dunia yang berubah?
”Jangan-jangan sikap AS sendiri adalah sebuah ’black swan’,” demikian dituliskan Daniel Goure dalam makalahnya yang berjudul ”Hunting for Black Swans: Military Power in a Time of Strategic Uncertainty-Lexington Institute”.
Makalah ini disajikan dalam sebuah seminar bertema ”2008 Air Force Strategy Conference”, 9 Juni 2008.
Goure saat itu seorang Senior Vice President di Lexington Institute, lembaga riset nirlaba yang bermarkas di Arlington, Virginia. Ia terlibat banyak dalam isu-isu program keamanan nasional lembaga itu. Ia juga pernah menjadi Deputi Direktur International Security Program di Center for Strategic and International Studies (CSIS).
”Ada kecenderungan pemikiran bahwa peran AS di dunia terpisah dari kekuatan baru dan kecenderungan yang mengaburkan kemampuan kita dalam melihat masa depan,” kata Goure.
”Penelahaan intelijen dan dokumen-dokumen perencanaan Pentagon selalu mengasumsikan bahwa AS pada masa depan tetap superpower terkuat. Mungkin ini sebuah kemiripan dengan Inggris Raya, yang hingga dekade 1970-an masih menganggap diri sebagai kekuatan global. Lalu, kurs poundsterling mengalami krisis dan memaksa Inggris mengurangi anggaran pertahanan. Akibatnya, AS mengisi kekosongan di Terusan Suez. Sekarang, siapa yang mengambil fungsi itu?” lanjut Goure.
Goure menambahkan, para pemimpin Angkatan Udara AS paham persoalan itu dengan baik. ”Mereka menghadapi penurunan kualitas persenjataan. Penting bagi para pemimpin pertahanan berpikir saksama tentang bagaimana kekuatan militer siap menyesuaikan diri dengan era baru yang serba tak pasti.”
Perlu pertimbangan ulang
Para pakar NATO sebenarnya sudah menuliskan lebih jauh. Mereka pada dasarnya juga menuntut perubahan kebijakan. ”Lingkungan keamanan global dan regional telah berubah. Situasi itu memerlukan pertimbangan ulang dan cermat terhadap premis teoritis yang ada. Diperlukan evaluasi analitis untuk menyelaraskan premis teroritis itu dengan realitas baru,” katanya.
”Ini perlu untuk memahami apa yang sedang terjadi guna menghasilkan solusi yang dapat diterapkan untuk menghadapi kerentanan, risiko, dan ancaman. Diperlukan kaji ulang untuk menangkap peluang yang mungkin muncul selama berlangsungnya proses perubahan besar,” ujarnya.
Basis rekomendasi para pakar NATO yang disampaikan sebelum invasi sebenarnya amat kuat. Buktinya, invasi Rusia ke Ukraina telah membuat Eropa dan AS kelabakan.
Bukan ilusi
Kini persoalannya bukan sekadar tuntutan Rusia agar NATO mundur dari Ukraina. Putin ingin agar NATO mundur dari negara-negara bekas anggota Pakta Warsawa (The New York Post, 23 Desember 2021).
Narasi Putin di balik tuntutan itu adalah, ”Apakah sulit memenuhi tuntutan kami? Coba bayangkan, bagaimana jika kami, misalnya, menempatkan pasukan di perbatasan Kanada dan Meksiko?”
Ini sebuah tantangan besar. Rusia telah melangkah lebih jauh. Tentu NATO dan AS tidak mudah tunduk terhadap tuntutan ini. Akan tetapi, bisakah AS mundur dan mau memenuhi tuntutan itu?
Putin sudah mengatakan, Rusia telah penat dengan semua pelanggaran oleh Barat, yang berjanji tidak merangsek ke Eropa Timur, tetapi terus saja maju.
Pernyataan itu mengindikasikan, Putin memiliki desain yang lebih jauh dari sekadar Ukraina, seperti ditulis situs BBC edisi 18 April 2022. BBC menuliskan, para pemimpin Barat sekarang tidak sedang berada di bawah ilusi meski mencoba menepis rangsekan Rusia ke Eropa.
Presiden AS Joe Biden tetap mengecap Putin sebagai penjahat perang yang merupakan bagian dari kampanye menyudutkan Rusia. ”Akan tetapi, para pemimpin Jerman dan Perancis melihat perang ini (invasi Rusia) sebagai titik balik dalam sejarah Eropa,” demikian BBC.
Kanselir Jerman Olaf Scholz percaya dan menyatakan, ”Putin ingin membangun kerajaan Rusia.... Dia ingin secara fundamental mendefinisikan kembali status quo di Eropa sejalan dengan visinya sendiri. Dan dia tidak ragu menggunakan kekuatan militer untuk melakukannya.”
BBC mengutip Tatiana Stanovaya dari think-tank R. Politik yang juga berkarya di Carnegie Moscow Center. Stanovaya mengkhawatirkan sebuah pusaran baru dalam konfrontasi Perang Dingin terkini.
”Saya memiliki perasaan yang sangat kuat bahwa kita harus bersiap terhadap ultimatum baru yang terarah ke Barat yang sifatnya lebih militeristik dan agresif dari yang kita dibayangkan.”
Strategi terbaik adalah memasukkan Rusia ke dalam kerja sama besar keamanan Eropa Raya.
Mearsheimer dan Cohen yang sejak lama memprediksi krisis itu memberi saran perlunya perubahan kebijakan. Dua pakar ini tidak menuntut AS menghentikan demokrasi atau demokratisasi. Sama sekali tidak. Mereka hanya menyarankan perubahan kebijakan untuk mengusung semua misi atau aksioma.
Dr Stephen Wertheim, seorang analis strategi besar AS, dalam diskusi yang diselenggarakan The Norwegian Atlantic Committee pada 7 Februari 2022, menyebutkan, strategi terbaik adalah memasukkan Rusia ke dalam kerja sama besar keamanan Eropa Raya. Ini sebuah ajakan yang sudah lama diajukan Putin, tetapi sampai sekarang terus ditepis oleh AS.