Menerka Niat China di Balik Invasi Rusia yang Belum Berakhir
Ada hal yang mengkhawatirkan ketika kita terlibat dalam satu konflik: Perang pada dasarnya tidak bisa diperkirakan
Invasi Rusia ke Ukraina bisa mengarah kepada pertarungan lebih luas antara Rusia dan Eropa serta Amerika Serikat. Apakah hal itu akan dibiarkan terjadi? Tampaknya perang lebih luas, meski berpotensi, tentu Rusia akan sulit melakukan itu. Dari sudut pandang China terkait invasi Rusia ke Ukraina, bukan perang dengan katastrofa yang diinginkan, hanya jalan menuju modifikasi keseimbangan kekuatan global.
China gencar mendengungkan kemakmuran global yang menguntungkan semua pihak. Tentu dinyatakan bahwa dunia pun harus diatur lewat tatanan dunia yang tidak didominasi satu atau dua kekuatan saja. Jadi akan ada kemakmuran dunia karya dari semua, untuk semua dan oleh semua. Hal itu didengungkan Presiden China Xi Jinping pada berbagai kesempatan di forum dunia.
China gencar mendengungkan kemakmuran global yang menguntungkan semua pihak.
Tentu mungkin tidak semua kalangan bisa melihat niat China itu sebagai sesuatu yang jernih dan tulus. Dalam arti, diduga ada misi di balik itu. Presiden Xi memang selalu mendengungkan, ”Negara Tirai Bambu” adalah kekuatan benevolent yang cinta damai. Presiden Xi juga menekankan karakter sosialisme komunis China, bukan mengejar demokrasi ala Barat. Presiden Xi menyatakan ingin menegakkan kekhasan sistem sosial politiknya di dalam negeri.
Nuansa ideologis
Meski demikian, ada niat ekspansi ideologi, yang kerap dicurigai Barat. Dan di sisi lain Barat itu menyebut diri poros demokrasi dan ingin menyebarkannya. Hal ini menjadi tema diskusi berjudul ”Are the United States and China in an Ideological Competition?” pada 13 Desember 2019 di Center for Strategic and International Studies (CSIS), AS.
Baca juga: AS-China Tidak Ingin Perang Dingin Baru
Akan tetapi, China sering menekankan, dunia jangan memakai teori hubungan internasional dalam menganalisis sepak terjang China di panggung global (”China committed to peaceful resolution of disputes”, 6 Juli 2016, Chinadaily.com.cn). China hanya ingin eksis dan saling berbagi. Oleh karena itu, China tidak mengejar hegemoni hanya mengejar win-win solution.
China hanya ingin eksis dan saling berbagi.
China ingin menjawab teori hubungan internasional, yakni semakin kuat sebuah negara, semakin ada kecenderungan agresif, semakin militeristik, ekspansionis, dan bersifat revisionis. Pakar politik hubungan internasional John Mearsheimer salah satu yang turut menyatakan hipotesis ini.
China memang ingin dan bangga berperan di dunia, mungkin juga tergolong ambisius dan tentu revisionis dalam arti tersirat keinginan mengubah tatanan dunia. Namun, China mengatakan negaranya adalah kekuatan baik, seperti diutarakan Yan Xuetong, pakar hubungan internasional dari Tsinghua University, saat tampil dalam diskusi satu panggung dengan Mearsheimer, di Tsinghua University, 21 Oktober 2019. Ini dibalas Mearsheimer dengan mengatakan, ”Anda tidak pernah bisa menduga niat seseorang.”
Meski demikian, lepas dari kecurigaan asing, garis merah kebijakan luar negeri China adalah peran di dunia berbasis karakter sosial politik domestiknya, juga didukung kekuatan ekonomi domestik. Sembari itu China terus menebar program pembangunan ke seantero dunia, antara lain lewat program One Belt One Road (OBOR). Tujuannya, agar ekonomi dunia tumbuh dan memakmurkan semua, dan mungkin hal itu juga menjadi warisan dari karakter sosial China. Namun, China juga sekaligus menekankan terus-menerus bahwa negara itu tidak mengejar hegemoni, dan tidak memaksakan kehendak di negara mana pun.
Hubungan solid
Lalu bagaimana China bersikap di balik invasi Rusia terhadap Ukraina dengan visi internasionalnya? Presiden Rusia Vladimir Putin menekankan, aksinya di Ukraina adalah operasi militer khusus. Dalam misi Rusia itu, China tidak mau mengecam dan mengenakan sanksi terhadap Rusia. Bahkan Dubes China di Rusia Zhang Hanhui meminta pengusaha China memanfaatkan kesempatan yang ditinggalkan Barat setelah invasi terjadi (Bloomberg News, 22 Maret 2022, ”Beijing Tells Chinese in Russia to Help Fill Economic Void”). Ini melanjutkan pernyataan Menteri Luar Negeri China Wang Yi yang menekankan bahwa hubungan China-Rusia sesolid batu karang.
Dalam misi Rusia itu, China tidak mau mengecam dan mengenakan sanksi terhadap Rusia.
Namun, perkembangan konflik di Ukraina, yang semakin menyengsarakan warga, tampaknya belum memperlihatkan keredaan. Tidak sedikit yang memperkirakan hal ini bisa menuju perang kolosal, bahkan frasa Perang Dunia III mulai muncul. Rencana dan aksi AS serta Eropa mengirimkan persenjataan ke Ukraina menjadi salah satu alasan di balik munculnya nuansa ini.
Apakah perang lebih luas akan terjadi? Menlu Rusia Sergey Lavrov mengatakan, situasi memang rawan dan genting. Namun, Lavrov mengingatkan Ukraina agar tidak memprovokasi Perang Dunia III. Seruan Lavrov ini tentu tidak bisa diterima begitu saja. Sebab, nyatanya adalah Ukraina yang sangat menderita, apa pun alasan di balik invasi Rusia ke Ukraina. Lepas dari itu, Lavrov mengatakan juga tidak ingin melihat risiko berupa konfrontasi nuklir (situs majalah Time, 26 April 2022, ”Russia Warns Ukraine Against Provoking World War III”).
Konflik Rusia-Ukraina tampak belum bisa dihentikan dan berpotensi berkepanjangan. Di tengah situasi rentan itu, bisakah Rusia terbawa ke dalam perang lebih kolosal? Lewat teori ”Black Swan”, Nassim Nicolas Taleb, pakar AS berdarah Lebanon, menyebutkan bahwa ia tidak akan pernah mengabaikan faktor sekecil apa pun, apalagi dalam situasi konflik.
”Ada hal yang mengkhawatirkan ketika kita terlibat dalam satu konflik: Perang pada dasarnya tidak bisa diperkirakan (dan kita tidak tahu itu),” demikian Taleb dalam artikelnya tentang ringkasan teori ”Black Swan” di harian The New York Times, 22 April 2007, berjudul ”The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable”. Untuk mencegah itu, Taleb meminta semua pihak memperhatikan faktor sekecil apa pun untuk mencegah peristiwa mengejutkan yang bisa berdampak luas.
Tidak menginginkan perang
Diasumsikan bahwa Rusia berani melakukan sepak terjangnya di Ukraina karena keberadaan China di belakangnya. Dengan posisi itu, adakah arah dan tanda-tanda China akan membiarkan potensi perang yang lebih luas? Ini kembali ke premis dasar internasionalisasi China, berupa kemakmuran bersama lewat pembangunan dunia, juga yang diatur secara bersama, tanpa dominasi satu pihak.
Baca juga: China Tak Pilih AS atau Rusia
China jarang memberikan pernyataan eksplisit, tetapi sarat dengan nuansa. Terkait potensi konflik meluas, sehubungan dengan invasi Rusia, China diduga kuat tidak menginginkan hal itu terjadi. Presiden Xi telah memberikan pernyataan implisit bernada tidak menginginkan perang. Pada 21 April 2022, kantor berita Xinhua menuliskan pernyataan Presiden Xi dengan tema ”Kemanusiaan hidup di lingkungan komunitas keamanan yang satu”.
China jarang memberikan pernyataan eksplisit, tetapi sarat dengan nuansa.
”Keamanan adalah dasar utama bagi pembangunan,” kata Presiden Xi di Boao Forum for Asia Annual Conference 2022 lewat konferensi tele. ”Stabilitas memberi kemakmuran pada satu negara, sementara ketidakstabilan menjerembabkan satu negara ke dalam kemiskinan,” demikian Presiden Xi mengutip falsafah kuno China. China sendiri bertahun-tahun miskin, termasuk karena perang internal ataupun akibat agresi negara-negara asing. China sarat dengan pengalaman perang yang membawa kemiskinan.
Itu sikap China secara implisit dari Presiden Xi, sinyal tidak menghendaki perang. Akan tetapi, Presiden Xi melihat gejala menuju perang dengan nuansa premis yang dia arahkan ke Barat. ”Sudah terbukti lewat waktu, lagi dan lagi, bahwa mental Perang Dingin hanya akan mengacaukan kerangka keamanan global, dan hegemoni serta politik negara adidaya hanya akan membahayakan perdamaian dunia, dan bahwa konfrontasi hanya akan memperburuk tantangan keamanan pada abad ke-21,” kata Xi.
Meski tidak menekan Rusia, pesan Presiden Xi tentu bisa diasumsikan juga sebagai peringatan kepada Rusia tentang penolakan perang, apalagi perang yang lebih luas. Program OBOR lebih banyak berlangsung di Asia dan Afrika, hingga ke Eropa. Perang akan mengacaukan Program OBOR, jika terjadi.
Baca juga: China Cibir Sanksi Barat yang Kalap
Sekaligus nada dari China, konsisten melihat situasi riskan sekarang ini sebagai akibat agitasi Barat dengan sebutan ”cold war mentality”. Ini sebutan implisit yang diarahkan ke Barat. Pesan China, tidak ada perang, tetapi harus ada evolusi dalam relasi internasional. Pesan lanjutan Presiden Xi, Barat harus berubah dengan ambisinya yang hegemonis sekaligus di dalamnya ada ajakan diskusi lewat mantra ”win-win solution”.
Meski demikian, seperti pesan Taleb, tidak ada yang bisa memprediksi sebuah kejadian, termasuk perang, apalagi jika sebuah konflik sedang berlangsung. Kewaspadaan dan kesaksamaan melihat sesuatu fenomena menjadi hal penting.