Guru
Konsepsi guru yang sarat makna, teredusir dalam sistem pendidikan nasional, sekadar tenaga kerja. Apabila kita percaya guru adalah pelaku utama transformasi pendidikan, derajat dan martabat guru harus diangkat.

Guru merupakan pelaku penting dalam transformasi pendidikan nasional. Tanpanya, manusia Indonesia unggul, cerdas, tercerahkan, tidak akan tercapai. Sayangnya, sistem pendidikan kita gagal menempatkan posisi guru pada kedudukan yang seharusnya. Mengembalikan kemartabatan guru adalah conditio sine qua non bagi lahirnya manusia Indonesia unggul, cerdas, dan berkepribadian.
Apa persepsi dan imajinasi kita tentang guru? Sosok guru Oemar Bakrie seperti syair lagu klasik Iwan Fals? Orang tua yang gagap teknologi? Kita bisa teruskan imajinasi ini untuk mengenang para guru kita di seluruh Nusantara dengan berbagai kondisinya.
Setiap dari kita memiliki imajinasi tentang guru. Apabila kita mendengar kata guru, kita spontan teringat kata digugu lan ditiru (bahasa Jawa, artinya diikuti dan diteladani).
Baca juga: Pendidikan yang Mencerdaskan
Tradisi guru
Kata guru, memiliki banyak kisah tradisi. Di dalam tradisi Romawi Kuno, guru dalam bahasa Latin disebut dengan kata magister-magistri. Peranan guru lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Namun, kemudian hari muncullah kata lain, yaitu magistra-magistrae, yang merujuk kepada para guru perempuan. Dari kata ini lahirlah kata-kata yang maknanya mirip seperti maestro-maestri, maestra-maestrae (bahasa Italia), master (bahasa Inggris).
Dalam bahasa Inggris, kita kenal beberapa istilah untuk menyebutkan peranan guru, yaitu educator (pendidik), teacher (pengajar), instructor (pelatih), lecturer (dosen), professor (guru besar).
Apabila kita perhatikan, setiap istilah memiliki makna dan arti tersendiri. Ini berarti, nomenklatur, atau penamaan sesuatu itu menjadi sebuah penanda yang mengacu kepada realitas yang ditandakannya. Maka, nomenklatur itu bukanlah sekadar persoalan teknis, melainkan mengacu kepada bagaimana kita mendefinisikan realitas dalam arti yang sesungguhnya.
Kalau dilihat secara etimologis, kata educator lebih memiliki bobot kualitas dibandingkan kata teacher atau instructor.
Kata seperti educator, teacher, instructor, lecturer, dan professor memiliki acuan realitas yang bobotnya berbeda. Bobot berbeda ini terkait dengan cakupan tugas dan tanggung jawabnya. Kata educator, kiranya memiliki bobot yang lebih berat maknanya dibandingkan teacher, apalagi instructor.
Kalau dilihat secara etimologis, kata educator lebih memiliki bobot kualitas dibandingkan kata teacher atau instructor. Educator mengacu kepada orang yang melakukan kata kerja educare (dilafalkan dalam bahasa Indonesia, edukare).

Chandra Bimantara (23), guru muda dari Indonesia Mengajar, bermain gitar sambil memberikan materi pelajaran kepada murid-murid di SDN 16 Kuta Makmur, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (2/8).
Kata educare berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Latin, yaitu ex (keluar dari) dan ducere (memimpin). Maka, kata kerja educare dalam bahasa Latin berarti membawa (keluar), mengeluarkan, menuntun keluar, dan mengantarkan.
Karena educare terkait dengan proses bagaimana orang dewasa mendampingi anak-anak dalam proses pertumbuhan, maka dalam bahasa Latin kata educator mengacu kepada pendidik dan pengasuh. Jadi, ada unsur membantu berkembang, menumbuhkan, mendewasakan, dan membawa anak keluar dari kelemahan, kekurangan, ketidaktahuannya agar menjadi individu yang semakin dewasa, paham tata tertib sosial, dan tahu minat, bakat, potensi, dan kekuatannya yang akan membantunya memberikan kontribusi di masyarakat atau lingkungan sosialnya.
Kata teacher, berarti pengajar, lebih mengacu kepada orang yang mengajarkan sesuatu, terutama ilmu, sehingga fungsinya dalam konteks pendidikan adalah melakukan transfer ilmu kepada para murid. Kata teacher hanya mengacu pada kegiatan pengajaran saja, atau transfer ilmu.
Baca juga: Guru dan Kemerdekaannya
Sementara, kata instructor lebih sempit lagi maknanya dibandingkan dengan teacher. Kata ini mengacu kepada pelatih, yaitu orang yang memberikan perintah agar orang lain dapat melakukan kegiatan tertentu. Seorang instruktor bisa memberikan instruksi atau perintah apa saja untuk dikerjakan.
Dibandingkan instructor, kata educator dan teacher memiliki bobot lebih karena yang diajarkan selalu memiliki dimensi nilai-nilai, baik itu moral, sosial, bahkan spiritual yang membentuk identitas murid.
Kata lecturer (dosen) dan professor (guru besar) sesungguhnya mengacu pada pemaknaan yang sama, hanya saja lecturer, yang dalam bahasa Latin artinya pembaca, berarti mereka yang mengajar karena telah banyak membaca berbagai macam ilmu di lingkup akademik yang lebih tinggi.
Sementara kata professor adalah sebuah gelar pengakuan, pernyataan diri, bahwa seseorang itu sungguh memiliki, menguasai, dan mumpuni di bidang ilmu yang diajarkannya. Di Italia, semua dosen yang mengajar di universitas disebut professore (untuk laki-laki) dan professoressa (untuk perempuan).
Di Indonesia, orang dengan kualifikasi seperti ini disebut guru besar (profesor). Namun, ini lebih merupakan jabatan fungsional semata.
Professor berasal dari kata Latin profiteor, yang berarti mengakui dan menjadikan sesuatu memang sebagai pekerjaannya. Jadi professor alih-alih sebagai sebuah sebuah jabatan, lebih merupakan pengakuan diri dan publik sebagai orang yang mumpuni dan memiliki komitmen di dalam bidang yang digeluti, yaitu orang yang memang mumpuni, ahli, pakar di bidang keilmuan tertentu.
Di Indonesia, orang dengan kualifikasi seperti ini disebut guru besar (profesor). Namun, ini lebih merupakan jabatan fungsional semata. Selama masih aktif mengajar di perguruan tinggi jabatan ini masih berlaku. Padahal, di dalam tradisi pendidikan di banyak negara, seorang profesor adalah sebuah pengakuan keilmuan, tidak peduli apakah dia masih mengajar ataupun tidak. Untuk itu, ada istilah professor emeritus atau profesor purnabhakti. Seorang profesor, selamanya ia menjadi profesor.

Asal-usul guru
Tradisi pendidikan kita lebih lama mengenal istilah guru daripada pendidik. Guru dipahami sebagai orang yang mendidik. Bukan sebaliknya, seperti dipahami selama ini, guru dianggap sebagai bagian dari konsep pendidik. Kata guru tidak membedakan guru, dosen, dan profesor. Semua ini adalah guru.
Kata guru, menurut beberapa sumber, berasal dari beberapa bahasa, seperti Hindi, Urdu, Punjabi, dan Sanskerta. Kata guru yang kita kenal sekarang berasal dari bahasa Sanskerta. Dalam bahasa Sanskerta, kata guru berarti orang yang dihormati. Makna harfiahnya sebenarnya ”berat”.
Dalam bahasa Latin, hal ini terkait dengan kata gravitas yang memiliki konotasi moral. Dipahami oleh orang Jawa, maka guru dipahami secara sederhana sebagai orang yang digugu dan ditiru. Guru dengan demikian adalah sosok yang berwibawa.
Guru adalah penerang yang memungkinkan individu melihat kenyataan dengan lebih baik.
Secara etimologi, kata guru berasal dari dua kata, yaitu gu dan ru. Gu berarti kegelapan (ingat kata ’gua’), dan ru berarti pemusnah atau penyingkir. Dipahami secara keseluruhan kata guru berarti pemusnah kegelapan, pembawa terang. Guru adalah penerang yang memungkinkan individu melihat kenyataan dengan lebih baik. Maka, syair Himne Guru, yang menyatakan ”engkau sebagai pelita dalam kegelapan” jelas sangat dalam sekali maknanya.
Kata guru juga memiliki konotasi yang berat dalam dimensi spiritual. Guru bukan sekadar mengajarkan jalan-jalan yang bisa dilakukan manusia agar hidup baik, melainkan juga jalan-jalan rohani agar manusia mampu memahami siapa dirinya, dari mana asal-usulnya, dan ke mana hidup manusia akan menuju. Jadi, kata guru jelas memiliki konotasi pemahaman yang lebih mendalam dibandingkan kata pendidik.
Miskin makna
Kita memiliki tradisi sejarah yang panjang dan mendalam tentang konsep guru. Namun, ironisnya, konsep tentang guru sangat miskin dan teredusir dalam sistem pendidikan nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan guru sebagai subbagian dari kata pendidik. Dalam Pasal 1 Ayat 6 dijelaskan bahwa ”Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.
UU Sisdiknas 2003 meredusir peran guru sekadar sebagai tenaga (kerja) yang dibayar berdasarkan fungsinya. Tugasnya dipersempit sekadar ”berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.

Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen 2005, guru didefinisikan sebagai ”pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” (Pasal 1 Ayat 1). Definisi ini juga mempersempit cakupan dan tugas seorang guru dibatasi pada lingkup pendidikan dasar dan menengah, dan sifatnya teknis.
Kalau toh ada istilah guru besar atau profesor, kata ini didefinisikan sebagai ”jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi”. Jadi, guru besar itu dianggap sebagai sebuah jabatan fungsional dalam sebuah sistem di perguruan tinggi.
Konsepsi guru, yang sarat makna itu diredusir sebagai sekadar tenaga kerja, dengan tugas utama yang sifatnya teknis.
Konsepsi guru, yang sarat makna itu diredusir sebagai sekadar tenaga kerja, dengan tugas utama yang sifatnya teknis. Kalau semakin tinggi jenjangnya, guru akan menjadi guru besar yang dimaknai sebagai sebuah jabatan fungsional. Memprihatinkan sekali konsep guru yang demikian ini.
Pemiskinan konsep guru ini telah melahirkan fragmentasi peranan guru berdasarkan jenjang. Lebih dari itu, konsep guru disejajarkan (atau direndahkan) dengan ”dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya”.
Definisi tentang guru menentukan cara pandang terhadap realitas. Kalau guru dihargai kemartabatannya hanya seperti ini, tidak mengherankan pendidikan kita akan tertinggal. Martabat guru akan semakin terpuruk. Padahal, tradisi yang kita miliki jelas memiliki pemaknaan tentang peranan guru sebagai sosok yang sangat mulia, bahkan bisa dikatakan sosok yang suci, selevel dengan para nabi.
Baca juga: Masukan untuk RUU Sisdiknas
Draf RUU Sisdiknas yang beredar saat ini bahkan lebih memilukan lagi dalam mendefinisikan peranan guru. Guru tetap dianggap sebagai bagian dari pendidik. ”Pendidik terdiri dari guru, dosen, dan instruktur”. Sementara tugas pendidik disempitkan sekadar untuk ”mengelola siklus pembelajaran”.
Apabila kita percaya guru adalah pelaku utama transformasi pendidikan, maka definisi yang kering, kurus, dan miskin tentang guru harus kita hilangkan. Status guru perlu kita angkat pada derajat dan martabat yang semestinya. Hanya dengan cara ini, pendidikan kita akan menuju masa depan yang cerah dan membahagiakan.
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara Serpong

Doni Koesoema A