Guru dan Kemerdekaannya
Para guru perlu bebas dari segala sistem dan administrasi yang mengekang, agar dapat bergerak lagi melampaui ruang kelas. Peran-peran yang pernah mereka emban dalam sejarah serta peran seturut konsep budaya.
Setiap 25 November kita memperingati Hari Guru. Peringatan ini wujud penghormatan kepada insan yang berjasa mencerdaskan manusia-manusia Indonesia.
Iwan Fals menggambarkan jasa besar guru dalam penggalan lirik lagunya dengan ”banyak ciptakan menteri”. Namun, nyatanya mereka masih jadi pahlawan tanpa tanda jasa meski peran guru sangat penting bagi bangsa.
Dalam sejarahnya, peran guru tak hanya di lingkup ruang kelas, tetapi juga di ruang sosial dan politik kebangsaan. Kita boleh menandai Kebangkitan Nasional dengan hari lahirnya organisasi Boedi Oetomo. Pramoedya Ananta Toer berhak menganggap novel Max Havelaar sebagai titik balik bangsa yang dijajah saat itu.
Namun, benih-benih kebangkitan juga terlihat melalui gerakan para guru. Sampai akhir abad ke-19, peran guru dalam mempromosikan wacana kemajuan sangatlah menonjol (Latif, 2020).
Pada masa kolonial, para guru adalah salah satu kelompok yang secara intelektual lebih baik daripada masyarakat pribumi pada umumnya.
Pada masa kolonial, para guru adalah salah satu kelompok yang secara intelektual lebih baik daripada masyarakat pribumi pada umumnya. Meski dididik sebagai kepanjangan tangan kolonialis untuk mewujudkan politik etisnya, mereka mampu melihat kontradiksi kemajuan kita dengan bangsa lain.
Para guru berani melampaui dinding-dinding sekolah. Mereka berjuang memajukan bangsa meski masih sebatas lingkup profesi mereka: pengelolaan sekolah, upaya pendidikan tanpa diskriminasi, ajakan kepada para orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya, serta pembentukan perkumpulan profesi di mana nilai-nilai ideal kemajuan didiskusikan di dalamnya (Adam, 1995).
Peringatan Hari Guru sendiri dilatari atas lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebagai respons dari diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Kita bisa menyebut banyak tokoh guru saat itu. Bahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman awalnya seorang guru.
Sebaliknya, seorang wartawan dan aktivis yang sangat kritis terhadap penjajah akhirnya memilih menjadi guru sebagai jalan perjuangannya hingga akhirnya ditasbihkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Baca juga : Mendampingi Guru untuk Terus Belajar dan Berkembang
Mungkin suatu kebetulan Hari Guru dan Hari Pahlawan jatuh di bulan yang sama, November. Namun guru, bersama tokoh yang berjuang di medan pertempuran atau panggung politik pemikiran, juga berperan besar dalam kemerdekaan.
Pasang surut
Sejarah pun mencatat posisi guru mengalami pasang surut. Jika pada masa perjuangan guru turut aktif bergerak demi kemajuan bangsa, bahkan berupaya berperan dalam politik kebangsaan, pada masa Orde Baru kebebasan guru dipenggal.
Gaya pemerintahan militeristik dengan kontrol yang keras mengekang segala pandangan yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Wadah-wadah tunggal disediakan bagi berbagai kelompok profesi untuk dikontrol, khususnya pegawai negeri. Tak hanya itu, penguasa bahkan memobilisasi mereka agar memilih partai penguasa.
Guru sebagai bagian dari pegawai pemerintah pun dikerdilkan. Fungsi guru tereduksi menjadi sekadar alat dalam sistem pendidikan dan politik. Peran mereka dibatasi oleh aturan dan perangkat administratif. Tugas mereka sekadar mencetak anak-anak didik sesuai dengan yang diarahkan pemerintah dengan mengajar apa yang sudah ditentukan.
Kita tahu bahwa setelah Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantakkan saat Perang Dunia II, alih-alih mengumpulkan pasukan, Kaisar Hirohito mengumpulkan para guru yang masih hidup. Pada situasi paling kritis dalam sejarah negerinya, dia justru meletakkan tugas pemulihan di pundak guru. Guru dipercaya menjadi motor penggerak kebangkitan negerinya.
Dalam kebudayaan kita, ”guru” pun memiliki makna sangat mulia dan penting. Darinya kita mengenal istilah ”soko guru”, yang artinya penyangga utama. Dalam pewayangan dan tradisi Hindu Nusantara pun kita mengenal Batara Guru, sosok yang digambarkan sebagai sumber kehidupan dan segala kebaikan.
Sementara dalam konsep pendidikan tradisional, guru adalah pusat pembelajaran di mana murid-murid mendatanginya dan tinggal bersama. Model seperti ini dulu disebut ”pawiyatan”, ”padepokan”, atau kini seperti pesantren.
Di sana para guru leluasa mendidik dan memberi contoh tentang laku-laku hidup baik. Tokoh nasional seperti Soekarno pun ”dibentuk” dengan cara seperti ini oleh gurunya, HOS Cokroaminoto.
Jaminan kebebasan guru
Guru adalah figur yang diberi kewenangan, baik secara kultur maupun sistem, untuk membentuk manusia-manusia Indonesia. Mereka jugalah figur kedua yang diberi kepercayaan untuk membina dan mengasuh anak setelah orangtua. Maka, para guru harus benar-benar diberi jaminan untuk bebas berkreasi, berinovasi, dan mandiri.
Upaya pemerintah saat ini dengan merdeka belajarnya patut kita apresiasi.
Upaya pemerintah saat ini dengan merdeka belajarnya patut kita apresiasi. Merdeka menjadi syarat mutlak sebuah proses belajar-mengajar. Itu harus diberikan kepada guru sehingga mereka bisa terlepas dari belenggu pola masa lalu, tekanan, serta aturan dan administrasi yang mengekang, agar para guru dapat bergerak bebas sehingga maksimal membangun karakter murid.
Pemerintah dengan kebijakan guru penggeraknya dapat menjadi salah satu terobosan. Bahkan di sini secara eksplisit guru disebut pemimpin. Pemimpin dalam memajukan pendidikan yang lebih holistik. Konsep ini diharapkan dapat menjadikan guru sebagai pelaku utama, tak sekadar menjadi alat seperti saat Orde Baru.
Dengan kebebasan dari segala sistem dan administrasi yang mengekang, para guru dapat bergerak lagi melampaui ruang kelas. Peran-peran yang pernah mereka emban dalam sejarah serta peran seturut konsep budaya dapat dikembalikan lagi. Dengan begitu, para guru bisa menjadi agen penggerak kemajuan yang bisa jadi akan mencatatkan sejarah lagi.
Saat itu terjadi, kita akan malu menyebut mereka pahlawan tanpa tanda jasa.
Pandu Wijaya Saputra, Peminat Kajian Sosial Budaya; Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan