Menciptakan Modal Reputasi di Kawasan Candi Borobudur
Sebanyak 51 desa wisata di sekitar Candi Borobudur bisa diandalkan untuk mengembangkan pariwisata Borobudur tanpa harus membebani candi. Untuk mempromosikan, perlu menciptakan modal reputasi yang kuat bagi desa-desa itu.
Ada berita yang mengejutkan pada hari Minggu (5/6/2022) siang dari sebuah akun Instagram. Sang pemilik akun, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, mengumumkan harga tiket naik Candi Borobudur sebesar Rp 750.000 untuk pengunjung lokal, dan 100 dollar AS atau Rp 1,4 juta per orang untuk pengunjung mancanegara (Kompas.com).
Harga tiket yang fantastis ini ternyata untuk naik ke puncak Candi Borobudur saja. Sementara tiket masuk Candi Borobudur, tetap Rp 50.000 untuk wisatawan lokal dewasa dan Rp 350.000 bagi wisatawan asing dewasa.
Penerapan tarif baru tersebut untuk membatasi jumlah wisatawan, hingga 1.200 orang per hari. IDNTimes menulis, tujuan pembatasan ini semata-mata demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara.
Selain aturan tiket, semua wisatawan yang masuk ke kawasan candi juga diwajibkan menggunakan jasa pemandu warga lokal. Tujuannya, supaya terjadi penyerapan lapangan kerja baru sekaligus menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) terhadap kawasan Candi Borobudur.
Baca Juga: Konservasi Candi Borobudur
Meski kebijakan baru ini masih akan dikonsultasikan kepada Presiden, suara kontra sudah bermuncullan. Harian Kompas (6/6) menulis, Ketua Forum Daya Tarik Wisata Kabupaten Magelang Edwar Alfian menerima banyak pertanyaan dari puluhan biro perjalanan di sejumlah kota terkait rencana kenaikan tiket itu. Ada pula pengamat sejarah yang menyetujui alasan pembatasan pengunjung, tetapi tidak setuju dengan rencana kenaikan tarif karena terkesan pemerintah berniat melindungi obyek wisata, tetapi tidak mau kekurangan penghasilan. Suara dari parlemen menyebutkan, kenaikan harga tiket naik Candi Borobudur merupakan siksaan dan ketidakadilan bagi rakyat kecil.
Salah satu alasan di balik kebijakan kontroversial ini adalah adanya ancaman kerentanan pada struktur candi. Candi Borobudur mengalami pelapukan di beberapa bagian. Menurut Badan Otorita Borobudur (BOB) tahun 2019, warisan dunia itu sebetulnya sudah kelebihan beban. Sejatinya kapasitas maksimal pengunjung candi hanya 128 orang per hari, tetapi faktanya jumlah pengunjung membeludak hingga 4,6 juta orang per tahun, dengan komposisi 90 persen wisatawan lokal dan 10 persen wisatawan asing.
Sejatinya kapasitas maksimal pengunjung candi hanya 128 orang per hari, tetapi faktanya jumlah pengunjung membludak hingga 4,6 juta orang per tahun.
Belum lagi soal sampah yang berserakan dari pengunjung candi yang berkaitan dengan overtourism, yakni pertumbuhan pengunjung yang berlebihan. Gara-gara sampah tersebut, UNESCO selaku badan kebudayaan dunia menegur Pemerintah Indonesia karena pemeliharaan Candi Borobudur dirasa kurang. Bahkan, UNESCO mengancam akan mencabut Candi Borobudur dari daftar warisan budaya dunia (Solo Pos, 2011).
Pemerintah Indonesia pun berbenah merapikan Candi Borobudur. Salah satunya dengan menjadikan Candi Borobudur sebagai salah satu dari lima Detinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) pada 2020. Karena itu, opsi pembatasan jumlah wisatawan yang akan naik ke puncak Candi Borobudur pun diambil.
Kontroversi harga tiket
Rencana kenaikan harga tiket tersebut menimbulkan kontroversi. Sebagian pihak menilai, angka Rp 750.000 adalah harga yang wajar untuk mendapatkan pengalaman spiritual di atas puncak salah satu warisan budaya dunia tersebut. Namun, sebagian kalangan menganggap, angka ini bukanlah jumlah yang sedikit.
Berdasarkan Survei Biaya Hidup lima tahunan dari Badan Pusat Statistik tahun 2018, uang sebesar Rp 750.000 senilai dengan biaya makan minimum per bulan penduduk Kota Yogyakarta atau biaya kos standar minimum di Jakarta (Kompas.com, 2018). Jika harga tiket ini nanti disahkan tanpa ada perubahan nominal, dapat diprediksi kelompok pelancong dari kalangan masyarakat kelas bawah dan menengah kemungkinan besar tidak akan punya cita-cita naik puncak candi.
Menarik pula membandingkan harga tiket di beberapa situs budaya internasional lainnya. Harian Kompas (7/6) menulis, harga tiket masuk bagi turis asing ke situs budaya Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja, naik dari 20 dollar AS menjadi 37 dollar AS pada 2017, atau berkisar Rp 533.000. Warga lokal, tidak perlu membayar untuk masuk ke areal kompleks peradaban Khmer abad ke-12 tersebut.
Baca Juga: Tarif Tiket dan Simalakama Pelestarian Borobudur
Harga tiket masuk situs budaya Machu Picchu di Peru sebesar 53 sol Peru atau sekitar Rp 600.000 untuk orang dewasa. Sementara tiket dewasa untuk masuk ke areal Colosseum, Italia, dibanderol 26 euro atau sekitar Rp 400.000 per orang.
Meski tak bisa diperbandingkan secara apple to apple, tetapi melihat pengalaman di situs Siam Reap dengan Candi Borobudur, memunculkan banyak pertanyaan di kepala. Kenaikan tarif ini ditujukan untuk siapa? Siapa kalangan wisatawan yang mau disasar pemerintah? Apakah pemerintah murni berniat menjaga kelestarian situs budaya Candi Borobudur?
Lalu bagaimana dengan nasib pedagang, industri kecil, dan pengelola wisata pendukung yang selama ini diuntungkan dengan kehadiran wisatawan lokal ataupun mancanegara ke kawasan candi? Jika mereka harus gulung tikar, lalu bagaimana tingkat kesejahteraan hidup warga sekitar?
Jika Candi Borobudur hanya dikhususkan bagi kaum berduit, alangkah ironisnya.
Jika Candi Borobudur hanya dikhususkan bagi kaum berduit, alangkah ironisnya. Sebuah situs warisan budaya yang berusia ribuan tahun ternyata hanya bisa dinikmati oleh sekelompok golongan kaum borjouis yang bisa membayar harga tiket naik ke puncak candi. Penerapan tarif baru ini dikhawatirkan akan memicu kesenjangan kelas-kelas sosial dalam industri pariwisata di Tanah Air.
Jika kelas-kelas sosial mulai terbentuk dengan adanya kategorisasi wisatawan berdasarkan daya beli tiket naik ke puncak Candi Borobudur, pemerintah seakan-akan telah memberlakukan sistem ekonomi kapitalisme di bidang pariwisata. Hanya mereka yang memiliki kesesuaian sistem sosiallah yang mampu ikut dalam arus yang sama.
Modal reputasi
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata di Candi Borobudur? Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan potensi daerah di sekitar Candi Borobudur. Di sekitar areal bangunan candi yang berlokasi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini terdapat 51 desa wisata (Tempo.co, 2019).
Setiap desa wisata tersebut memiliki banyak potensi, baik potensi kekayaan alam maupun industri kreatif serta kearifan lokal yang menarik bagi wisatawan. Seperti Desa Wisata Candirejo, Wanurejo, dan Majaksingi yang masing-masing menawarkan kekayaan kuliner, produk suvenir tradisional, pemandangan alami, kegiatan olahraga, kesenian tradisional, dan sebagainya.
Sayangnya, potensi tersebut belum dikomunikasikan dan dipromosikan secara intensif kepada khalayak karena selama ini masyarakat hanya berfokus pada wisata ke situs budaya Candi Borobudur. Karena itulah kini saat yang tepat untuk melakukan penjenamaan (branding) terhadap desa-desa wisata tersebut sehingga masyarakat lebih mengenal secara mendalam permata tersembunyi (hidden gems) yang ada di sekitar warisan budaya tersebut.
Baca Juga: 200 Ragam Tradisi dan Budaya Berpotensi Jadi Obyek Wisata di Kawasan Borobudur
Hal ini masih ditambah upaya menarik perhatian wisatawan asing maupun lokal untuk menghabiskan waktu lebih lama di Magelang. Karena meski secara administrasi kawasan Candi Borobudur masuk wilayah Kabupaten Magelang, tetapi wisatawan yang berkunjung biasanya lebih memilih mengunjungi dan tinggal di Kota Yogyakarta yang dianggap menawarkan banyak alternatif hiburan dan pariwisata. Hal ini membuat kemajuan desa wisata di sekitar Candi Borobudur ini pun masih bergantung kepada wisatawan yang datang berkunjung dengan tujuan utama mengunjungi candi Buddha tersebut.
Cara yang dirasa tepat untuk penjenamaan desa wisata tadi adalah menciptakan modal reputasi (reputational capital) yang kuat bagi setiap desa wisata. Modal reputasi merupakan turunan dari bidang public relations, yakni corporate association yang didefinisikan oleh Brown & Dacin (1997) sebagai label umum tentang sebuah organisasi, yang berisi segala informasi yang diketahui oleh masyarakat.
Cara yang dirasa tepat untuk penjenamaan ( branding) desa wisata tadi adalah menciptakan modal reputasi (reputational capital) yang kuat bagi setiap desa wisata.
Modal reputasi merupakan salah satu sumber keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang meliputi aset tak terlihat (intangible assets) seperti konsumen dan kekuatan merek. Reputasi yang tak kasat mata ini tertancap kuat di benak para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya melalui lima komponen, yakni: 1) kesadaran publik; 2) ikatan emosional; 3) corporate personality; 4) corporate reputation; dan 5) pengetahuan tentang perilaku organisasi yang spesifik.
Dalam kesadaran publik, sangat terkait erat dengan informasi apa yang diketahui publik tentang sebuah organisasi. Dalam beberapa hal, ini sangat berhubungan dengan akreditasi atau judgement individu terhadap sebuah organisasi. Semakin baik akreditasi suatu organisasi, maka semakin baik pula kesadaran masyarakat akan organisasi tersebut.
Ikatan emosional ditunjukkan oleh sikap positif dari sebuah organisasi akan sangat berperan penting dalam mengonstruksi sebuah hubungan yang kuat lewat kedekatan emosional. Emosi inilah yang akan membentuk citra dan reputasi organisasi.
Aspek corporate personality biasanya diasosiasikan sebagai juru bicara atau karakter yang identik dengan sebuah merek. Misalnya, tokoh yang identik dengan logo sebuah organisasi. Intinya dalam aspek ini, organisasi dapat menunjukkan sisi humanis personalnya lewat produk, gerai, atau merek.
Untuk aspek corporate personality, sangat ditentukan oleh karakter dan perilaku pemimpin organisasinya. Semakin profesional, memiliki visi ke depan dan bertanggung jawab seorang pemimpin organisasi, diyakini akan mampu mengurus manajemen modal reputasi.
Pada aspek corporate reputation yang didefinisikan oleh Fombrun (1996), merupakan sebuah fungsi dari kredibilitas, kepercayaan, ketergantungan, dan tanggung jawab organisasi terhadap performanya. Reputasi merupakan salah satu subfaktor pembentuk citra organisasi selain tingkat popularitas dan profil yang unik.
Aspek kesadaran publik mengharuskan adanya saluran informasi yang mudah diakses oleh publik untuk mendapatkan informasi terkait potensi pariwisata di desa wisata tersebut.
Citra merupakan pemahaman yang lebih baik tentang company personality, sedangkan reputasi berhubungan erat dengan karakter dan hal-hal yang bersifat konstruktif. Menurut Balmer (1998), citra berhubungan dengan keyakinan publik terhadap sebuah organisasi, sedangkan reputasi merepresentasikan penilaian terhadap kualitas kinerja sebuah organisasi.
Terakhir, aspek pengetahuan tentang perilaku organisasi yang spesifik biasanya tidak tetap karena disesuaikan dengan pemikiran masyarakat yang terus berkembang sebagai hasil interaksi dengan banyak pihak. Organisasi perlu bekerja keras dalam merehabilitasi modal reputasinya dengan mencari tahu seberapa dalam pengetahuan negatif terhadap performa mereka bisa berjalan. Masalahnya, tidak semua kalangan masyarakat mau menerima argumen yang bersifat persuasif.
Posisi organisasi di atas bisa diganti mengikuti konteks yang dibicarakan, dalam hal ini desa wisata. Untuk dapat menciptakan modal reputasi terbaik, pemerintah sebagai pengelola daerah wisata harus mampu memformulasikan kelima komponen di atas dalam praktik di setiap desa sebagai organisasi.
Pertama, aspek kesadaran publik mengharuskan adanya saluran informasi yang mudah diakses oleh publik untuk mendapatkan informasi terkait potensi pariwisata di desa wisata tersebut. Kedua, aspek ikatan emosional yang dapat dibentuk jika pengelola mampu menghubungkan dan mempersonalisasikan potensi di desa dengan kebutuhan dan keinginan wisatawan.
Lihat Galeri Foto: Wisata Candi Borobudur dan Lingkungannya
Ketiga, aspek corporate personality di mana perlu menonjolkan salah satu tokoh atau ikon yang mampu menjadi representasi potensi desa wisata terkait. Pemilihan tokoh atau ikon tersebut harus melalui perencanaan yang matang karena dia bertindak seperti pendukung (endorser)atau pemengaruh (influencer)dalam kegiatan pemasaran.
Keempat, aspek corporate reputation yang bisa dilakukan melalui penciptaan kredibilitas positif terhadap kinerja desa wisata. Dalam konteks perusahaan, corporate reputation biasanya ditampilkan dalam birunya laporan keuangan tahunan. Terakhir, aspek kelima, yakni pengetahuan tentang perilaku organisasi yang spesifik. Aspek ini dapat ditampilkan lewat bagaimana pengelola desa wisata mampu merespons masalah-masalah yang terjadi sehingga mampu membangun kredibilitas yang kuat.
Jika kelima aspek di atas bisa diterapkan dalam tujuan membentuk modal reputasi setiap desa wisata, diyakini akan dihasilkan citra desa yang memiliki reputasi positif, populer dan juga penuh keunikan.
(Diah Ayu Candraningrum, Pengajar Bidang Komunikasi Pemasaran Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia)