Konservasi Candi Borobudur
UNESCO sudah menegur pengelola candi Borobudur agar membatasi pengunjung yang akan naik ke puncak guna memperkecil kerusakan. Pembatasan jumlah pengunjung diperlukan untuk kelestarian Candi Borobudur selama mungkin.
Beberapa hari ini, media menyuguhkan berita dengan topik seragam. Tiket masuk Candi Borobudur naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 750.000 untuk wisatawan Nusantara dan 100 dollar AS untuk wisatawan mancanegara.
Berita yang awalnya berasal dari Instagram Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan itu tentu saja menghebohkan dunia pariwisata dan masyarakat. Di media sosial, banyak komentar negatif tentang informasi tersebut.
Tak lama kemudian ada ralat dari berbagai media bahwa tiket masuk tetap seperti semula, hanya untuk naik sampai puncak candi dikenai tarif tinggi. Alasan pokok menaikkan tarif tinggi adalah agar pengunjung tidak membeludak sampai ke atas. Apalagi di sana mereka hanya foto-foto dengan berbagai latar. Kapasitas pengunjung yang ideal untuk menaiki candi hanya 1.200 orang per hari.
Namun, dunia maya masih heboh. Banyak pihak membandingkan tiket masuk Borobudur dengan bangunan kuno di mancanegara yang lebih murah.
Alasan pokok menaikkan tarif tinggi adalah agar pengunjung tidak membeludak sampai ke atas.
Dulu kawasan Candi Borobudur disebut Taman Purbakala Nasional (Tapurnas). Pada 1978 dimulai pembicaraan antara Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan Direktorat Jenderal Pariwisata tentang pemanfaatan tinggalan arkeologi sebagai obyek wisata. Pada 1980 terbentuk PT Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan.
Mulailah Candi Borobudur dikomersialkan. Dalam rencana induk, kawasan Borobudur dibagi atas lima zona. Zona 1 meliputi halaman candi, disebut juga zona inti; zona 2 daerah taman; zona 3 daerah permukiman; zona 4 daerah yang masih diawasi; dan zona 5 daerah yang diperkirakan masih ada tinggalan arkeologi.
Zona 1 atau zona inti menjadi tanggung jawab pihak arkeologi, dalam hal ini Balai Konservasi Borobudur. Di zona 2 terdapat berbagai fasilitas yang menunjang kepariwisataan dan penelitian arkeologi. Dalam zona 3 terdapat permukiman, hotel, pertokoan, dan perkantoran.
Selama ini pengelolaan Candi Borobudur ditangani dua institusi. ”Menjual” Candi Borobudur dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. ”Merawat” Candi Borobudur dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Upaya konservasi
Pada umumnya arkeologi dihubungkan dengan ekskavasi atau penggalian. Namun, sesungguhnya pekerjaan arkeologi termasuk banyak. Dalam hubungan dengan tinggalan yang sudah ada, dikenal istilah konservasi. Konservasi adalah upaya atau kegiatan pelestarian benda arkeologi untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan kerusakan atau pelapukan, dalam rangka memperpanjang usia benda.
Konservasi ditangani oleh arkeolog dengan bantuan tenaga dari bidang lain, seperti kimia, fisika, biologi, dan metalurgi. Untuk menanggulangi lumut pada candi, misalnya, diperlukan bantuan ahli biologi. Ini untuk mengetahui obat atau cairan apa yang bisa digunakan untuk membunuh lumut yang menempel di bebatuan candi.
Merawat bangunan lama yang sudah berusia ratusan tahun, bahkan lebih dari seribu tahun, seperti Borobudur, tentu amat sulit. Banyak faktor yang menyebabkan candi itu perlu dipantau terus. Pertama, candi berada di atas bukit yang dipangkas. Kondisi demikian dipandang cukup rawan. Terbukti fondasi candi pernah ambles beberapa sentimeter. Apalagi di sekitarnya terdapat gunung berapi yang masih aktif.
Merawat bangunan lama yang sudah berusia ratusan tahun, bahkan lebih dari seribu tahun, seperti Borobudur, tentu amat sulit.
Kedua, Borobudur merupakan satu-satunya bangunan purbakala di dunia yang bisa dinaiki banyak orang sekaligus. Bukan cuma satu atau dua lantai, melainkan delapan lantai. Dari tingkat kedua hingga kesembilan. Karena mampu menampung banyak pengunjung dalam waktu bersamaan, tingkat kerawanan Borobudur cukup besar.
Pada 1985, penulis membuat skripsi ”Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur” pada Jurusan Arkeologi UI. Dari penelitian itu diketahui banyak batu mengalami aus dan rusak karena alas kaki pengunjung. Keausan dan kerusakan terjadi pada lantai dan anak tangga (undak).
Selain itu, banyak terjadi vandalisme dan kekotoran pada lantai karena pengunjung membuang sampah sembarangan. Pada relief cerita dan sejumlah arca terdapat bercak-bercak putih akibat dijamah oleh tangan berminyak pengunjung. Dari Juli 1983 sampai Maret 1984, dijumpai vandalisme di 37 tempat dan sampah 10,073 meter kubik. Ironisnya lagi, beberapa kepala arca pernah patah akibat digoyang-goyang pengunjung.
Baca juga Tarif Tiket dan Simalakama Pelestarian Borobudur
Menurut penelitian penulis pada 1985, besar keausan pada lantai sebesar 0,1-0,4 sentimeter. Sementara jumlah keausan pada undak 255 (utara), 188 (barat), 168 (selatan), dan 190 (timur). Hal itu dihitung sejak purnapugar Candi Borobudur selesai pada Februari 1983. Bayangkan kalau terus-menerus diinjak-injak pengunjung selama 20 tahun.
Upaya perlindungan Candi Borobudur akibat ulah manusia jelas semakin diperlukan. Penulis saat itu mengusulkan beberapa hal, seperti pengunjung harus memakai alas kaki khusus yang lembut, melapisi lantai dan anak tangga dengan bahan khusus, memberikan pengetahuan kearkeologian kepada para pelajar, mengurangi arus pendaki candi dengan cara memecahsebarkan mereka lewat berbagai fasilitas di bawah, seperti museum arkeologi, dan pariwisata harus terencana baik dengan mengelompokkan pengunjung ditemani seorang pemandu.
Dua usulan, yakni membuat alas kaki khusus dan melapisi undak, sudah diaplikasikan oleh Balai Konservasi Borobudur pada 2019. Mengurangi arus pendaki candi sedang diupayakan.
UNESCO, badan PBB yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, memang sudah memberikan teguran kepada pengelola candi agar membatasi pengunjung yang akan naik ke puncak guna memperkecil kerusakan mekanis yang disebabkan manusia.
Salah satu cara membatasi jumlah pengunjung yang akan mendaki candi tentu saja dengan mengenakan tarif tinggi. Pengunjung yang tak mendaki candi harus disuguhi foto atau teknologi seperti obyek-obyek di atas. Buatlah museum arkeologi sebagus-bagusnya dengan memakai teknologi kekinian.
Kita belum tahu apa dampak tarif tinggi yang dikenakan untuk peserta wisata eksklusif atau wisata premium. Yang jelas, pembatasan jumlah pengunjung amat diperlukan. Ini dari segi arkeologi (konservasi), bukan dari segi ekonomi (pariwisata), untuk kelestarian Candi Borobudur selama mungkin.
Djulianto Susantio Arkeolog, Pernah Meneliti Candi Borobudur