Konsep metropolitan cerdas Ibu Kota Negara Nusantara yang futuristik menjadi ikon mercusuar Indonesia baru. Masalahnya, imajinasi IKN itu berada dalam tegangan antara visi politik dan teknokratik dengan hak warga.
Oleh
GUTOMO BAYU AJI
·4 menit baca
Konsep metropolitan cerdas yang membingkai Ibu Kota Negara Nusantara seperti sedang menyihir imajinasi kita, membayangkan ikon mercusuar Indonesia baru.
Kontras dengan kota-kota yang berkembang secara tradisional selama ini, konsep metropolitan cerdas menawarkan smart transportation, smart building, smart water, smart energy, smart waste management, dan smart services.
Ikon mercusuar yang bernuansa futuristik seperti itu mungkin pernah kita jumpai sekali dalam sejarah Indonesia modern, yaitu ketika Soekarno membingkai ibu kota Jakarta dengan gagasan besar tentang imajinasi nasionalisme. Arsitektur bangunan, simbol-simbol tugu dan patung, serta beragam karya ikonik lain mampu menyihir imajinasi rakyat memasuki alam nasionalisme.
Kenyataannya, gagasan yang menyangga imajinasi itu tidak berjalan secara monokronik.
Indonesia baru dalam imajinasi perlambangan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang futuristik mungkin saja mendekatkan pada derajat metropolitan dunia meski harus dibangun dengan penuh kegilaan di atas lanskap kawasan hutan yang sudah koyak oleh pelbagai jenis tanaman industri, lubang tambang, sengketa adat, bahkan bencana hidrometeorologi.
Gagasan ambisius yang menyangga imajinasi itu setidaknya ada dua. Pertama, IKN di masa depan patut disandingkan di antara jaringan metropolitan dunia, di mana kekuasaan dan modal-modal transnasional dikendalikan. Upaya melambungkan gagasan pertama itu akan berimplikasi pada gagasan kedua, yaitu sebagai pengungkit urbanisasi di kawasan timur Indonesia (KTI).
Di sini, kita bisa melihat bahwa urbanisasi, baik dalam skala global maupun regional, diletakkan sebagai kata kunci perkembangan ekonomi suatu wilayah. Hipotesisnya menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat urbanisasi suatu wilayah, akan semakin besar perekonomiannya, dilihat dari produk domestik bruto (PDB).
Hipotesis ini diperkuat oleh data kesenjangan PDB antara KTI dan KBI (kawasan barat Indonesia). Perbedaan PDB kedua wilayah memang sangat tajam, yaitu sekitar 20 persen di KTI dan 80 persen di KBI selama 2010-2020. Kenyataan lain menunjukkan seperempat perekonomian Indonesia berputar di Jabodetabek, sebuah kawasan urban ibu kota Jakarta.
Namun, urbanisasi juga menghadapi kenyataan lain, yaitu besarnya rasio gini yang menyentuh level mengkhawatirkan. Statistik BPS menunjukkan, rasio gini di kota lebih besar daripada di desa selama 2002-2021. Pada 2002 rasio gini di kota 0,34, sementara di desa 0,26. Tahun 2021 rasio gini di kota naik menjadi 0,40, sementara di desa 0,32.
Dengan kata lain, hipotesis itu mengandung kontradiksi yang membahayakan. Kenyataannya, gagasan yang menyangga imajinasi itu tidak berjalan secara monokronik. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu pembangunan modal manusia sebagaimana yang sedang dikaji tim peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN. Namun, pada kesempatan ini, tulisan ini akan menghubungkan imajinasi itu dengan hak atas IKN.
Kini, imajinasi itu sedang beroperasi pada tegangan antara visi politik dan teknokratik. Samar-samar kita dengar bahwa imajinasi itu tak seluruhnya bisa diterjemahkan secara teknokratis karena faktor politik yang kuat. Peraturan perundangan IKN yang disusun relatif singkat, kegaduhan ”tiga periode” sebelumnya, aroma oligarki dan kavling investasi dalam pembangunan IKN begitu terasa dalam tegangan itu.
Bisa dikatakan, imajinasi metropolitan cerdas yang membingkai IKN sedang diterjemahkan di antara dua tegangan itu. Namun, yang menjadi persoalan adalah baik terjemahan politis maupun teknokratisnya, keduanya mengandung isu partisipasi warga.
Dengan kata lain, ruang partisipasi IKN berada dalam perjumpaan tegangan besar, yaitu antara tegangan politik dan teknokratik di satu sisi serta antara keduanya dan hak warga.
Persoalan seperti ini sebenarnya sudah sejak lama disampaikan Henri Lefebvre, pemikir Perancis dalam buku La Revolution Urbaine (1970). Ia menyatakan, sifat monolitik yang berpusat pada negara tak memungkinkan adanya perbedaan, dan kota-kota telah menjadi tempat pengambilalihan alih-alih partisipasi.
Belakangan, persoalan hak atas kota ditegaskan oleh David Harvey, seorang ahli geografi dari City University of New York (CUNY) sebagai hak untuk membentuk dunia tempat kita tinggal dan membentuk diri kita sendiri.
Menerjemahkan imajinasi
Gagasan transformasi perkotaan yang disodorkannya memikat gerakan kolektif di perkotaan yang menyerukan keadilan dan demokratisasi dalam pembentukan ruang kota.
Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sosok yang pada saat kelahirannya pernah dibayangkan sebagai antitesis terhadap kekuasaan negara dan elite oligarki dalam pembentukan ruang kota. Meskipun tak terlepas dari mesin politik yang membidaninya, ia juga dianggap lahir dari gerakan akar rumput yang menyemai suara hati nurani rakyat akibat kecenderungan oligarki yang merusak demokrasi pasca-Reformasi.
Namun, menerjemahkan imajinasi IKN sebagai ruang partisipasi kolektif dalam tegangan besar itu mungkin memang menjadi urusan kampiun. Di sepanjang sejarah Indonesia modern, mungkin hanya Soekarno yang memiliki kepiawaian kampiun ini. Ia tidak hanya mampu membingkai gagasan besar tentang nasionalisme di ibu kota Jakarta bersama suara hati nurani rakyat, tetapi kekuatan nasionalismenya bahkan menggetarkan dunia.
Namun, sesudah periode itu, sesudah makna demokrasi pada sila keempat Pancasila ditafsir berulang-ulang hingga suara rakyat berubah jadi representasi yang menipis pada perwakilan elite, ruang partisipasi itu roboh dan kini jadi persoalan mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Tak terkecuali dalam pembangunan IKN sekarang ini.
Gutomo Bayu Aji, Peneliti pada Pusat Riset Kependudukan BRIN.