Kurikulum 2022 diprediksi akan mengembangkan pembelajaran yang berbasis pada produk alias hasil olah kreatif. Padahal, pembelajaran yang tidak kalah penting adalah pembentukan semangat dan nilai-nilai kebangsaan.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·5 menit baca
Polisi menangkap seorang guru berisinial MS atas dugaan pencabulan terhadap 10 murid perempuan di Depok, Jawa Barat (14 Desember 2021). Pelaku melakukan bujuk rayu dengan cara memberi uang Rp 10.000 kepada korban. Usia tertua korban adalah 15 tahun dan perbuatan itu dilakukan sejak 10 Oktober 2021.
Kejadian itu terungkap setelah seorang korban menceritakan apa yang dialami kepada orangtuanya. Seminggu sebelumnya, seorang guru dilaporkan Komisi Perlidungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, atas dugaan pencabulan terhadap sembilan murid (9 Desember 2021). Menurut keterangan polisi, sang guru diduga telah meraba-raba bagian tubuh korban. Hal itu dilakukan sejak Agustus 2021.
Dua minggu sebelumnya (30/11/2021), seorang pelajar berinisial W (16) ditangkap di Sleman, DI Yogyakarta, atas dugaan perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap seorang perempuan berinisial E (20). Berdasarkan keterangan polisi, pelaku berstatus pelajar SMK. Dia menjalankan aksinya setelah membuntuti korban hingga tempat sepi pada pukul 00.00-00.47.
Masing-masing kasus di atas tidak memiliki kaitan sebab akibat, tetapi memiliki kesamaan jenis dan isu kejahatan dalam wacana pendidikan di Indonesia. Kasus guru melakukan kejahatan itu terjadi karena menyalahgunakan wewenang. Sementara kasus murid melakukan kejahatan di luar batas kemanusiaan ketika masih berada dalam fase dididik oleh guru dalam sebuah sistem pendidikan.
Pelbagai kejahatan oleh guru dan murid itu memberikan bahan renungan dalam pengembangan kurikulum pada tahun-tahun ke depan. Apabila sistem pembelajaran merupakan salah satu sebabnya, apa masalah mendasar dalam pendidikan kita? Apa yang mendesak untuk dirombak?
Inovasi minus karakter
Praktik pendidikan dalam lima tahun terakhir untuk pendidikan dasar dan menengah, suka atau tidak, merupakan implikasi atas pemberlakuan Kurikulum 2013. Permasalahan yang muncul selama itu pula belum mendapatkan pemecahan yang memadai.
Contoh, metode pembelajaran yang berorientasi pada ilmu-ilmu empiris akan memperkecil pemahaman nilai, semangat, serta ideologi kebangsaan. Sementara hasil akhir berbentuk produk kreatif akan menghasilkan pribadi yang inovatif tanpa karakter.
Metode pembelajaran yang berorientasi pada ilmu-ilmu empiris akan memperkecil pemahaman nilai, semangat, serta ideologi kebangsaan.
Atas dasar masalah tersebut, pada tahun-tahun ke depan atau minimal pada Kurikulum 2022, masalah ini tetap dibiarkan. Karena itu, pemerintah tampaknya akan meneruskan semangat kreativitas dan memperjelaskan produk-produk material. Kurikulum 2022 diprediksi akan semakin pragmatis karena diarahkan untuk menjawab pertanyaan ”barang apa yang bisa dihasilkan murid”.
Pertanyaan tersebut kurang tepat. Jika harus ada perubahan kurikulum pada tahun depan, ada empat hal yang menjadi pertimbangan.
Pertama, secara historis, kurikulum pertama-tama dibentuk untuk menghasilkan indvidu yang memiliki nilai dan semangat kebangsaan. Sebagai bukti, Kurikulum 1947 mengajarkan pembentukan karakter untuk menghasilkan manusia merdeka. Orientasi itu diperjelas dalam Kurikulum 1952 yang lebih dikenal dengan istilah Kurikulum Terurai, yakni menghubungkan teori dengan kehidupan sehari-hari.
Demikian pula pada Kurikulum 1964 yang dikenal dengan sebutan Rencana Pendidikan. Dalam kurikulum ini dikembangkan asas pancawardhana, yakni lima pengembangan yang meliputi moral, kecerdasan, emosional, keterampilan, dan jasmani. Pengembangan karakter itu dipertajam pada 1968 di awal Orde Baru. Kurikulum ini diarahkan pada pembentukan manusia Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 secara murni.
Kedua, rasionalisasi pada kurikulum bukan memperkecil atau menjauhkan diri dari semangat dan nilai-nilai kebangsaan. Rasionalisasi yang berupa rincian-rincian dalam pembelajaran itu terbukti dalam pengembangan Kurikulum 1975. Konon pembelajaran haruslah efektif dan efisien.
Di sinilah kemudian muncul istilah Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) atau kini lebih dikenal dengan rencana pembelajaran seperti sekarang. Pendek kata, sejak 1975 pengembangan kurikulum semakin diarahkan pada nilai-nilai rasional-pragmatis yang tidak terbendung hingga sekarang.
Ketiga, pengembangan keahlian siswa bukanlah semata-mata membebaskan kreativitas tanpa arah. Bukti-bukti historis menunjukkan Kurikulum 1984 memunculkan istilah pengembangan keahlian. Model ini disebut sebagai pengembangan kurikulum 1975 yang menggunakan model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Istilah CBSA merupakan langkah visioner untuk praktik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center). Sekurang-kurangnya hal itu diperjelas dalam Kurikulum 1994 yang memadukan Kurikulum 1975 dan 1984 karena kurikulum terbaru dinilai terlalu belum bisa diterapkan.
Barulah konsepsi keahlian siswa sebagai orientasi pembelajaran itu semakin jelas dalam Kurikulum 2004 karena memunculkan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi. Hal ini merupakan warisan dari Kurikulum 1984. Adapun Kurikulum 2006 cukup mengembangkan sebuah model pembelajaran yang didasarkan pada sekolah, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Belajar miskin keteladanan
Keempat, keahlian siswa tidak perlu diukur dalam bentuk produk material. Keberhasilan pembelajaran yang tidak kalah penting adalah pembentukan semangat dan nilai-nilai kebangsaan.
Masalahnya, orientasi pragmatis itu makin mencolok sejak dua dasawarsa yang lalu. Jika pada 2006 kurikulum diserahkan pada sekolah, pada 2013 keahlian siswa diserahkan pada pemerintah pusat dengan standardisasi keahlian dan metode. Standar keahlian itu diperoleh melalui skema Kerangka Kualifikasi Nasional dan metode didasarkan pembelajaran saintifik yang meliputi melihat, bertanya, mencari, menjawab, dan berdiskusi.
Keberhasilan pembelajaran yang tidak kalah penting adalah pembentukan semangat dan nilai-nilai kebangsaan.
Atas dasar pemikiran tersebut, menjadi jelas bahwa Kurikulum 2022 akan mengembangkan pembelajaran yang berbasis pada produk alias hasil olah kreatif. Keberhasilan siswa adalah menjawab pertanyaan barang kreatif apa yang diciptakan setelah mendapatkan pelajaran itu.
Semangat merdeka belajar tidak semata-mata bebas dalam cara belajar dan bebas memilih gaya dan model hidup. Jika harus menggunakan istilah ”merdeka belajar”, istilah itu perlu ditafsirkan ulang karena kemerdekaan bukan liberalisme dalam pembelajaran.
Karena kebebasan bukan bagian dari kebablasan, dalam harapan Kurikulum 2022 mestinya ditekankan tiga hal. Pertama, pembentukan nilai unggul bersama. Kurikulum menjadi kondisi membentuk nilai unggul guru dan murid karena masing-masing adalah subyek pencipta nilai.
Kedua, fakta selama ini bahwa pembentukan nilai bagi siswa tidak pernah diikuti oleh pembentukan nilai oleh guru. Asesmen atau uji kompetensi guru selama ini dilaksanakan hanya mengarah pada uji pedagogi dan skill dengan mengabaikan uji sikap guru.
Ketiga, sudah saatnya kebijaksaaan lama ditafsirkan ulang. Pada masa kini, konsepsi guru sebagai digugu (dipercaya) dan ditiru (diikuti) sudah mulai dilupakan. Keteladanan guru sebagai role model perlu menjadi standar sekolah dalam pembentukan karakter siswa. Guru kencing berdiri, murid mengencingi guru.
Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta