Lingkungan pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia dinilai belum baik dan aman bagi anak-anak. Hal itu menempatkan peserta didik dalam kondisi rentan mengalami berbagai bentuk perundungan, kekerasan, dan intoleransi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga ”dosa besar”, yakni perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi, yang makin marak terjadi. Kondisi itu menimbulkan trauma yang bisa bertahan hingga seumur hidup pada anak.
Terkait dengan hal itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berkomitmen akan lebih serius menangani ”tiga dosa besar” di dunia pendidikan ini. Salah satunya dengan membentuk kelompok kerja yang spesifik menangani isu ”tiga dosa besar” dunia pendidikan.
Untuk mempercepat pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, Kemendikbudristek membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Bidang Pendidikan. Pokja ini diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, di Jakarta, Senin (20/12/2021).
”Sebelum diluncurkan secara resmi, Pokja Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan bekerja sama dengan Kementerian PANRB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) untuk memasukkan kategori kekerasan di satuan pendidikan dalam lapor.go.id. Jadi, pokja mulai menangani laporan yang masuk,” kata Nadiem.
Pembentukan Pokja, lanjut Nadiem, untuk memperkuat upaya dan kolaborasi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan. ”Kita butuh rencana tindak lanjut yang konkret untuk memastikan semua inisiatif yang kita rancang bisa diimplementasikan berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut Nadiem, implementasi konsep Merdeka Belajar tak hanya berfokus pada penyampaian materi di dalam kelas. Untuk jadi pembelajar sepanjang hayat, anak-anak harus belajar di lingkungan aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan. Karena itu, pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan harus dilakukan mulai dari jenjang paling dasar sampai tinggi.
Kini ada dua aturan yang memberikan panduan pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Kedua, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021. Regulasi tersebut mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Selain itu, lanjut Nadiem, Kemendikbudristek bekerja sama dengan kementerian atau lembaga lain dan berbagai organisasi untuk melaksanakan langkah pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan. Itu dilakukan melalui penerapan program-program pendidikan karakter bagi pelajar dan peningkatan kapasitas bagi guru.
Nadiem mengapresiasi dukungan berbagai pihak di lingkungan pemerintah pusat dan daerah serta organisasi untuk menghadirkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan. ”Mari mengingat tujuan kita, yaitu mewujudkan lingkungan pendidikan yang merdeka dari kekerasan. Mari kita menguatkan sinergi untuk mewujudkan Merdeka Belajar,” ujarnya.
Tidak membiarkan
Secara terpisah, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim menegaskan, negara bertanggung jawab mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di satuan pendidikan. Kemendikbudristek sudah melahirkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 yang berlaku bagi sekolah di bawah Kemendikbudristek.
Mari mengingat tujuan kita, yaitu mewujudkan lingkungan pendidikan yang merdeka dari kekerasan. Mari kita menguatkan sinergi untuk mewujudkan Merdeka Belajar.
”Menteri Agama juga harus segera menerbitkan Peraturan Menteri Agama atau PMA tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama. PMA mengatur madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dhammasekha, dan lembaga pendidikan berbasis agama lainnya,” kata Satriwan.
Saat ini Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan. Lahirnya PMA menjadi bukti negara tak membiarkan. Karena itu, peserta didik dan orangtua diminta tak takut melaporkan indikasi kekerasan seksual di tempat belajar. Peserta didik dapat melaporkan kalau ada ritual-ritual tertentu yang mengarah pada kekerasan seksual dari guru atau teman.
Pihak kepolisian hendaknya juga responsif jika ada laporan indikasi kekerasan seksual dari masyarakat dan tidak menanti viral di media sosial baru kemudian diperhatikan. ”Kami mendesak Kemenag, Kementerian PPPA, dan KPAI membuka hotline pengaduan masyarakat perihal tindak kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama agar cepat ditindaklanjuti,” ungkapnya.
Sementara Perhimpunan Pendidikan dan Guru berharap Kemenag dan Kemendikbudristek memberikan pemahaman yang baik tentang konsep dan regulasi mengenai hak-hak anak; UU Perlindungan Anak; pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan; dan pendidikan hukum dan HAM bagi para guru atau pengasuh satuan pendidikan.
”Para guru dan tenaga kependidikan hendaknya punya pemahaman, sikap sesuai aturan, dan prinsip penghargaan terhadap hak asasi anak. Dengan demikian, ekosistem satuan pendidikan berbasis agama melindungi dan aman bagi tumbuh kembang anak, bukan sebaliknya,” kata Satriwan.
Apalagi visi-misi Presiden Joko Widodo adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul. SDM unggul rasanya sulit tercapai jika generasi mudanya menjadi korban kekerasan, yang justru berasal dari lingkungan pendidikan tempat mereka menuntut ilmu.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Femmy Eka Kartika Putri dalam siaran pers, Senin (20/12/2021), menyatakan, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual harus semaksimal mungkin atau seberat-beratnya.
”Terlebih jika dampak yang ditimbulkan menyangkut masa depan dan psikologis anak-anak yang menjadi korban. Banyaknya jumlah korban juga harus menjadi pertimbangan yang memberatkan hukuman,” ujarnya.