Melihat sisi kekuatan siswa, bukan kelemahannya, akan mendorong siswa berubah ke arah yang lebih baik dan berkembang optimal. Para guru diharapkan dapat menerapkan pendekatan inkuiri apresiatif ini dalam mengajar.
Oleh
MASBAHUR ROZIQI
·4 menit baca
MA berlari tergopoh-gopoh. Dia terlihat berkeringat. Tatapan matanya berputar ke kiri dan ke kanan. Setelah memastikan tidak ada guru di meja guru, dia masuk. Dia meletakkan tasnya di depan kelas. Langsung saja dia berjalan cepat ke arah kursinya. Aman. Mungkin pikir dia. Saya perhatikan dia dari luar kelas. Setelah dia mengoperasikan ponsel, saya langsung masuk. Pembaca bisa menebak apa reaksi MA dan aksi saya?
Saya tidak menyuruhnya keluar. Dan tidak mungkin juga saya menyuruhnya pulang. Saya memanggilnya, bertanya apa yang baru saja dia lakukan. Dia menjawab terlambat mengikuti penilaian akhir semester (PAS) mata pelajaran hari itu. Selebihnya dia diam.
Saya memintanya tetap mengerjakan PAS dengan waktu yang tersisa. Saya juga memintanya tidak meninggalkan ruangan terlebih dahulu setelah selesai mengikuti PAS walau teman-temannya nanti selesai ujian bisa langsung meninggalkan ruangan. Dia terbelalak. Sambil mengangguk, dia kembali ke tempat duduknya. Kembali dia raih ponselnya.
Ini salah satu penerapan pendidikan positif. Saya mempelajarinya dari Pendidikan Guru Penggerak (PGP). Melihat dari sisi kekuatan, bukan kelemahan. Pada kisah di atas, saya tidak fokus pada keterlambatan MA. Saya fokus kepada tanggung jawab dan usaha kerasnya. Dia bertanggung jawab tetap mengikuti PAS walau dia bisa saja izin tidak masuk dengan alasan yang mungkin bisa saja dia karang. Dan dia juga berupaya keras untuk tetap berangkat sekolah walau dengan konsekuensi terlambat.
Saya tetap memberinya konsekuensi, yaitu dengan meminta dia tidak langsung meninggalkan kelas ketika selesai mengerjakan PAS. Saya mengajaknya berdialog. Fokus kepada apa yang dia lakukan sehingga terlambat? Bagaimana perasaannya? Kekuatan apa yang dia miliki untuk bisa berkembang ke arah lebih baik? Intinya fokus pada kekuatan diri yang dia miliki sehingga dapat melakukan perubahan ke arah lebih baik.
Fokus pada kekuatan
Fokus pada kekuatan ini bagian dari apa yang dinamakan inkuiri apresiatif. Sebuah pendekatan pendidikan yang berfokus pada aset atau kekuatan. Dalam transformasi pendidikan di sekolah, calon guru penggerak (CGP) menjadi motor utama perubahan ini. Inkuiri apresiatif menjadi bagian inti dari strategi bapak ibu CGP mewujudkan merdeka belajar. Tidak lagi berprinsip melihat murid dan lingkungan dari sisi negatif, tetapi memaksimalkan hal positif yang ada pada aset tersebut.
Saat ini, para CGP terus berupaya menjadi motor pengaktivasi inkuiri apresiatif ini pada sekolah masing-masing. Mengapa fokus pada sekolah masing-masing dahulu? Hal ini sebagai landasan, jika sekolah masing-masing telah berhasil menerapkan inkuiri apresiatif, penyampaian kepada sekolah lain akan lebih mudah karena ada contoh nyata pada sekolah sendiri yang telah berjalan.
Meskipun tetap, penerapannya harus memperhatikan nilai dan kultur yang ada pada sekolah tersebut karena itu menjadi ciri khas dari setiap sekolah. Namun, tetap landasan utama adalah bagaimana merdeka belajar menjadi sebuah kebiasaan baru yang harus menghiasi tiap sekolah.
Lantas bagaimana penerapan inkuiri apresiatif tersebut jika dibakukan? Penyebutannya berupa akronim. Apakah itu? BAGJA. Pertama, ”Buat pertanyaan utama”. Pada tahap ini ada beberapa hal yang harus dilakukan, antara lain membuat pertanyaan utama yang akan menentukan arah penyelidikan kekuatan/potensi/peluang. Misalnya apa yang akan saya lakukan untuk mengajak murid/anak agar menyadari pentingnya tepat waktu dalam mengikuti kegiatan di sekolah.
Kedua, ”Ambil pelajaran”. Pada tahap ini, kita menyusun pertanyaan lanjutan untuk menemukenali kekuatan/potensi/peluang lewat penyelidikan. Siapa yang pernah berhasil mengajak anak sadar tepat waktu, misalnya, mengikuti kegiatan di sekolah, aktivitas apa yang dapat membuat anak tertarik untuk menyadari tepat waktu berkegiatan di sekolah, dan keterampilan apa yang sudah saya miliki untuk bisa mengajak anak sadar tepat waktu berkegiatan di sekolah.
Ketiga, ”Gali mimpi”. Tahap ini berisi pertanyaan apa yang akan kita lakukan seandainya tujuan tersebut tercapai. Misalnya apa kebiasaan atau hal indah yang akan terjadi ketika murid telah menyadari pentingnya tepat waktu dalam mengikuti kegiatan di sekolah. Kita mendeskripsikannya dan menjadi bagian dari motivasi kita untuk mencapai tujuan tersebut.
Keempat, ”Jabarkan rencana”. Pada tahap ini telah memasuki tataran perencanaan aksi, yakni mengidentifikasi tindakan konkret yang diperlukan untuk menjalankan langkah-langkah kecil sederhana yang dapat dilakukan segera. Dan, langkah berani/terobosan yang akan memudahkan keseluruhan pencapaian.
Setelah menggali mimpi, apa rencana yang akan kita lakukan. Pertanyaan yang bisa diluncurkan untuk membuat rencana ialah apa langkah sederhana atau langkah pertama yang bisa kita lakukan untuk mengajak anak sadar tepat waktu berkegiatan di sekolah? Apa langkah terobosan berikutnya untuk makin menguatkan langkah sederhana/pertama tersebut?
Kelima, ”Atur eksekusi”. Pada tahap ini berupa kegiatan kolaborasi. Sebab, tentu saja pendidikan positif tidak bisa hanya mengandalkan satu orang. Kegiatan ini bertujuan menyelaraskan interaksi setiap orang (unsur) terlibat agar dapat bersama menciptakan tujuan tersebut. Pada tahap ini bisa kita munculkan pertanyaan, siapa saja yang bisa memantau atau mengingatkan pelaksanaan rencana? Siapa yang nanti akan kita ajak untuk mengevaluasi rencana?
Beberapa hal tersebut menjadi bagian dari bagaimana CGP pada khususnya dan guru pada umumnya melakukan transformasi pendidikan merdeka belajar untuk saat ini dan masa depan anak-anak demi terwujudnya kebahagiaan dan keselamatan bagi anak didik kita bersama. Amin.
(Masbahur Roziqi,Calon Guru Penggerak SMAN 1 Kraksaan Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur)