Dalam sidang minggu depan, UNESCO akan menginskripsi gamelan nominasi Indonesia sebagai warisan budaya tak benda ke-12 Indonesia. Tujuan inskrispi itu untuk meningkatkan kesadaran berbagai pihak atas pentingnya WBTB.
Oleh
ISMUNANDAR
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagaimana tertulis dalam konstitusinya bertujuan membangun pertahanan dari perang melalui pikiran manusia, karena perang berawal dari pikiran manusia. Pertahanan untuk perdamaian melalui pikiran itu diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan dalam empat pilar, yakni pendidikan, sains, kebudayaan, dan informasi komunikasi. Dalam sektor warisan budaya, ada dua konvensi utama UNESCO, di mana Indonesia juga sebagai negara pihak, yakni Konvensi 1972 dan Konvensi 2003.
Konvensi 1972, Perlindungan Warisan Budaya dan Warisan Alam Dunia, dalam operasinya melakukan inskripsi warisan budaya dan alam dunia berdasarkan nilai-nilai universal luar biasa atas penilaian pakar. Total sampai saat ini ada 1.154 warisan dunia dan warisan alam (dari 167 negara), hampir separuhnya ada di Eropa dan Amerika Utara.
Indonesia hingga saat ini telah menginskripsikan lima warisan dunia, yakni Borobudur (tahun 1991), Prambanan (1991), situs Sangiran (1996), Subak (2012), dan Ombilin (2019); serta empat warisan alam, yakni Taman Nasional Komodo(1991), Ujung Kulon (1991), Lorents (1999), dan Hutan Hujan Tropis Sumatera (2011).
Sejak Konvensi 1972 diadopsi, telah banyak suara negara anggota UNESCO tentang kebutuhan perlindungan warisan budaya nonfisik, termasuk di dalamnya adalah praktik dan kebiasaan, ekspresi, pengetahuan, dan keterampilan. Perlu waktu hingga tiga dekade untuk mencari konsep yang tepat untuk keperluan ini, hingga pada tahun 2003 diadopsi Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Ringkasnya, kalau Konvensi 1972 berfokus pada pelestarian jejak material, seperti monumen, Konvensi 2003 berfokus pada perlindungan warisan yang hidup di masyarakat dan telah dipraktikkan dari generasi ke generasi.
Berbeda dengan Konvensi 1972, di mana signifikansi obyek Warisan Dunia terutama ditentukan oleh analisis ahli, tidak ada penilaian keaslian dan integritas elemen WBTB dalam Konvensi 2003. Karena ekspresi WBTB terus-menerus ditampilkan kembali dengan cara yang sedikit berbeda, secara kreatif berubah dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial-ekonomi dan alam. Justru inovasi dan kreativitas sangat penting dalam WBTB.
Konvensi yang sukses
Tujuan utama konvensi ini adalah untuk melindungi WBTB, memastikan rasa hormat dari masyarakat yang mewarisi budaya tersebut, meningkatkan kesadaran pentingnya warisan hidup ini dan kemudian munculnya sikap saling menghargai, serta kerja sama internasional. Partisipasi utama dari negara anggota dalam implementasi Konvensi 2003 adalah dengan mendaftarkan warisan budaya tak bendanya pada Daftar WBTB UNESCO (List of Convention), dan dengan partisipasi masyarakat pemegang warisan hidup tersebut bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikannya.
Dalam kaitan ini, terdapat dua jenis daftar, yakni Daftar Perlindungan Urgen (U) dan Daftar Representatif (R). Daftar U memuat warisan budaya yang terancam punah akibat faktor-faktor yang tidak bisa diatasi oleh masyarakat setempat atau di luar perkiraan, seperti karena bencana alam dan perang. Sementara yang masuk daftar R adalah warisan budaya yang masih berkembang dan terjaga baik dalam masyarakat.
Selain dua daftar tersebut, konvensi juga memilih dan mempromosikan program, proyek, dan kegiatan perlindungan warisan yang dianggap paling mencerminkan prinsip dan tujuan Konvensi, yang kemudian dikenal sebagai Daftar Praktik Baik Perlindungan (Daftar P).
Konvensi ini mulai berlaku sejak 20 April 2006, saat 30 negara telah meratifikasinya, dan kini pada usia ke-15 telah memiliki 180 Negara Pihak, membuat konvensi ini hampir universal. Kecepatan jumlah negara pihak yang meratifikasi konvensi ini adalah yang paling tinggi di antara konvensi-konvensi yang ada di UNESCO.
Indonesia hingga kini telah mencatatkan 11 elemen dalam berbagai daftar Konvensi 2003 ini.
Hingga saat ini terdapat 492 elemen budaya (dari 128 negara) dalam daftar R, 67 elemen budaya (dari 35 negara) dalam daftar U, dan 25 praktik (dari 22 negara) di daftar P. Total 584 elemen, dan hampir separuhnya dari Asia Pasifik, Afrika, dan Timur Tengah.
Indonesia hingga kini telah mencatatkan 11 elemen dalam berbagai daftar Konvensi 2003 ini, wayang (daftar R, tahun 2008), keris (R, 2008), batik (R, 2009), pendidikan dan pelatihan batik (P, 2009), angklung (R, 2010), saman (U, 2011), noken (U, 2012), 3 genre tari Bali (R, 2015), pinisi (R, 2017), silat (R, 2019), dan pantun (R, 2019). Mudah-mudahan, gamelan akan diinskripsi pada sidang pertengahan Desember ini.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemain orkes gamelan memainkan musik tradisional di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang, Jawa Barat, Minggu (23/6/2019). Pada pertengahan Desember 2021, UNESCO akan menginskripsi gamelan nominasi Indonesia sebagai warisan budaya tak benda ke-12 Indonesia.
Korban kesuksesan sendiri
Dari kacamata luar dan bahkan internal UNESCO, konvensi ini menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Beberapa di antaranya dibahas ringkas sebagai berikut.
Pertama, keterbatasan sumberdaya dibandingkan dengan minat negara anggota untuk mendaftarkan. Karena keterbatasan ini, UNESCO kini menetapkan jumlah maksimum usulan yang dapat dibahas, yakni 50 per tahun. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menetapkan 50 dari banyak sekali usulan, termasuk usulan-usulan negara anggota tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ada beberapa usulan dari tahun 2010 yang hingga kini belum dibahas.
Kedua, berbagai kesan atau klaim atas makna inskripsi yang berbeda dari tujuan Konvensi oleh berbagai pihak. Sekali lagi tujuan dari inskrispi ini adalah untuk meningkatkan kesadaran berbagai pihak atas pentingnya WBTB.
Inskripsi suatu elemen budaya tidak berarti paten atas elemen tersebut atau pengakuan atas asal-usulnya.
Inskripsi suatu elemen budaya tidak berarti paten atas elemen tersebut atau pengakuan atas asal-usulnya. Terkait dengan asal-usul ini, memang bagi banyak negara serumpun beberapa kali menimbulkan masalah. Dalam hal ini disarankan pengusulan bersama, misalnya pantun adalah usulan bersama Indonesia dan Malaysia.
Usulan unik atas elemen mirip yang telah terinskripsikan pun masih tetap dapat dilakukan oleh negara lain. Misalnya tradisi pencak silat yang diinskripsikan Indonesia dari segi artistik, mental spiritual, dan pertahanan diri, juga diinskripsikan oleh Malaysia dari sisi pertunjukannya.
DOKUMENTASI KBRI KAIRO
Pencak silat Indonesia memeriahkan acara Seminar Internasional Warisan Budaya dan Peradaban Ke-6 pada 12-13 Maret 2019 di Suez Canal University di Kota Suez, Mesir. Sejak Desember 2019, tradisi pencak silat masuk daftar warisan budaya tak benda untuk kemanusiaan oleh UNESCO.
Bagaimana selanjutnya?
Dengan tujuan UNESCO yang selaras dengan tujuan negara kita untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, kita perlu terus aktif dalam kegiatan-kegiatan UNESCO, termasuk dalam Konvensi 2003 ini. Keaktifan kita dapat dilakukan, antara lain, dengan memberikan masukan dan berbagi praktik baik, misalnya dalam sidang-sidang umum negara pihak. Kita juga pernah duduk sebagai Komite WBTB UNESCO yang antara lain bertanggung jawab menilai nominasi dari negara-negara pihak.
Lembaga swadaya masyarakat terkait WBTB Indonesia juga telah terakreditasi UNESCO, dan jumlahnya terus bertambah. LSM-LSM ini dapat diajukan dan dipilih menjadi anggota Badan Evaluasi yang memberikan konsultasi dalam penilaian nominasi.
ARSIP ITB
Ismunandar
Tentu yang sangat penting juga di dalam negeri bagaimana terus meningkatkan kesadaran pentingnya WBTB dan upaya untuk melestarikan dan meneruskan ke generasi berikutnya. Jangan sampai banyak warisan budaya hidup kita yang masih lebih banyak dalam bentuk lisan dan praktik, atau belum dibukukan, hilang begitu saja. Jangan sampai, meminjam yang dikatakan penulis Mali, Amadou Hampâté Bâ, wafatnya tokoh masayarakat kita sama dengan terbakar habisnya perpustakaan.
Ismunandar, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO