”Serat Centhini”, Kompas Warisan Budaya Tak Benda di Jawa
Tidak semua makanan tradisonal masuk sebagai warisan budaya tak benda. Ini lebih karena ketidakmampuan meramu narasi dengan pendekatan historis-antropologis. ”Serat Centhini” bisa menjadi acuan untuk ini.
Bak orang siuman, kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat terhadap kekayaan kuliner sekonyong-konyong muncul. Salah satu pemicunya ialah program pencatatan warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek.
Lembaga pelat merah di tingkat daerah jumpalitan menyiapkan kajian pendahuluan guna mendukung usulannya kepada pemerintah pusat. Selain bukti visual obyek budaya, data dukung lainnya berupa narasi dan komunitas pelestari atau penerus.
Kemendikbudristek belum lama ini mengetok palu menetapkan beberapa jenis makanan yang masuk warisan budaya tak benda (WBTB). Ambillah, misal, Pemerintah Kota Surakarta menyorongkan sate kere, sate buntel, roti kecik, serabi notosuman, dan timlo. Sementara pembesar Daerah Istimewa Yogyakarta menyodorkan tiwul, lemper, serta gudeg manggar. Tak ketinggalan pula Kabupaten Banyumas mengerek tempe mendoan. Untuk Jawa Timur, rujak cingur turut meramaikan daftar WBTB.
Baca juga : Kebangkitan Makanan Tradisional
Apabila dicermati, masih segudang aneka makanan yang luput didaftarkan. Bukan mereka tidak paham, namun lantaran ketidakmampuan meramu narasi dengan pendekatan historis-antropologis.
Sebenarnya ada ”jalan pintas” untuk kajian awal, yakni menyimak Serat Centhini. Suluk Tembangraras atau Centhini disusun secara keroyokan tahun 1814-1823. Pujangga RNg Yasadipura II, RNg Ranggasutrasna, dan RNg Sastradipura di bawah kendali Pangeran Adipati Anom Amangkungara III, yang kelak menjadi Paku Buwana V (1820-1823), merekam rupa-rupa makanan yang dikonsumsi ataupun sesaji.
Pintu pembuka karangan berbentuk tembang macapat ini adalah cerita kedatangan Seh Wali Lanang dari Tanah Arab di telatah Jawa abad XV. Alim ulama tersebut selanjutnya menurunkan Sunan Giri I, Sunan Sunan Giri II, dan Sunan Giri III. Penguasa wilayah Giri sukses ditekuk Sultan Agung yang menakhodai Mataram Islam, lantas ia beserta keluarganya ditawan dan diboyong ke Kerta, ibu kota Mataram Islam. Fakta umum bahwa Sultan Agung bertengger di kursi empuk kerajaan tahun 1613-1646.
Nah, dalam konteks waktu, barisan penulis Serat Centhini hidup pada abad XIX, sedangkan periode yang diceritakan berpangkal pada abad XV dan XVI. Tak perlu bingung, pewarisan pengetahuan dalam rentang panjang ini memakai metode getok tular atau tradisi tutur. Analisisnya, kuliner yang dituturkan pujangga telah mengada dua abad sebelum naskah beraksara Jawa itu diproduksi.
Kuliner yang dituturkan pujangga telah mengada dua abad sebelum naskah beraksara Jawa itu diproduksi.
Mereka tidak kikuk blusukan ke pawon. Menekuri naskah Centhini jilid II secara cermat, terpapar kisah Mas Cebolang sewaktu ”kelana boga” di Mataram, menginformasikan pembagian tugas terkait dalam jamuan makan bagi tamu. Di antaranya, ada among bukti atau juru makanan yang disampiri tugas mengepalai dapur. Among sokanandi atau juru beras didapuk mengurusi dan menakar beras dan nasi. Among bikang mardeya mengemban dawuh (perintah) majikan di ruang makanan, manis-manisan, serta masakan. Nyi among talijiwa menjalankan perintah di bagian makanan dan buah-buahan. Terakhir, nyi among kahwa bergerak di pawon bagian minuman.
Klasifikasi tugas seperti itu tentu diperoleh juru pena istana melalui pengetahuan yang diambil dari pengalaman, pengamatan, dan petualangannya melongok pawon dan mencicipi berbagai cita rasa makanan di rumah keluarga aristokrat Jawa.
Baca juga : Nikmatnya Wisata Kuliner di Pasar Gede Solo
Di telatah Mataram, gudeg manggar sudah terabadikan. Hidangan tradisional yang kini masuk WBTB itu tumbuh di lingkungan akar rumput, tak melulu tersaji di istana raja. Ditarik periode kontemporer, berarti gudeg manggar sukses diwariskan penduduk DIY selama dua abad, bahkan lebih.
Serupa tiwul yang tersajikan dalam naskah tua itu. Tiwul sekarang menjadi sarana nostalgia, daya tarik wisata, hingga identitas daerah, tak lagi dapat ditempeli stigma makanan orang miskin. Justru makanan berbahan singkong itu merupakan bukti diversifikasi pangan yang lahir dari ekologi pategalan.
Kuliner mampu lestari didukung pula oleh ketersediaan bahan. Perlu dibabar jejalin kisah tokoh Jayengresmi tatkala lelana di Gunung Salak (Bogor). Terbentang informasi ”pengalaman botani” Jayengresmi di pegunungan hijau yang bikin hatinya bungah serta kerasan berdiam di sana. Keelokan panorama gunung dihijaukan oleh banyaknya jenis vegetasi, mulai dari aneka bunga, sayuran, dan sayur buah.
Dalam babon pengetahuan Jawa jilid I itu, terekam di antara sekian banyak varietas sayuran dan sayur buah yang disebut adalah waluh, labu, buncis, nanas, wortel, seledri, andrewi (andewi), patrasalya (peterseli), selat (selada?), terong, dan kentang. Lalu, yang dimaksud sayur buah misalnya tomat dan cabai.
Terdapat 331 jenis tanaman disebut dalam karangan elite Keraton Kasunanan itu, 158 jenis di antaranya dipakai untuk bahan makanan. Keragaman bahan ini sebenarnya menyimbolkan betapa orang Jawa tempo doeloe jago menjaga keselarasan dan keseimbangan hubungan vertikal (Tuhan) dan horizontal (alam dan manusia). Selain itu, membuktikan pula kondisi (bahan) pangan memang ”menggembirakan”, sebagaimana yang dirasakan dalam kisah Jayengresmi.
Baca juga : Sensasi Mencicipi Kuliner Langka ala Raja Mataram Kuno
Uniknya, Serat Centhini tidak merekam makanan yang hidup pada zaman transisi Hindu ke masa Islam, bahkan lestari hingga kini. Ambillah contoh, babi dan anjing di Jawa, yang hingga kini masih bisa kita jumpai di area Solo dan perkotaan Jawa.
Tumbangnya Majapahit, dibarengi kokohnya pengaruh Islam, tak serta-merta menghapus kedua makanan yang dituding haram itu, hanya sebatas mengurangi ketenarannya. Berabad kemudian, jenis makanan ini gampang dijumpai karena ada komunitas pendukungnya yang rata-rata beragama Kristen, Katolik, komunitas abangan, dan Tionghoa.
Arkeolog Timbul Haryono (1997), merekonstruksi gugusan pengetahuan kuliner kuno dari naskah Jawa kuno, menerangkan bahwa lalawar (sajian makanan dari daging babi dan anjing) memilih ”beringsut” ke Bali berbarengan dengan perpindahan warga Hindu Jawa ke sana lantaran menolak Islam yang kian bakoh pengaruhnya di Jawa.
Demikianlah, Serat Centhini dalam kepentingan WBTB merupakan kompas atau petunjuk jalan bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk meracik narasi historis segenap unsur budaya yang berpeluang sebagai WBTB. Tidak sebatas kuliner, terdapat pula pengobatan, arsitektur, upacara tradisional, permainan tradisional, dan teknologi yang butuh perhatian untuk dikupas lebih jauh berbekal data Serat Centhini.
Baca juga : Cegah Diklaim, Burgo Masuk Warisan Budaya Tak Benda Nasional
Dengan spirit merawat serta mendokumentasikan kekayaan budaya melalui program WBTB, publik semoga getol melestarikan keragaman budaya. Tak kalah penting, pemerintah menyiapkan suntikan dana dan aneka terobosan demi terjaganya pewarisan pengetahuan budaya yang sudah masuk WBTB. Jadi, tak mandek pada pencatatan saja!
Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma; Narasumber Warisan Budaya Tak Benda Kota Surakarta