Pandemi Covid-19 memberikan dampak berkelanjutan bagi situs warisan dunia di berbagai negara. Kerusakan situs akibat vandalisme dan minimnya perawatan menjadi salah satu ancaman utama.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 memberikan dampak berkelanjutan bagi situs warisan dunia di berbagai negara. Kerusakan situs akibat vandalisme dan minimnya perawatan menjadi salah satu ancaman utama. Kondisi ini juga menjadi lampu kuning bagi Indonesia yang memiliki lima warisan budaya dan empat warisan alam yang diakui dunia.
Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, kegiatan temu fisik masyarakat praktis dibatasi pada berbagai belahan dunia. Semua aspek yang berpotensi menimbulkan kerumunan dibatasi, bahkan ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan.
Kondisi ini juga dialami oleh situs warisan dunia. Menurut catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), sebagian besar situs warisan dunia juga ditutup akibat pandemi.
Hingga saat ini, terdapat 1.154 warisan dunia yang tersebar di berbagai negara. Dari jumlah itu, 897 di antaranya adalah warisan budaya yang lekat dengan kegiatan pariwisata. Selain itu, juga terdapat 218 warisan alam serta 39 warisan campuran antara alam dan budaya yang kerap menjadi tujuan wisata.
Berdasarkan survei yang dirilis oleh UNESCO pada Mei 2021 lalu, sebagian besar dari situs warisan dunia turut terdampak pandemi. Survei dilakukan pada 5-28 Februari 2021 pada pengelola di 388 situs di dunia atau sekitar sepertiga dari total warisan dunia.
Penutupan dilakukan pada 71 persen dari situs warisan dunia hingga Februari lalu. Bahkan, saat kasus melonjak pada 2020, penutupan mencapai 90 persen. Kondisi ini terjadi pada berbagai kawasan.
Pada negara-negara Arab, misalnya, hanya 21 persen warisan dunia di wilayah itu yang dibuka. Sementara 62 persen lainnya harus melakukan buka dan tutup sesuai kondisi.
Pada kawasan Asia dan Pasifik, sebagian besar wilayah juga belum membuka situs warisan dunia untuk kunjungan umum. Sebanyak 59 persen di antaranya masih melakukan buka dan tutup secara berkala. Sementara 10 persen situs warisan dunia di kawasan ini masih belum membuka akses untuk kunjungan secara umum.
Berdasarkan survei yang dirilis oleh UNESCO pada Mei 2021 lalu, sebagian besar dari situs warisan dunia turut terdampak pandemi.
Penutupan ini tentu berbanding lurus dengan penurunan jumlah pengunjung pada situs warisan dunia. Pada regional Afrika, UNESCO mencatat penurunan jumlah pengunjung dibandingkan tahun 2019 mencapai 71 persen dengan penutupan rata-rata 143 hari atau hampir lima bulan.
Penurunan jumlah pengunjung juga dicatatkan negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Dengan rata-rata penutupan selama 195 hari, jumlah pengunjung ke berbagai situs warisan dunia turun hingga 67 persen.
Penutupan dan penurunan jumlah pengunjung ini berdampak pada keberadaan tenaga kerja di berbagai situs warisan dunia. Sebagian pengelola terpaksa memberhentikan pekerja tidak tetap selama pandemi.
Pada kawasan Asia dan Pasifik, pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh 25 persen pengelola. Hal serupa juga dilakukan oleh negara-negara di Afrika, sebanyak 36 persen melakukan pemutusan hubungan kerja selama pandemi.
Pandemi juga menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam menjaga eksistensi warisan dunia. Hingga saat ini, terdapat sembilan warisan dunia di Indonesia yang terdiri dari lima warisan budaya dan empat warisan alam.
Warisan budaya dunia yang terletak di Indonesia adalah kawasan Candi Borobudur, kawasan Candi Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran, dan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Selain itu, juga terdapat Sistem Subak di Bali yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia sejak 2012.
Selain warisan budaya, Indonesia juga memiliki warisan alam yang diakui oleh dunia. Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz, dan Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera adalah warisan alam yang diakui sebagai warisan dunia secara bertahap sejak tahun 1991 hingga 2004.
Jumlah warisan dunia yang dimiliki oleh Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan negara lainnya di Asia Tenggara, seperti Vietnam (8), Filipina (6), Thailand (6), dan Malaysia (4). Itu berarti negara kita menjadi negara dengan jumlah warisan dunia terbanyak di Asia Tenggara.
Sama seperti negara lainnya, Indonesia juga menutup obyek warisan budaya dunia di tengah pandemi. Candi Borobudur, misalnya, melakukan buka dan tutup kawasan sesuai dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan buka dan tutup juga dilakukan oleh pengelola Candi Prambanan seiring perkembangan kasus Covid-19.
Penutupan lokasi secara berkala juga dilakukan oleh pemerintah pada warisan alam dunia. Salah satunya adalah Taman Nasional Ujung Kulon di Banten. Penutupan dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19 di tempat wisata.
Menurut laporan UNESCO, terdapat beberapa ancaman berkelanjutan bagi warisan dunia di tengah pandemi. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi Indonesia yang memiliki banyak warisan bersejarah. Bahkan, selain warisan budaya yang telah diakui oleh UNESCO, Indonesia juga memiliki 99.460 warisan budaya bersifat kebendaan.
Ancaman pertama yang dihadapi adalah kerusakan. Perusakan secara sengaja berpotensi terjadi di tengah terbatasnya aktivitas pemantauan akibat pembatasan ruang gerak. Selain itu, kerusakan secara tidak sengaja juga berpotensi terjadi di tengah minimnya aktivitas konservasi selama pandemi.
Tumbuhan liar yang menyebar di sekitar kawasan warisan dunia juga menjadi catatan khusus UNESCO sebagai potensi ancaman. Minimnya perawatan di tengah penutupan selama pandemi dikhawatirkan berdampak pada munculnya tumbuhan liar yang dapat merusak beragam situs.
Selain kerusakan, eksploitasi secara ilegal juga menjadi ancaman. Penggalian hingga pencurian menjadi ancaman yang sulit untuk diawasi di tengah sepinya kawasan warisan dunia.
Bagi Indonesia yang memiliki puluhan ribu warisan budaya, hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri untuk merawat dan menjaga ragam peninggalan bersejarah.
Dari sisi ekonomi, penutupan situs warisan dunia juga dapat memberikan efek ganda dengan penutupan kawasan pariwisata di wilayah sekitar. Kondisi ini mengancam kehidupan perekonomian sekitar seperti kawasan pasar, alun-alun, hingga kawasan komersial lainnya.
Dari sisi ekonomi, penutupan situs warisan dunia juga dapat memberikan efek ganda dengan penutupan kawasan pariwisata di wilayah sekitar.
Potensi ancaman ini dirasakan oleh pengelola warisan dunia pada berbagai kawasan. Pada daerah Amerika Latin dan Karibia, misalnya, potensi ancaman ini disampaikan oleh lebih dari separuh responden dalam survei UNESCO. Sementara di kawasan Asia dan Pasifik, potensi ancaman disampaikan oleh sepertiga responden.
Bagi Indonesia, laporan UNESCO ini tentu dapat menjadi cermin dan lampu kuning untuk terus merawat warisan yang telah diakui oleh dunia. Selain sembilan warisan budaya dan alam yang telah diakui, Indonesia juga memiliki tugas untuk merawat 1.635 cagar budaya nasional serta 99.460 warisan budaya bersifat kebendaan yang dimiliki. (LITBANG KOMPAS)