Kecelakaan beruntun yang melibatkan bus Transjakarta membuat publik tercengang sekaligus cemas. Perlu pembenahan segera dan menyeluruh.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Saat peluncuran pada 15 Januari 2004, Transjakarta diproyeksikan sebagai sistem angkutan umum dalam bingkai transportasi makro di Jakarta. Peluncuran bus Transjakarta, hampir 17 tahun lalu itu, diwarnai pro-kontra yang menghiasi wajah media massa.
Namun, meski publik belum sepenuhnya sepakat dengan ide manajemen transportasi busway, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Sutiyoso, tetap meluncurkan bus transjakarta jurusan Blok M-Stasiun Kota sepanjang 12,9 kilometer. Selain soal halte, jalur khusus, serta tangga penyeberangan yang belum sempurna, bus pengumpan dan tiketnya pun belum optimal. (Kompas, 15/1/2004).
Dalam peluncuran yang dipandu Rano Karno dan Alya Rohali, Sutiyoso mengatakan, selama lebih dari empat dasawarsa Jakarta tidak memiliki pola jaringan transportasi terintegrasi, dan transportasi umum tidak pernah dibenahi.
”Bus transjakarta merupakan jawaban atas kondisi lalu lintas saat ini dan sekaligus titik awal dari perombakan total sistem angkutan umum dalam bingkai transportasi makro,” kata Bang Yos, panggilan akrab Sutiyoso. (Kompas, 16/1/2004).
Dalam praktiknya, Transjakarta memelopori pola transportasi modern di Jakarta. Salah satunya dengan memastikan hanya calon penumpang yang mengantre di halte, yang bisa naik bus. Model seperti ini mendobrak cara-cara kebanyakan yang cenderung tidak disiplin, seperti penumpang asal melambaikan tangan di mana pun, dan mobil angkutan kota berhenti. Yang semacam ini menimbulkan kemacetan, karena membuat angkot berhenti sekian lama menunggu penumpang di satu titik, alias ngetem.
Bus transjakarta merupakan jawaban atas kondisi lalu lintas saat ini dan sekaligus titik awal dari perombakan total sistem angkutan umum dalam bingkai transportasi makro.
Pembayaran Transjakarta juga sekian lama tidak mengandalkan uang tunai. Calon penumpang harus memiliki kartu uang elektronik (e-money), yang sebelum masuk halte, harus ditempelkan ke pintu masuk. Ini proses seleksi penumpang yang lebih tertib dan berbudaya, sekaligus penghalang efektif bagi mereka yang berniat jahat, seperti pencopet.
Hingga kini Transjakarta menjadi urat nadi transportasi Ibu Kota. Hingga 15 Januari 2020 atau tepat 16 tahun, tercatat hingga 2019 ada sebanyak 80 persen warga Jakarta sudah bisa mengakses layanan Transjakarta, yang telah melayani 247 rute, dengan 85 rute terintegrasi dengan MRT dan LRT. Hingga 2019, tercatat jumlah pelanggan Bus Transjakarta mencapai 262.694.499 orang, dengan jumlah yang terus bertambah dari tahun ke tahun sejak 2004. Berbagai data ini menunjukkan kepercayaan publik kepada Transjakarta.
Tak heran, fakta terkait kecelakaan beruntun bus Transjakarta menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, termasuk para penumpang. Data dari PT Transjakarta, sepanjang Januari-Oktober 2021, terjadi 502 kecelakaan melibatkan armadanya. Kasus kecelakaan berlanjut selama November hingga Desember ini. Ada korban luka hingga tewas. Belum lagi bangunan rusak karena ditabrak, juga bus-bus lecet sampai ringsek. (Kompas, 9/12/2021).
Dari penelusuran tim Kompas, musibah-musibah itu banyak dipicu berkurangnya konsentrasi para sopir (pramudi). Banyak pramudi tidak dalam kondisi ideal saat bertugas karena problem jam kerja.
Kepercayaan publik terhadap Transjakarta yang terbukti demikian besar, sepatutnya diimbangi pelayanan terbaik. Masalah berulangnya kecelakaan selama 2021, harus segera diatasi dengan menyeluruh, terlebih menjelang usia 17 tahun Transjakarta pada 15 Januari 2021 nanti. Jangan surut, Transjakarta.